Di Balik Lampu Sorot

Aku menatap pemuda yang sedang menyanyi di atas panggung itu lekat-lekat. Mataku terus tertancap, tak ada satu pun gerak si pemuda yang terlewat dari video dalam benakku. Mulutku ikut menyenandungkan lagu yang sedang dia nyanyikan, sesekali aku ikut heboh berteriak memanggil namanya bersama teman-temanku.
Kurasa ku t’lah jatuh cinta
pada pandangan yang pertama
sulit bagiku untuk bisa
berhenti mengagumi dirinya                      (RAN – Pandangan Pertama)
Pemuda itu bernyanyi dengan asyik, bibirnya tak henti tersenyum kepada para penonton. Para gadis yang beruntung itu tambah keras menjerit memanggil namanya. Astaga, aku iri sekali dengan keberuntungan mereka, hanya karena duduk di barisan depan. Anak ini tak sekali pun melirik pendukungnya, aku dan teman-temanku, yang ada di barisan belakang. Setelah selesai menyanyi, dia dan para personil band yang lain turun dan menghilang ke samping panggung. Tak lama, dia muncul dari pintu masuk utama dan duduk di tengah-tengah teman-teman gengnya, yang duduk agak jauh dariku. Dia bahkan tak melihatku sama sekali, meski sepertinya karena dia tidak memakai kacamatanya.
Teman-teman pendukung ribut memujinya, sementara dia menyeka keringat di wajah dan tampak depresi, seperti biasa bila dia selesai menyanyi. Aku sudah lelah tersenyum yang tidak dilihatnya, pipiku pegal sekali. Aku menyamarkannya dengan menunduk memandangi layar HP-ku, padahal tak ada pesan atau apapun terpampang. Aku membuka twitter-ku dari HP, mulutku tanpa sadar bernyanyi mengikuti lagu yang sedang dinyanyikan band berikutnya.
Aku memang tak sebodoh yang kau pikirkan
karena ku punya semua mimpi dan tak semudah itu kau lenyapkan
dan aku terlalu kuat tuk kau taklukan
t’rimalah ini, Sayang                                      (Seventeen – Lelaki Hebat)
“Hei.” Aku menoleh ke kanan dan refleks bergeser karena terkejut. Dia duduk manis di sisiku sambil tersenyum polos. Entah sejak kapan dia di sampingku.
“Apaan sih, ngagetin aja deh,” ucapku sambil mengatur nada supaya tetap datar.
“Habis kamunya asyik banget sama HP kamu, sampai nggak tau aku udah duduk di sini. Ngapain sih?” tanyanya dengan muka tetap polos. Anak ini manis juga kalau dilihat dari dekat.
“Mau tau aja kamu. Kok nggak barengan sama anak-anak?” tanyaku berusaha mengusir pikiran aneh yang hinggap di otakku.
“Anak-anak pamit pulang duluan, mau makan. Kamu udah makan?”
“Udah tadi. Kok kamu nggak ikut?”
“Kan masih nungguin lombanya selesai, ntar abis pengumuman main lagi kalo juara. Lagian kasian kamu sendirian melulu,” katanya sambil tersenyum manis.
“Biasanya juga sendirian kok. Nyante aja kali,” kataku masih dengan ekspresi datar.
“Kamu datar banget sih, kebiasaan deh. Eh, ngomong-ngomong gimana perform aku tadi? Jelek banget ya?” Mulai lagi anak ini meributkan penampilannya. Aku sedikit menghela napas.
Well, oke kok. Tapi keliatan banget kamu nggak ‘masuk’ ke lagunya. Lagi mikirin apa sih? Kenapa nggak berusaha nampilin sesuai lirik lagunya?” tanyaku.
“Iya, aku lagi nyari-nyari seseorang tadi. Sial banget, kayanya dia nggak liat penampilanku. Padahal dia janji mau dateng, malah tadi bilang udah nyampe.” Wajah yang polos itu sedikit memburam.
“Lho, tadi dia dateng kok. Kan bareng sama temen-temen yang lain. Kamu nggak liat dia? Bukannya tadi kamu duduk bareng dia juga?” kataku heran.
“Hah? Maksudnya siapa?” Wajahnya memancarkan keheranan yang sama denganku.
“Itu, si Fian. Tadi kan barengan Ami, bareng Azar juga.”
“Kok jadi Fian sih? Bukaaan, maksudku bukan Fian tau. Ada orang lain yang janji mau nonton aku tampil. Tapi pas aku cari dia dari atas panggung nggak ketemu, abis silau banget sih. Pas udahan juga dia nggak ngasih komen apapun.”
“Oh, kirain. Siapa emangnya? Berarti dia nonton, cuma karena kamu lagi sama temen-temen jadi nggak enak ganggunya. Paling juga ntar lewat SMS. Apa jangan-jangan dia ada di sekitar sini, lagi ngeliat kamu duduk bareng saya? Hus hus, sana jauh-jauh. Ntar saya dikira mau ngerebut kamu,” ujarku sambil mendorongnya perlahan.
Dia tertawa kecil dan berkata,”Apa sih, kamu su’udzon banget. Nyante ah, dia nggak gitu orangnya. Eh, ini dia udah komen.”
“Komen apa dia?”
“Ada deeh, rahasia berdua. Hohohohoho…” Dia menjulurkan lidahnya padaku sambil tersenyum nakal. Aku menjitaknya kesal.
“Aduh! Sakit, Ray. Raya nakaaal…” Dia meringis kesakitan sambil mengelus-elus dahinya yang sedikit memerah. Kesalku sedikit terhapus dengan kasihan melihat wajahnya, kuusap dahinya pelan.
“Makanya kamu jangan suka rese sama saya. Ntar kalo saya jitak lagi kan kamunya juga yang sakit,” kataku prihatin.
“Iya iya. Kamu juga dong, jangan datar-datar banget kalo sama aku. Kalo di luar kan kamu rame, di kampus malah nyuekin aku. Jahat banget,” ujarnya sedih.
“Bukan saya yang nyuekin, kamunya yang terlalu sibuk sampai ngelupain saya. Saya sih cuma nunggu kamu inget aja,” kataku kalem.
“Hadeh, kalah lagi. Iya iyaaa, Ega janji nggak nyuekin Raya. Oke? Senyum dong, Ray,” katanya sambil menatapku. Aku tersenyum melihat wajahnya yang memohon, seperti kucing kecil memohon dielus.
“Nah, gitu kan keliatan cantiknya. Pulangnya gimana, Ray? Bareng yuk,” katanya.
“Kos aku kan lumayan deket, Ga. Enakan jalan deh daripada muter.”
“Temenin aku dulu, mau makan nih. Mau kan, Ray?”
“Kayanya tadi ada yang bilang masih nungguin pengumuman lho. Siapa ya?” sindirku.
“Hehehe, makan bentar doang kok. Kak Jose kan nungguin di sini, ntar sewaktu-waktu pasti SMS. Ayo, keburu pengumuman,” ajaknya sambil menarik tanganku.
Di warung, dia memesan nasi goreng dan susu, sedangkan aku memesan segelas besar jus jambu kesukaanku.
“Kamu nggak makan aja? Itu gelas gede banget sih,” kata Ega terpana melihat gelas jus jumboku.
“Tadi udah kok. Sekarang emang waktu ngemil, saya ngemilnya jus. Nggak bawa biskuit nih, lupa. Lagian masnya udah ngerti kebiasaanku kok,” kataku santai.
“Kebiasaan yang mana?” tanya Ega.
“Jam segini aku sering beli jus jambu jumbo ini. Hehehehe…” cengirku.
Ega mengacak-acak rambutku gemas. “Dasar ya kamu. Itu sih udah setingkat sama makan nasi.”
“Kenyangnya sih sama, tapi kan tetep aja bukan nasi. Udah, cepetan diabisin makanan kamu,” kataku.
Kami terdiam dan menikmati pesanan kami masing-masing. Persis setelah dia menghabiskan makanan dan minumannya, HP-nya bergetar. Dia menerima telepon sebentar, lalu berkata,”Ray, ayo balik ke gedung. Udah band terakhir, mau pengumuman.”
Aku mengulurkan uang ke penjual warung, yang segera ditepis oleh Ega.
“Udah, aku aja yang bayar.”
“Nggak mau, mau bayar sendiri aja,” kataku, dengan cepat aku menaruh uang ke tangan si penjual yang tersenyum geli melihat kami.
“Nih, Mas, uang pas. Saya bayar sendiri, jus jambu jumbo empat ribu kan? Makasih ya,” ujarku sambil nyengir melihat ekspresi kalah Ega.
Selesai membayar, kami bergegas kembali ke gedung. Kami masuk tidak bersamaan, dia langsung duduk dengan teman-temannya, sementara aku duduk di ujung barisan yang gelap karena tak kebagian lampu, persis saat pengumuman juara kedua selesai.
“Juara 1 adalah… Monsta Band, dengan lagu dari RAN, Pandangan Pertama. Silakan personil Monsta Band untuk segera mempersiapkan diri tampil kembali.” Kata-kata MC membuat heboh teman-temanku, mereka mengguncang-guncang tubuh Ega keras-keras. Aku hanya menatapnya kasihan dari tempat dudukku, pasti makanan di perutnya ikut terkocok. Kak Jose menghampiri dan menyeret Ega yang masih melongo tak percaya dengan kemenangan mereka.
Ega dan personil band lainnya bergegas naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Ega selaku vokalis berkata,”Terima kasih untuk teman-teman pendukung yang setia memberikan dukungannya sejak kami mulai latihan sampai perform. Terima kasih juga untuk dewan juri yang baik hati. Saya pribadi mengucapkan terima kasih pada seseorang yang setia menemani saya, maaf juga karena saya tidak banyak memperhatikan kamu. Lagu ini untuk kamu, dan kalian semua yang juga merasakan hal yang sama dengan saya.”
Para penonton berteriak riuh-rendah mendengar ucapan Ega tersebut. Teman-temannya tertawa sambil menyoraki Fian, yang memang sedang dikagumi oleh Ega. Aku tersenyum sendiri melihat tingkah mereka. Beruntung kegelapan ini membuat kegetiran dalam senyumku tak terlihat.
Ega terdengar berkata kembali,”Lagu ini kami persembahkan sebagai lagu khusus, lagu kemenangan kami. Tapi saya ingin meminta bantuan pada seseorang untuk menyanyi bersama saya di sini, di panggung kemenangan ini. Aurez Raya Talitha, saya minta kamu mau menyanyi bersama saya sekarang.”
Aku tersentak mendengar namaku dipanggilnya. Refleks mataku melihat ke arah teman-teman Ega, mereka juga tampak tercengang mendengarnya. Aku segera menciutkan tubuhku agar terlindung dalam kegelapan bawah lampu tersebut. Kulihat Ega mencari-cari ke seluruh penjuru ruangan. Tiba-tiba saja dia meloncat dari atas panggung dan berlari ke tempatku duduk selama itu.
“Ayo, Ray, ikut ke atas panggung sekarang,” katanya sambil menarik tanganku. Dari balik punggungnya kulihat mata para penonton tertuju pada kami berdua.
“Nggak, Ga, saya nggak mau. Suara saya kan jelek,” ujarku bertahan dari tarikannya.
“Ray, Ega mohon sama kamu. Ayo naik sekarang,” katanya mendesakku.
Aku tak bisa bertahan lagi dari tarikannya yang amat kuat. Aku terseret olehnya, dan dalam sekejap mata aku dan Ega sudah berdiri di atas panggung. Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa aku akan bisa berdiri di panggung ini, apalagi bersamanya. Ega berdiri di sampingku, menggenggam sebelah tanganku, lalu berkata,”Ray, terima kasih untuk semua yang kamu kasih ke aku. Makasih banget karena udah mau ngasih kritik untuk nyanyianku, makasih untuk selalu ada buat aku, walaupun aku lebih sering nggak ada buat kamu. Sekarang aku mau kamu ada di sini, di bawah lampu yang terang-benderang ini, nggak cuma di bawah lampu yang nggak kebagian cahaya hangatnya. Lagu ini memang bukan aliran saya, tapi saya suka lagu ini, dan saya tahu kamu juga suka, Ray. Oh ya, untuk kalian tahu, teman-teman, seharusnya bukan saya vokalis band ini, tapi Raya. Well, check this out.
Terdengar intro lagu Menghujam Jantungku milik Tompi mulai dimainkan oleh Kak Jose dan kawan-kawan. Aku dan Ega bernyanyi bersama untuk pertama kalinya, bermandikan cahaya warna-warni dari lampu sorot. Untuk pertama kali pula aku merasakan hangat dan indahnya lampu sorot, setelah sekian lama tersembunyi dalam kegelapan di baliknya.
Kau membuatku merasakan indahnya jatuh cinta
indahnya dicintai saat kau jadi milikku
oh takkan kulepaskan, dirimu oh cintaku
teruslah kau bersemi di dalam lubuk hatiku                         (Tompi – Menghujam Jantungku)
Kurasakan wajahku menghangat, senyum malu terukir di bibirku. Aku tak berani mengangkat wajahku dan menatap para penonton, aku hanya tertunduk karena merasa nyanyianku amat buruk dan tak pantas diduetkan dengan suara Ega. Tetapi kemudian terdengar tepuk sorai penonton menggemparkan ruangan besar ini. Wajahku bertambah panas, air mata haru berkumpul di pelupuk mataku dan kutahan dengan susah payah. Genggaman Ega pada tangan kananku mengencang dan membuatku menatapnya, yang tersenyum padaku. Kak Jose, Kak Abi, Kak Darma, dan Kak Seta bergabung mengapit kami berdua di tengah. Kami berenam bergandengan tangan dan bersama-sama membungkuk pada penonton.
Setelah turun dari panggung, para personil dikerubungi pendukung yang berebut mengucapkan selamat pada mereka. Aku yang berada di belakang mereka segera menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari keramaian yang kubenci. Aku menyelinap di antara orang-orang yang sedang bersiap meninggalkan ruangan. Dengan cepat aku sampai di jalan setapak sepi di belakang gedung tempat lomba tadi. Aku berjalan gontai, nyaris tanpa sadar ke mana kakiku akan membawaku. Beberapa menit kemudian kusadari aku berada di depan warung tempatku dan Ega makan siang tadi. Aku memasuki warung tersebut dan memesan jus ekstra jumbo seperti yang kuminum tadi siang, tetapi kali ini aku memesan jus melon campur sedikit kayu manis untuk menenangkan sarafku. Mas-mas penjual itu tampak kaget saat melihatku datang tidak pada jam biasa, apalagi dengan wajah kusut. Untung dia cukup bijak tak berkata apapun tentang keadaanku dan segera menyajikan pesananku.
Aku tak segera menikmati minumanku. Pikiranku kembali melayang ke kejadian luar biasa yang baru saja kualami sementara tanganku mengaduk minuman.
“Kalo cuma diaduk nggak berasa loh, Ray. Minuman itu buat diminum, baru pikiran tenang.” Suara yang amat familiar itu menyadarkanku dari lamunan. Ega tampak berdiri di pintu warung dan tersenyum padaku. Wajahnya agak berkeringat dan napasnya sedikit terengah-engah. Dia masuk ke dalam warung dan berdiri di samping kursiku.
“Udah aku duga kamu bakal ke sini. Aku kaget tadi tahu-tahu kamu udah ngilang aja. Aku cari ke mana-mana, aku tanya-tanya nggak ada yang lihat kamu.”
Aku tertunduk dan berkata,”Maaf ya, Ga, saya nggak bilang dulu. Saya…”
“Sssstt, nggak apa-apa, Ray. Aku yang salah, aku lupa kamu nggak suka kerumunan gitu. By the way, nyanyimu tadi keren deh. Coba tadi kamu yang nyanyi buat lomba, bukan cuma buat penutup,” katanya riang.
“Apa sih, nggak usah nyindir deh. Saya tahu suara saya ancur,” ujarku bersungut-sungut.
“Loh, aku nggak nyindir, Ray. Semua tadi muji kamu. Aku malah yang minder jadinya. Kamu kan tahu sendiri aku baru kali ini jadi vokalis band.”
“Nyatanya kamu jadi juara juga kan. Suara kamu emang bagus, Ga,” kataku masih menunduk memandangi minumanku.
Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan hangat melingkari bahuku dari belakang. Ega berbisik tepat di telingaku.
“Raya, makasih banget buat tadi. Makasih juga buat selama ini, maaf banget aku nggak pernah ada buat kamu. Maaf aku nggak pernah jadi sahabat yang baik. Maaf aku ngingkarin omonganku sendiri. Aku selalu berusaha ada buat kamu, Ray. Sayang aku nggak pernah bisa membagi waktu antara temen-temen dan kamu. Maaf, maaf, maaf banget, Ray…”
Tubuhku membeku, sementara wajahku memerah.
“Ga, lepasin saya, Ga,” ucapku gemetar.
“Ray, dengerin Ega. Ega janji nggak akan memperlakukan Raya seperti dulu lagi. Ega janji akan selalu ada untuk Raya, seperti Raya selalu ada juga untuk Ega. Ega janji…” Kata-katanya terhenti saat jariku menutup bibirnya dengan lembut.
“Ga, dunia kita beda. Ega pasti sadar itu juga, kan? Ega memang ditakdirkan untuk berada di bawah lampu sorot, bermandikan cahaya itu. Saya ditakdirkan untuk selalu berada di balik lampu sorot, agar tersembunyi di kegelapan yang meneduhkan. Ega ditakdirkan untuk bersatu dengan keramaian, sedangkan saya ditakdirkan bersatu dengan kedamaian. Jangan pernah janji ke Raya, Raya tahu Ega lebih ngerti mana yang perlu didahulukan. Raya tetap ada di balik lampu untuk menenangkan Ega dan jadi ‘tempat sampah’ Ega sewaktu-waktu,” ujarku lembut seraya menatapnya.
“Setidaknya Ega pengen Raya tahu, semua yang Ega bilang tadi beneran dan akan selalu Ega usahain. Oh iya, yang tadi siang Ega bilang tentang seseorang itu sebenernya ya kamu, Ray. Tadi Ega nggak lihat Raya nonton, jadi Ega pikir Raya ingkar janji. Hehehe, maaf ya? Untung Raya nggak lupa komen penampilan Ega,” katanya tersenyum senang. Wajahku kembali memerah. Tak tahan menahan rasa maluku, aku menjitak Ega pelan.
“Aduh, kok dijitak lagi sih? Raya niih…” Ega meringis menahan sakit.
Aku dan Ega mengobrol dan bercanda selama beberapa waktu di warung tersebut, tak peduli wajah kami yang lusuh karena keringat sisa penampilan di gedung, tak peduli senyum penuh arti si pemilik warung temanku yang diam-diam memperhatikan kami sambil melayani pelanggan lain, tak peduli es batu dalam minuman kami telah mencair. Panca indera kami seakan telah tertutup kecuali untuk kami berdua, rasa yang telah lama diacuhkan dan terbuang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita Raya, Awal Mula Muramnya Angin

Hai, aku Raya. Jangan kau pikir aku seperti jalan raya atau Kebun Raya Bogor yang selalu ramai, karena bila kau bertanya pada teman-temanku, pastilah mereka menjawab sebaliknya. Aku yang mereka kenal memang lebih sering diam dan lebih memilih tidak bergabung dengan kelompok manapun. Aku masih cukup tahu diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang sudah kuat solidaritasnya, aku tak ingin merusak ikatan itu dengan kehadiranku.
Seseorang yang dekat denganku pernah sedikit bernostalgia, membayangkan pertama kali kami bertemu. Dia –dan beberapa teman lain juga- mengingatku sebagai ‘gadis yang sering menunggu jemputan di gerbang sambil membaca buku dengan asyik’ atau ‘gadis yang mempunyai dunia sendiri’. Mereka menganggap aku gadis berwajah judes yang pendiam, yang setelah kenal dekat ternyata hal itu salah besar. Tapi tetap saja, ketahananku untuk tidak terikat pada kelompok manapun membuat mereka sedikit bertanya-tanya, mungkin kalian juga begitu.
Bayangkan bila kalian baru duduk di kelas 1 SMP. Suatu hari kalian pusing dengan satu hal dan direcoki dengan hal yang sama berulang-ulang oleh teman kalian sejak SD, tentu kalian kesal, kan? Kalian kesal dan mengungkapkan pada orang tersebut, lalu pulang meninggalkannya untuk menghindari dia berbuat lebih menjengkelkan. Dan ternyata orang itu mengatakan pada teman-teman yang lain bahwa kalian kesal dengan mereka dan tak ingin bekerja bersama, sehingga keesokan harinya kalian dijauhi sebagian besar gadis sekelas, bahkan sampai beberapa hari berikutnya. Padahal guru kalian memberi tugas yang harus dikerjakan berkelompok, dan sialnya kelompokmu adalah gadis-gadis tersebut. Saat mengerjakan pun kalian tidak dihubungi untuk mengerjakan bersama, kalian dikucilkan begitu saja. Tentu kalian merasa kecewa dan sedih kan? Ibu kalian yang mengetahui hal itu mencoba menghibur dan mengajak membuat tugas tersebut sendiri. Apa salahnya mencoba dahulu, berikan saja hasilnya pada kelompok itu, terserah mereka hendak dipakai atau tidak, kata ibu kalian. Setelah jadi hanya dalam waktu 2 hari, kalian memberikan hasilnya pada ketua kelompok, yang terlihat sedikit tercengan menerimanya. Dari teman kelas yang tidak termasuk kelompok tersebut, kalian mengetahui bahwa walaupun sudah berkumpul beberapa kali tapi tugas kelompok itu belum selesai juga. Karena beban dalam hati kalian tersebut, sehari sebelum pengumpulan tugas kalian jatuh sakit dan tidak masuk sekolah ketika hari pengumpulan tugas. Ketika masuk, kalian diberi tahu bahwa nilai kalian dikurangi karena tidak masuk. Padahal yang dikumpulkan sebagai tugas kelompok adalah yang kalian buat bersama ibu. Bagaimana perasaanmu? Sakit hati, kecewa, merasa diperlakukan tak adil, itu yang aku rasakan saat itu.
Sejak itu aku memutuskan tak akan mencoba mendekati teman-teman pengkhianat itu. Terlebih saat aku menjalin hubungan dengan orang yang cukup popular di kalangan teman-teman, anak-anak itu seperti bertambah jauh dariku. Silih berganti laki-laki yang mencoba dekat denganku bahkan jadian denganku. Semuanya hampir sama, mendekatiku karena orang tuaku memiliki tempat yang cukup terkenal di kotaku atau karena fisikku. Dari 8 yang berhasil jadian denganku, hanya 2 yang benar-benar membuatku patah hati saat meninggalkanku. Kebetulan pula, kedua orang itu sedikit jauh jarak umurnya denganku. Mungkin karena perbedaan itu kami berpisah, aku tak pernah cukup memenuhi kriteria mereka yang terbiasa bergaul dengan gadis-gadis yang lebih tua dan berpikiran lebih seperti mereka dibanding aku. Kejadian-kejadian itulah yang membuatku menjadi seperti sekarang, lebih suka di dalam duniaku sendiri.
Tak cukup di situ, keluargaku pun lebih sering mengurungku di rumah karena aku gadis satu-satunya. Kedua kakakku laki-laki, dan sungguh, hal itu yang membuatku menyesal mengapa aku terlahir sebagai perempuan. Aku juga ingin bermain bersama teman-teman, aku ingin berjalan-jalan keluar bersama mereka seharian. Toh aku jarang pulang terlalu larut. Aku juga keluar ke tempat ramai, untuk apa dicemaskan? Laki-laki yang dekat denganku diteliti satu per satu, keluargaku harus benar-benar mengenal mereka agar mereka bisa mengajakku keluar. Itu pun bukan sebagai pacar, bila aku berpacaran dengan mereka. Dari sekian banyak, yang benar-benar dipercaya oleh orang tuaku hanya sekitar 5 orang, 3 sahabat, 1 mantan, dan 1 kakak angkatku. Keluargaku, terutama ibuku, seperti lebih setuju bila aku dengan mantanku tersebut. Padahal aku sudah menganggapnya hanya sebagai kakak dan teman, walau dia amat baik padaku. Kini aku memiliki pacar yang benar-benar kusayangi, tapi aku belum berani mengatakannya pada keluargaku. Hanya sepupu dan seorang pakdeku yang mengetahui hubungan kami. Aku tak bebas keluar dengannya ataupun teman yang lain. Astaga, demi Tuhan, aku sudah mahasiswa! Aku tahu mana yang baik dan yang buruk, aku masih cukup bisa mengendalikan diri. Kenapa mereka seperti takut aku akan menjadi pelacur?! Aku bagai burung dalam sangkar berjudul ‘gelar’, hanya karena sangkar tersebut aku harus benar-benar berhati-hati menjalani hidup di luar sana. Hei, untuk apa aku disekolahkan bila aku dianggap akan tak tahu aturan bila keluar dari rumah?! Cukup, ya Tuhan, aku tak ingin terus-menerus dikurung!
Aku mencintai pacarku yang sekarang. Dia orang yang apa adanya, sayang terlalu ceplas-ceplos kadang hampir tak tahu sikon. Dulu aku santai sekali dengannya, sering bercanda mengenai laki-laki lain. Setelah suatu hari dia meminta kami menjauh sementara, aku sadar bahwa aku mencintainya. Aku sudah terlalu lelah menghadapi laki-laki brengsek lain di luar sana, aku lelah menjalani proses ini dari awal lagi. Aku sadar, aku hanya ingin dia. Tapi beberapa kali pacarku berkata, lebih baik nantinya putus untuk beberapa lama lalu kembali lagi, hanya agar tak jenuh menjalani hubungan. Sebenarnya hal itulah yang paling membuatku terpukul. Bila telah merencanakan berpisah, mengapa harus bersama? Kuakui, aku takut dengan teman-temannya. Aku takut tak bisa membaur karena trauma dan rasa rendah diriku, aku takut mempermalukannya di depan teman-temannya. Aku takut aku bukanlah orang yang dia inginkan. Aku memang egois, tak ingin dia pergi dariku. Tapi apa lagi yang akan kalian lakukan, bila kalian tahu dia salah satu dari segelintir saja orang yang benar-benar mau mengerti dan mendengarkan kalian?
Bisa dibilang aku pulang ke rumah hanya demi teman-teman dan pacarku. Aku merasa lebih nyaman berada di kosku di luar kota dibanding di rumahku sendiri. Aku bisa lebih bebas di sana, lebih bertanggung jawab pada diriku sendiri. Bahkan di luar kota, aku masih tetap tak mau terikat dengan kelompok tertentu. Aku lebih sering pulang sendirian. Jarang sekali aku pulang beramai-ramai, walau banyak teman sekelas yang searah dengan kosku. Di kos pun demikian, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Perasaan takut dan rendah diriku tak pernah sembuh sejak kejadian SMP dahulu, aku takut berdekatan dengan teman-teman perempuan. Aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki, karena laki-laki lebih jujur dan tulus dibanding perempuan. Tapi tak jarang pula aku mengalah dan mundur teratur bila kulihat teman-teman lelaki itu sedang bersama kelompoknya. Seperti kukatakan semula, aku tak ingin merusak suasana kelompok tersebut. Aku tak suka bila tak mengetahui pembicaraan mereka, tapi aku juga tak ingin ikut campur.
Kini kuputuskan, biarlah aku diam di sudut tergelap bangku penonton ini. Biar saja semua tak melihatku, toh bila benar-benar butuh mereka pasti akan mencariku dengan cermat dan menemukanku di sini. Aku bagai sang Phantom of the Opera, yang tinggal dalam kegelapan dan kesunyian karena berwajah buruk, yang hanya muncul bila benar-benar diperlukan. Aku diam, aku menjadi pendengar, dan aku mencatat semua yang kudengar. Aku bagai gajah yang tak pernah bisa melupakan apapun yang pernah kualami, walau aku tak pernah mendendam. Dan aku ingin menjadi sang angin, yang tak terlihat dan tak diperhatikan, tapi dicari bila tak berhembus...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS