Janji Sang Pendongeng


“HOY!” Aku tersentak dari novel yang sedang kubaca sedari tadi, teriakan yang tak begitu keras namun efektif karena tepat di telingaku membuatku terlempar dari dunia yang sedang kujelajahi. Si pengganggu tertawa melihat ekspresi campur aduk yang terlihat di wajahku, antara terkejut, bingung, dan kesal karena diganggu.

“Apaan sih, Go. Ganggu aja orang lagi asyik,” sungutku kesal, kali ini kekesalanku lebih kepada diriku sendiri yang tak bisa marah padanya. Siapa yang bisa marah melihat mata yang lebar-usil-tapi-jenaka-dan-polos?
“Lagian dari tadi serius banget, diem aja sambil melototin novel. Igo manggil dari tadi tau! Kayak lagi trance aja, badan di sini tapi pikiran nggak tau di mana,” katanya sambil tertawa.
Aku mendesah kesal.“Raya lagi jalan-jalan tau, ngikutin tokoh di novel ini. Lagi seru-serunya, malah Igo kagetin. Buyar deh konsentrasi Raya. Ada apa manggil-manggil?”
“Nggak apa-apa, cuma iseng aja manggilin Raya biar ga serius-serius banget. Eh, malah nggak dengerin,” ujarnya enteng.
“Cuma iseng? Astagaaa, berarti Raya ketipu ya sama Igo. Jahat…” Kataku bertambah sebal. Hilang sudah minatku membaca di ruang kelas di waktu istirahat pagi ini.
Igo tertawa lagi, lalu berkata,”Nggaklah, Ray. Mana mungkin Igo berani ganggu Raya kalo lagi serius baca. Igo cuma mau nawarin minum, mau nggak? Mumpung lagi baik nih.”
“Eh? Boleh boleh. Kenapa nggak bilang dari tadi?” Ekspresi kesalku seketika berganti dengan ekspresi senang sekaligus memohon dari seekor kucing yang ditawari ikan oleh majikannya. Igo menyodorkan segelas jus jambu dingin favoritku, sementara tangan kirinya memegang gelas plastik lain yang berisi jus tomat. Segera kusambut gelas yang diulurkannya sambil tersenyum (sok) manis dan mengucapkan terima kasih.
“Coba Igo nggak lagi bawa ini, pasti Raya bakal cemberut dan ngambek terus sampai pulang nanti deh. Dasar Raya,” kata Igo sambil memandangku yang sedang meminum jusku, setengah gemas, setengah geli karena melihat tingkahku yang seperti anak kecil diberi lolipop. Aku menutup buku yang tadi kubaca dan menaruhnya di tempat yang aman dari jangkauan air yang menetes dari gelas plastikku. Dari sudut mataku kulihat Igo masih memandangi gerak-gerikku. Aku menolehkan wajahku dengan tiba-tiba dan menatap langsung ke matanya untuk menyadarkan Igo. Anak yang satu ini memiliki kebiasaan aneh, dia sering iseng memandangi orang-orang di sekitarnya, tapi tanpa dia sadari pandangannya itu berubah menjadi lamunan. Bahkan dia tak menyadari orang yang dipandanginya juga balik memandangnya.
Benar saja, dia baru tersadar saat merasa dipandangi juga, dan menyadari mataku beradu pandang dengannya. Aku tertawa melihatnya gugup dan tersipu-sipu mengalihkan perhatiannya ke gelas jus tomat yang sudah bertambah encer. Hahaha, berhasil juga aku membalasnya, merusak lamunannya.
“Ngeliatin Raya kok sampai segitunya sih, Go? Awas tuh, ntar naksir. Hahahaha…”
“Siapa juga yang ngeliatin Raya, Igo kan ngeliatin bukunya. Pengen pinjem bentar, baca sinopsisnya.” Igo ‘ngeles’ dan mengulurkan tangannya meminta buku itu.
“Ngeliatin buku apanya, mata Igo itu ke Raya, walaupun terus ngelamun. Bukunya kan Raya taruh di meja samping ini. Weee…” Aku menjulurkan lidah dan tertawa lagi.
“Ih, Raya nih. Siniin bukunya, pinjem bentar,” pintanya sambil cemberut.
“Iya iya.” Kutaruh buku tersebut di tangannya. Buku setebal 379 halaman, ber-cover hitam dengan tulisan putih tercetak timbul “5cm” dan beberapa kata abu-abu yang juga timbul sebagai background-nya. Igo melihat-lihat cover depan, lalu membaca sinopsis yang tertera di cover belakang.
“Novel apaan sih ini? Kok kayaknya nggak menarik banget covernya? Ini beneran tebelnya 5 senti?” tanyanya beruntun.
“5cm, itu novel yang Raya beli sebagai kado buat diri sendiri pas ultah kemarin. Dulu Raya juga mikir kayak Igo, buku yang covernya nggak menarik, bikin males baca. Tapi Raya inget, ‘Don’t judge a book by the cover’. Awal tau itu dipinjemin sama kakak angkat Raya, tapi nggak dibaca. Pas lagi iseng nggak ada kerjaan terus Raya baca deh. Dan ternyata keren banget, Go. Read it and you’ll know what I mean. Ini langsung masuk ke daftar buku-wajib-baca Raya. Karena wajib baca, tentu aja Raya lebih suka punya sendiri daripada pinjem. Bisa dibaca kapan aja Raya mau.”
“Berarti ini udah sering Raya baca dong?”
“Iya, tapi nggak bosen-bosen bacanya. Terutama kalo Raya lagi down dan butuh suntikan semangat, buku ini super mujarab. Igo mau pinjem?”
“Kayaknya nggak deh. Ketebelan, Ray, Igo lagi males baca novel. Hehehehe…” Cengirannya mampu membuatku melayangkan cold-stare ku yang terkenal.
”Coba aja baca dulu, Go. Nggak nyesel deh. Donny Dirgantara ini jadi pengarang favorit Raya lho,” kataku mencoba berpromosi.
“Maleeeesss… Ceritain aja dong, gimana ceritanya?” Sial, anak ini melancarkan jurus puppy-eyes miliknya yang tak pernah bisa kuacuhkan. Aku menghela napas panjang.
“Iya deh, Raya ceritain. Kapan nih mau diceritain?”
“Sekarang aja, mumpung Igo belum dijemput. Sekalian nemenin Igo. Hehehe…”
“Jadi ceritanya ada lima orang, 4 cowo 1 cewe yang sahabatan. Mereka itu bla bla bla…” Aku mulai me-review novel tersebut. Igo mendengarkanku dengan penuh perhatian, sekali-sekali dia bertanya atau nyeletuk hal yang tak penting. Demikian terus berlanjut hingga akhirnya ayahnya datang menjemputnya, dan aku berjalan kaki pulang ke kos.
10 menit setelah aku sampai di kamarku, HP-ku bergetar tanda pesan masuk. Nama Igo tertera di layar. Kubuka pesannya sambil menyelonjorkan kakiku yang pegal di atas tempat tidurku.
From: Igorius
Raya, makasi yaa udah didongengin tadi
Uda nyampe kos kan?
Aku tersenyum membaca pesan itu, lalu mengetikkan balasannya.
To: Igorius
Iyaa, sama2 :)
Udah nyampe kok dari tadi
Semenit kemudian HP-ku kembali bergetar.
From: Igorius
Igo ada novel, pinjem temen dulu
Immortal series gitu
Mataku seketika bersinar, seperti biasanya saat aku mendengar ada buku bagus.
To: Igorius
Mauuuu,
pinjem dong Go
Aku meninggalkan HP-ku di tempat tidur beberapa menit untuk mandi. Saat aku selesai dan masuk ke kamar lagi, kuraih HP. Pesan dari Igo segera kubuka.
From: Igorius
Iya, ntar Igo pinjemin
Tapi janji ya ntar Raya ceritain lagi isinya kayak tadi
Seketika senyum senang terlukis di wajahku. Dengan riang aku mengetikkan balasan.
To: Igorius
Iyaa, janji ^^
Keesokan paginya, aku memasuki ruang kelas dengan sedikit tergesa-gesa karena jam di pergelangan tanganku menunjukkan bahwa aku sudah terlambat 5 menit. Ternyata dosenku belum masuk, teman-temanku pun sedang asyik mengobrol, ramai sekali suasana pagi itu. Aku bergegas duduk, mengatur napasku yang sedikit terengah-engah, lalu mengambil HP dari dalam saku tasku. Betapa herannya aku saat di layar tertera nama Igo.
From: Igorius
Buru2 amat jalannya
Awas, ntar kesandung!
Hehehehehe
Ini bukunya udah aku bawa
Kuedarkan mataku mencari sosok tinggi kurus berkacamata di dalam kelas. Itu dia, sedang asyik mengobrol dengan Adri. Aku mendekati mereka dan menadahkan tanganku sambil tersenyum polos.
“Mana, Go?”
Igo membalas senyumku dan meraih tasnya. Sementara Adri memandangku dengan sedikit tatapan heran (atau jijik?) karena melihat ke(sok)polosanku.
“Nih, Ray. Ntar kalo udahan cerita ya. Hehehe…”
“Eh, buku apaan tuh?” Adri dengan cekatan merebut buku yang sudah berada di tanganku dan melihat sinopsisnya. Aku yang merasa hartaku direbut langsung berubah ekspresi, dari senyum sumringah menjadi pelototan sadis dan bibir merengut.
“Adri, siniin bukunya! Kan aku yang pinjem duluan,” kataku sambil menyambar buku tersebut dengan cepat. Adri gagal mempertahankan buku di tangannya, dan kini buku tersebut kembali ke tanganku. Aku berkelit dari sambaran Adri, lalu berlari kabur sambil meneriakkan ucapan terima kasih pada Igo. Adri segera mengejarku, tapi sebelum dia mencapai tempat dudukku, dosenku memasuki ruangan. Seketika Adri berbalik dan bergegas menuju kursinya. Kembali kuatur napasku dan mengelap keringat di dahiku akibat hawa panas serta pelarianku dari Adri.
Beruntunglah aku karena dosen mata kuliah berikutnya tidak dapat hadir. Aku melarikan diri pulang ke kos, tanpa pamit pada Igo karena kulihat dia sedang berjalan bersama teman gengnya. Aku ingin segera sampai di kamar kosku dan berlindung dari sinar matahari yang menyengat bumi siang ini. Tentu saja sambil membaca novel pinjaman dari Igo yang tersimpan aman di ranselku, tak ada salahnya juga kalau mampir ke warung jus dekat kos nih, pikirku.
Sesampainya di kamar, aku segera mempersiapkan segala ‘perlengkapan’ untuk membaca dengan nyaman dan tenang. Teman-teman kos belum pulang, jadi aku bisa membaca sambil membuka pintu kamar lebar-lebar tanpa terganggu. Jus jambu dingin dan cemilan yang baru kubeli kutaruh di lantai dekat tempat tidur, agar dapat kuraih dengan mudah dari atas tempat tidur tempatku membaca sambil meringkuk nyaman. Ini baru namanya surga!
Aku tenggelam dalam keasyikanku membaca, tak lagi kulihat dinding-dinding hijau kamar. Sebagai gantinya aku berpetualang bersama seorang gadis dan pacarnya yang tampan dan immortal alias tak bisa mati. Sesekali petualanganku buyar karena Sarah, Intan, dan beberapa teman kosku yang lain pulang dan melewati kamarku dalam perjalanan mereka menuju kamar mandi. Tapi inilah kehebatanku, walau banyak interupsi yang mengganggu, hanya dalam waktu 3 jam novel itu selesai juga. Aku menutup novel dengan perasaan penasaran dengan seri keduanya. Kuraih HP di kaki tempat tidur, lalu mengirimkan SMS untuk Igo.
To: Igorius
Udah kelaaarr!
Hahaha, leganyaaa :D
Keren Go, besok bawain lagi seri 2 nya yaaa
Aku beristirahat sejenak, menghabiskan jusku sambil menyalakan rice cooker untuk memanaskan nasiku tadi pagi. Saat aku sedang memasang gas pada kompor gas portabelku, HP-ku terdengar berbunyi lagi.
From: Igorius
Astaga, cepet amat sih bacanya
Iyaa, besok aku bawa
Jangan lupa cerita lho!
Aku dan Igo masih saling mengirim SMS untuk beberapa lama, lalu dia tak membalas lagi. Kuasumsikan teman-teman gengnya sudah datang ke tempat mereka biasa berkumpul dan sedang mulai belajar. Agak sedih memang ditinggal sendiri lagi, tapi biarlah. Kubaca ulang novel tersebut agar aku semakin lancar bercerita pada Igo besok pagi.
Pagi tiba, seperti biasa aku berjalan santai menuju kampus karena jam tanganku menunjukkan aku masih punya 20 menit sebelum masuk. Saat memasuki ruang kelas, mataku mencari-cari Igo. Kulihat dia duduk di barisan terdepan, lalu kudekati dia.
“Nih, Go, makasih ya. Ceritanya lumayan kok. Mau diceritain sekarang apa ntar nih?”
“Ntar aja, Ray, biar lebih nyante dengernya. Oh ya, ini seri keduanya.” Dia menyodorkan novel lagi padaku. Aku tersenyum senang, lalu bergegas kembali ke kursiku untuk mulai membaca, yang terhenti 10 menit kemudian karena dosenku datang. Setelah 90 menit yang menyebalkan (mata dan tanganku belajar, pikiranku terus melayang ke novel di tasku), akhirnya dosen tersebut keluar juga. Aku segera keluar dan duduk di bangku di luar kelas sambil menunggu Igo. Tak lama Igo keluar dari kelas sambil mengobrol dengan Adri. Kembar yang satu ini tumben sekali akur akhir-akhir ini. Mata Igo terhenti padaku, lalu meninggalkan Adri dan mendekatiku.
“Yuk jalan keluar, Igo tadi minta dijemput setengah jam lagi. Cukup kan buat cerita?”
“Cukup, cukup. Yuk.” Aku berdiri dan berjalan bersamanya ke gerbang kampus tempat Igo biasa menunggu jemputan di bawah pohon. Aku menceritakan semua yang telah aku baca kemarin, sementara dia mendengarkan dengan serius. Sesekali dia menengok ke jalan untuk mengecek kedatangan ayahnya. Setelah ayahnya sampai, dia melambaikan tangannya padaku dan aku berjalan pulang ke kos. Kegiatan kemarin terulang lagi, hanya dalam waktu 2,5 jam aku selesai membaca.
Kegiatan pagi berikutnya pun sama. Selesai kuliah, aku menceritakan bacaanku pada Igo. Igo terlihat begitu serius, tenang saat mendengarkan. Tak jarang Igo menanyakan bagian-bagian cerita yang bolong karena lupa kuceritakan. Setelah novel immortal series  yang dipinjamkannya selesai kuceritakan seluruhnya, dia mulai sering mengobrol mengenai banyak buku lain denganku. Aku yang senang membaca novel tentu saja bersemangat untuk bercerita. Igo semakin sering memintaku menceritakan novel-novel yang pernah kubaca. Aku tak pernah keberatan, bahkan aku dengan senang hati menceritakan novel-novel yang kumiliki setiap aku sedang bersamanya di kelas atau di bawah pohon sambil menemaninya menunggu jemputan.
Suatu hari, saat dosen salah satu mata kuliah berhalangan hadir dan kami masih bertahan di kelas untuk menghindarkan diri dari panas, aku dan Igo mengobrol tentang sedikit kehidupan Igo.
“Igo kenapa nggak baca sendiri sih? Kayaknya sekarang sejak tau Raya suka baca, Igo jadi lebih suka diceritain,” kataku setengah meledeknya.
“Hehehe, enakan diceritain Ray. Nggak usah repot-repot baca, tinggal dengerin aja. Raya udah bosen ngedongengin Igo ya?” tanyanya.
“Nggak kok. Malah sekarang Raya kecanduan cerita. Sekarang di kos Raya juga diminta ngedongengin Nurul. Wajar kok, emang enak didongengin itu. Sejak Raya kecil, Umma sama Nenek suka bacain cerita sebelum tidur. Sayang sekarang Umma sibuk, jadi udah jarang cerita sama Raya lagi,” kataku.
“Tapi umma Raya masih cerita kan, walau Raya udah gede?” tanya Igo.
“Iya. Kalo sekarang sih lebih ke cerita kegiatan sehari-hari, curhat gitu deh. Itu juga kalo Umma nggak ketiduran duluan. Setelah Raya kuliah, kalo lagi pulang Raya cerita ke Umma kegiatan Raya di sini.”
“Enak ya masih ada yang nyeritain,” gumam Igo perlahan. Sekilas kutangkap nada iri dan sinar sedih dalam matanya.
“Eh, kok gitu? Emang kenapa, Go?” tanyaku.
“Igo suka iri sama temen-temen yang bisa cerita-cerita ke ortunya. Igo mana bisa? Kan Ayah sibuk terus.”
“Lho, ibu Igo?”
Igo tersenyum sedih. “Coba Raya buka blog Igo deh. Baca blogpost yang Dongeng.”
Aku menurutinya, kuakses blognya melalui HP-ku. Sejenak percakapan kami terhenti, aku serius membaca blogpost-nya, sementara dia mengobrol dengan teman lain. Aku membaca ‘jiwa’ Igo, cerita mengenai pendongeng terhebat baginya, ibunya. Tanpa sadar air mataku mulai menetes, aku terhanyut dalam ceritanya yang kutahu pasti memang terjadi.
“Ray, kok nangis? Kenapa Ray?” Suara panik Igo menyadarkanku, aku menunduk dan berusaha menghapus air mata di pipiku dengan tangan. Igo memegang kedua pipiku dan menghadapkan wajahku ke arahnya, kemudian menghapus air mata yang masih membanjir.
“Nggak apa-apa, Go. Raya baru selesai baca blogpost-nya,” kataku sedikit tersendat, berusaha tersenyum sambil mengeringkan pipiku. Aku baru sadar kalau Ega dan Adri yang tadi mengobrol dengan Igo sudah menghilang.
“Maaf ya Go, Raya nggak tau tentang ini. Maaf banget udah nyinggung Igo.”
“Nggak tersinggung kok. Kan Raya emang nggak tau. Udah, jangan nangis lagi,” kata Igo sambil menepuk bahuku.
“Emmm… Igo lagi kangen Ibu?” tanyaku hati-hati.
“Kangen sih setiap hari, Ray. Sampai udah terbiasa. Hehehe… Tenang aja, Igo kan kuat,” jawabnya sambil cengengesan. Kulihat ada sinar lain di matanya, sepercik kesedihan yang dibalut ketabahan. Aku merasa semakin bersalah karena menanyakan hal yang menurutku tak berhak kutanyakan.
“Igo masih suka didongengin kan sampai sekarang?”
“Tentu aja, kan Igo punya Raya yang mau ngedongengin,” jawabnya tersenyum.
“Kalo Igo ngizinin, Raya pengen jadi pendongeng buat Igo. Raya tau, Raya pasti nggak bisa sama dengan pendongeng terhebat Igo. Raya tau, bukan cuma Raya yang pernah ngedongeng buat Igo, dan Raya bukan pendongeng terbaik. Tapi setidaknya Raya pengen jadi pendongeng yang cukup baik. Raya pengen jadi pembawa cerita-cerita yang indah itu untuk Igo.”
Kata-kata yang meluncur dari mulutku membuat Igo terdiam sejenak sambil menatapku tajam seakan hendak menembusku. Aku tertunduk, menyadari ucapanku sedikit ambigu. Tapi aku juga menyadari sepenuhnya, kata-kata itu meluncur keluar dari dalam hatiku, dan aku yakin dengan kata-kataku. Igo memecah kesunyian di antara kami.
“Raya… yakin?”
“Ya.” Jawabanku singkat namun menegaskan keyakinanku, aku menatap Igo tepat ke kedua bola matanya. Tampak Igo yang semula ragu-ragu kemudian tersenyum. Matanya bersinar terang, memancarkan kegembiraannya.
“Igo, inget ya. Kalo Igo ngerasa sedih, kesepian, butuh temen, Raya pasti ada di sini untuk Igo. Raya nggak pernah ke mana-mana kok, Go. Igo boleh ngelampiasin kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan Igo sama Raya. Raya pasti akan tetep dengerin Igo. Untuk Igo tau, Igo juga termasuk orang yang udah menggoreskan cerita-cerita indah tentang persahabatan, yang udah lama Raya coba jauhi. Raya pernah kehilangan sahabat Raya, dan Raya nggak mau kehilangan lagi untuk ke sekian kalinya.”
Aku menunduk lagi setelah mengucapkan janjiku. Igo menggandeng lenganku hangat.
“Makasih, Ray. Makasih banyak untuk persahabatan ini. Igo pasti akan selalu nyimpen nama Raya, sahabat pendongeng Igo.”
Sebuah cerita yang indah tentang persahabatan kini kembali tergores di catatan benakku, yang kusimpan rapi dalam satu ruang khusus bertuliskan nama sahabatku, Igorius Vala Damyris, dengan judul Janji Sang Pendongeng. Dan setelah hari terucapnya janji itu, aku menjadi pendongeng tetap bagi Igo pada waktu-waktu tertentu, saat kami bisa meluangkan waktu di antara tumpukan tugas untuk berbagi cerita dari berbagai buku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Goyah

Sayang, kini aku kembali
terluka di hati lagi
meragu dengan pilihan hati ini


Aku tlah mencoba, Sayang
belajar memegang kepercayaan
belajar percaya pada orang
dan orang itu kamu, Sayang


Kusandarkan hatiku sepenuhnya
kuberikan hatiku seutuhnya
tapi bila tak kau rawat dan jaga
tak urung kan memudar jua


Sungguh aku tak ingin mendua
walau restu bahkan telah kau kata
walau hatiku terus mendesak
bahkan mulai menilai lain pria


Aku bingung!
tak tahu ke mana ku bisa termenung
tempat ku dapat menangis meraung
lampiaskan hati yang tertutup mendung


Apa memang ini cobaan?
pertanda adanya perpisahan
atau sekedar bumbu suatu hubungan?


Haruskah aku menyerah?
atau haruskah aku pasrah?


Ah... tak tahulah aku
di sini hanya bisa menunggu
jawaban kan diberikan oleh waktu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kala Angin Menguak Kabut part 2

Kuakui aku memang bodoh menyukainya. Ganesha Putra Angkasa, biasa dipanggil Esa. Aku mengenalnya sebagai sahabat karib kakak angkatku, Ardian Langit Prabawa, tepatnya saat aku masih SMP dan mereka SMA. Aku lebih dulu dekat dengan kakak angkatku itu, bahkan sempat menyukainya. Kak Ardi memang orang yang aneh, terkadang aku berpikir dia punya pribadi ganda. Suatu ketika dia mengirim SMS lebih dulu dan isinya penuh perhatian, dia juga pernah mengirim lirik lagu yang sedikit ambigu maknanya bagiku.

I’ll be there for you
I’ll be watching you
It’s all about the things called love
That makes me do everything for you                                (Samsons – For You)
Dia juga pernah menunjukkan puisi buatannya, dan aku tak tahu mengapa yang dia tunjukkan adalah puisi tentang cinta. Aku merasa sedikit ‘tertusuk’ saat membaca puisi itu. Entah kenapa yang aku bayangkan dalam puisi itu adalah diriku sendiri. Hahahaha, PD ya? Habis, puisi yang dia tulis hampir seperti kisah kami berdua selama ini.
Kadang juga dia ‘ngambek’ karena aku tak memberinya kabar beberapa lama. Biasanya aku sengaja tidak memberinya kabar karena aku kesal menerima balasan datar darinya. Dia sering memintaku menceritakan kegiatan yang kujalani, tapi tak sekali pun dia menceritakan tentang dirinya sendiri. Aku tak ingin hanya aku yang diperhatikan, aku juga ingin memperhatikannya. Dia pernah menduga aku menyukai seseorang dan memaksaku bercerita. Awalnya aku tak ingin menceritakannya. Aku tak segila itu untuk mengakui bahwa orang yang kusukai adalah Kak Ardi. Aku pun lebih nyaman seperti itu, bisa dekat dengannya sebagai adik. Tapi karena paksaannya yang membuatku semakin kesal, akhirnya tercetuslah pengakuan itu. Apa jawabnya?
From : Kak Ardi
Maaf ya dek, kakak lebih nyaman dengan hubungan kita yang sekarang
Memangnya aku minta hubungan lebih? Astaga, kalau bukan dia yang memaksa terus-menerus aku tak akan mengatakannya. Aku berusaha ‘membunuh’ perasaanku, membiasakan diri tak lebih dari sekedar adik baginya. Kalau dia bisa mengacuhkanku, kenapa aku tidak?
Bencana itu tiba suatu hari, persis tengah malam saat ulang tahun Kak Ardi. Aku yang sedang liburan di kota tempatnya kuliah mengirim SMS mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Di saat yang sama, aku mengisi waktu sebelum tidur dengan bercerita dengan Esa. Aku mengingatkan Esa tentang ulang tahun Kak Ardi. Tak kuduga, Esa membalas SMS-ku dengan berita yang mengejutkan.
From: Kak Esa
Jangan lupa minta traktirannya dobel lho
Hahaha
Aku yang tak mengerti maksudnya segera minta penjelasan. Jawaban Esa polos tapi terasa menusuk hatiku.
From: Kak Esa
Loh, kamu nggak tau?
Dia kan udah punya pacar, udah lama kali
Katanya adeknya, kok nggak tau?
Shock yang menimpaku bukan karena cemburu, tapi lebih karena Kak Ardi tidak bercerita padaku. Apa-apaan dia? Aku mengerti benar ledekan Esa, dan aku bertambah tersinggung karenanya. Begitukah yang dinamakan kakak-adik yang saling terbuka menceritakan segalanya? Aku langsung menanyakan pada Kak Ardi, dan dia membenarkan berita itu.
From: Kak Ardi
Kakak emang udah punya dek
Maaf ya nggak cerita, kakak lagi nunggu waktu yang tepat untuk cerita ke adek
Damn, akan jauh lebih bisa kuterima bila aku mendengarnya dari Kak Ardi sendiri, langsung atau lewat SMS. Saat itu juga aku memutuskan untuk semakin menjaga jarak dengannya. Entah kenapa aku menceritakan segalanya pada Esa, mungkin lebih karena aku sedang membutuhkan tempat curhat dan dia satu-satunya yang sedang berkomunikasi denganku. Esa menenangkanku, perhatiannya pada masalahku membuat kesedihanku sedikit berkurang, walau itu tak mengurangi kekesalanku pada Kak Ardi. Sejak itu aku semakin dekat dengan Esa. Dia orang yang terbuka, menceritakan segala kekurangannya sejak awal kami mulai dekat.
From: Kak Esa
Aku nggak mau kamu ngira aku bohong tentang aku
Lebih baik dari awal aku ceritain semua tentang aku
Aku menghargainya karena keterbukaannya. Dia bercerita tentang gadis yang disukainya di kota perantauannya, hobinya, dan kegiatannya. Dari situ aku tahu dia termasuk tipe laki-laki ‘jablai’ yang membutuhkan teman untuk nafsunya yang sangat berlebih. Aku sendiri termasuk gadis yang berpikiran bebas, walau tetap saja aku tak mau berlebihan dalam berhubungan. Kami mulai sering berkomunikasi melalui YM dan bertatap muka melalui webcam, tapi hanya sekedar saling meledek wajah masing-masing yang sedang kusut.
Beberapa bulan setelah masalah dengan Kak Ardi, aku menjalin hubungan dengan Kak Anto, teman Kak Ardi juga. Sebenarnya aku sudah lebih dulu dekat dengan Kak Anto dibandingkan Kak Ardi, tetapi karena kesibukannya kami jarang berkomunikasi kecuali bila dia sedang pulang ke kota asal kami. Tak jarang saat pulang Kak Anto mengunjungiku untuk saling bercerita banyak hal selama kami berjauhan. Kami baru berpacaran setelah 4 tahun dekat. Saat itu aku yang kelas 3 SMA dan akan menjalani ujian ingin menjalin hubungan dengan orang yang juga santai. Kami sejak awal sudah saling memberi tahu kesibukan kami agar tidak terjadi kesalahpahaman. Malah bagus, pikirku, dia pasti tak akan terlalu menuntut perhatian lebih karena kesibukannya, sehingga aku juga tak terganggu saat belajar. Hubunganku dengan Esa sempat merenggang karena kesibukanku menjelang ujian.
Sekitar 3 bulan aku menikmati nyamannya LDR (Long Distance Relationship) dengan Kak Anto. Kami tak pernah bertengkar, toh tak ada waktu untuk itu karena kesibukan kami masing-masing. Keindahan hubungan itu terus berlanjut sampai 2 minggu setelah ulang tahunku, aku merasakan perubahan sikap Kak Anto. Kak Anto yang dulu walaupun sibuk tapi menyempatkan diri membalas SMS-ku meski hanya memberi tahu bahwa dia sedang ada kegiatan dan menghubungiku setelah selesai. Tetapi dia berubah, baru membalas SMS-ku setelah 2-3 hari. Aku curhat pada Esa tentang perubahan ini. Esa menyarankanku untuk menanyakannya langsung. Aku sempat ragu, aku takut bila harus berakhir buruk. Aku mencoba bersabar, menenangkan diri bahwa dia hanya sedang sibuk.
Hari beranjak mendekati akhir tahun, tapi Kak Anto tetap saja tak berubah bahkan semakin menjauh. Kesabaranku menipis dan kuputuskan untuk menanyakan kejelasan sikapnya.
To: Kak Anto
Sibuk ga?
Aku boleh nanya?
From: Kak Anto
Ga terlalu sih, mau nanya apaan?
To: Kak Anto
Kamu kenapa sih akhir2 ini berubah?
Jarang banget bales smsku
Sebenernya kamu masih sayang nggak?
Aku di dalam kamar menyiapkan hati untuk jawaban terburuk darinya.
From: Kak Anto
Maaf, aku tertarik sama orang lain di sini
Rasanya kamarku tersambar petir yang amat kuat. Seketika tubuhku melemah, hatiku terasa kosong seperti tak ada lagi sandaran. Aku sempat tak ingin membalas SMS-nya, tapi aku tak mau terlihat seperti gadis yang tak mau kehilangan pacarnya.
To: Kak Anto
Trus kamu mau gimana?
Udahan aja?
From: Kak Anto
Sebenernya aku nggak mau pisah dari kamu
Tp kalo kamu mau gitu ya gimana lagi
To: Kak Anto
Daripada kamu di sana bingung sendiri, suka sama orang lain tapi masih ada aku yang jadi penghalang
Udahlah, nggak apa-apa kok
From: Kak Anto
Maafin aku ya
Makasih banget buat selama ini
Kita masih bisa jadi temen kan kayak dulu?
Kalau aku boleh memilih, aku tak ingin melihat wajahnya lagi. Tapi mau bagaimana? Aku kan tak mungkin terlihat sebagai orang yang kalah, harga diriku terlalu tinggi untuk itu.
To: Kak Anto
Pasti dong, kita kenal udah lama kali
Nyante aja
Dalam kekecewaan dan kemarahanku, aku dengan panik mencari nama orang yang kupikir bisa menghiburku. Ingatanku langsung tertuju pada Esa. Aku mencoba meneleponnya, aku tahu pasti dia sedang memegang HP karena sebelum aku mengirim SMS pada Kak Anto aku masih bercerita dengannya. Sial, pulsaku habis! Dengan sisa pulsa SMS, aku mengetikkan pesan padanya di sela-sela air mata yang nyaris membutakan penglihatanku.
To: Kak Esa
Sa, bisa telepon sekarang?
Tolong Sa…
Tak sampai dua menit kemudian HP-ku bergetar oleh telepon masuk. Nama Esa tertera di layar. Aku segera mengangkat teleponnya.
“Halo, Re?”
“Iya, Sa.”
“Kenapa Re? Ada apa?” Suara Esa terdengar agak kuatir.
“Kak Anto, Sa. Dia…” Aku tak melanjutkan kata-kataku, isakanku mendesak keluar tak tertahankan lagi.
“Re? Kenapa sih? Tenangin diri kamu dulu, Re. Tarik napas Re, calm down.”
Aku berusaha mengendalikan tangisku. Kemudian aku menceritakan semua yang terjadi pada Esa.
“Terus gimana, Re? Lebih baik gini, Re, daripada kamu digantungin terus-terusan. Baguslah dia mau jujur langsung ngaku pas ditanyain. Kamu bakal lebih sakit hati lagi kalo kamu tahu dari orang lain. Emang rasanya sakit, Re. Tapi masih ada keluargamu, masih ada temen-temen kamu, ada aku juga, yang mau nemenin kamu,” kata Esa dengan suara lembut. Aneh, mendengar itu aku merasa menemukan sandaran kembali setelah beberapa saat tadi kehilangan keseimbangan. Kenapa bisa begini? Apa aku... jatuh cinta padanya? Atau sekedar merasa nyaman menemukan sandaran?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kala Angin Menguak Kabut part 1

Jujur, aku tak sanggup
Aku tak bisa
Aku tak mampu dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati
Tak mungkin dapat kudustai
Meskipun harus tertatih
        (Kerispatih – Tertatih)
Aku termenung menatap kosong layar laptop di hadapanku sambil mendengarkan lagu dari playlist Winamp-ku. Aku teringat padanya, seseorang yang amat kucinta, tapi tak mampu kuraih. Ironis memang, di luar sana banyak pria yang mengejar-ngejar dan siap menemaniku tapi tak pernah kutanggapi karena hatiku hanya tertuju padanya. Tapi pria yang kunanti justru mencintai gadis lain, temannya di kota perantauannya. Kuakui aku kalah dalam berbagai hal dibanding gadis itu. Jarak yang amat dekat dan memungkinkan setiap pertemuan (apalagi mereka satu kelas dan satu organisasi), kecerdasan, kepintaran bergaul, kemampuan berorganisasi, kedewasaan (tentu saja, mereka berdua kan lebih tua dariku), dan entah apa lagi yang tak kupunya. Aku sendiri tak tahu kekuranganku dari gadis itu karena aku tak pernah mengenalnya secara pribadi, hanya dari cerita laki-laki ini. Aku telah merelakan hampir segalanya, berubah nyaris 180 derajat karena laki-laki yang menurut banyak orang tak patut mendapat cintaku. Tetapi yang kutahu, setelah hampir 9 bulan kedekatan kami, senyum, canda, dan pengertiannya telah sirna kini.
PLING! Suara pesan masuk dari Yahoo Messenger-ku membuyarkan lamunanku.
<esa>  : OL pake cam ga?
Ah, pesan yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Kuketikkan jawabanku malas-malasan.
<rere> : Iya, kenapa?
Pertanyaan retoris, tentu saja dia hanya ingin ‘hal itu’, dasar pria brengsek.
PLING!
<esa>  : Sepi ga? Bisa buka?
Aku tersenyum sinis. Masih berani kau minta padaku? Padaku yang telah kau manfaatkan dan kau sakiti seenaknya?
<rere> : Maaf, aku lagi ga mood
Besok2 ajalah :)
Cih, kenapa aku masih saja sabar padanya? Masih saja tak berani tegas dengannya, terlihat dari emoticon yang kuketikkan.
PLING!
<esa>  : Ya udah kalo gitu, camnya nyalain dulu dong
Paling ga aku bisa liat kamu
Aku nyaris muntah karena pening membaca chat darinya. Aku menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Kulirik kaca di meja belajarku dan menghapus bekas-bekas air mata di wajahku serta merapikan diri sebelum mengaktifkan webcam. Aku tak mau terlihat seperti orang yang kalah di cam.
<rere> : Oke, udah nyala
Tak lama kemudian wajahnya muncul di layar laptop. Tetap sama seperti biasa, wajah yang tak tampan (aku pertama menyukainya karena suaranya yang bagus), tapi terlihat sedikit garis kekecewaan di matanya.
PLING!
<esa>  : Bener2 ga bisa cam?
<rere> : Iya, lagi rame rumahku, ortuku bolak-balik main ke kamarku
<esa>  : Masuk kamar aja dong, kunci pintunya
<rere> : Kunci pintuku lagi rusak, ga bisa dikunci
Aku membuat wajahku terlihat datar. Biar saja dia ‘belingsatan’ sendiri.
PLING!

<esa>  : kamu ga pernah nyoba bikin kesempatan kan? Sekarang kamu berubah ya. Udah lama kan ga gini lagi.
<rere> : aku lagi ga mood & emang ga ada tempat untuk itu, jangan sekarang, paham?
<esa>  : Ya udahlah…
Dia terdiam, tapi belum mematikan cam-nya. Pasti dia mencoba membuatku merasa tak enak hati dan akhirnya mau menuruti permintaannya. Huh, enak saja! Ada rasa sakit yang menggores hatiku saat kupandangi wajahnya yang begitu serius. Entah apa yang sedang dia lihat di layar laptopnya di sana. Aku sedikit merasa bersalah telah membohonginya. Rumahku justru sedang sangat sepi, orang tuaku sedang asyik menonton sinetron kacangan di ruang keluarga di lantai bawah, kakak-kakakku sedang pergi entah ke mana sehingga bisa dibilang aku menguasai lantai atas malam ini. Kunci pintu kamarku pun tidak sedang rusak, buktinya kini aku mengunci diri di dalam kamar. Tetapi satu hal jujur yang kukatakan, aku sedang sangat bad mood hari ini, bahkan sejak beberapa hari yang lalu, dan inilah yang membuatku berbohong padanya. Tahu apa penyebabnya? Siapa lagi, tentu saja laki-laki brengsek yang sedang chatting bersamaku ini.
Tetapi sejujurnya aku tak terlalu menyesal berbohong padanya. Bukan, aku SAMA SEKALI tidak menyesal berbohong padanya. Apa salahnya berbohong demi kebaikan? Dia terus mengajakku chatting dan webcam melalui YM, memaksaku menontonnya melakukan hal aneh dan menjijikkan itu. Toh aku tak pernah benar-benar menontonnya, aku me-minimize webcam window dan menonton film atau online facebook tanpa melihatnya. Hahaha, aku penipu ulung kan? Aku bersyukur mataku masih cukup bagus sampai saat ini, tak perlulah kurusak dengan menontonnya beronani. Dasar laki-laki brengsek bangsat mata keranjang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisa-Rayne (Igo POV)

Pagi ini aku membuka mataku dan duduk di tempat tidur, mengernyit menahan pusing yang menderaku. Kenapa aku merasa ada yang kosong ya? Ah ya, aku baru ingat. Semalam Raya, teman baikku, meninggal dunia setelah koma selama lebih dari seminggu pasca kecelakaan. Semalaman pula aku menangisi kepergiannya. Raya sempat terbangun dari ‘tidur’nya untuk menyampaikan pesan dari ibuku yang katanya ditemuinya saat dia sedang koma. Bahkan sebelum akhirnya dia menghembuskan napas terakhirnya, dia berkata bahwa ibuku ada di sisiku dan memelukku.
Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka lemari bajuku. Aku sudah bercerita pada Ayah dan meminta izin untuk ikut ke kota asal Raya untuk menyaksikan pemakamannya sore ini bersama Ega, Rosalba, Flora, Vella, Dhilla, dan anak-anak yang semalam hadir. Aku memasukkan kemeja dan celana hitamku serta barang-barang yang akan kuperlukan selama di kota asal Raya ke dalam koper. Lalu aku bersiap-siap, mandi dan menunggu Ega menjemputku.
Aku duduk di ruang tamu, ingatanku melayang kembali ke detik-detik Raya menyampaikan pesan dan ‘pergi’. Haaahh… Raya, Raya, Raya. Kenapa kamu begitu cepat pergi, Ray? Aku belum sempat meminta maaf padamu, aku belum sempat bersikap baik kembali padanya, bahkan aku bertengkar dengan Ega di depan matanya. Aku pula yang menyebabkan dia berlari dari taman sampai akhirnya dia menyelamatkan dan menggantikanku dari kecelakaan itu. Seandainya saja tak ada Raya, aku pasti telah bergabung dengan Ibu dan meninggalkan Ayah sendiri di rumah. Aku membenamkan wajahku ke dalam kedua telapak tanganku, penyesalan bertubi-tubi menghantamku.
Tiba-tiba bahuku ditepuk, aku mengangkat wajah dan melihat Ayah berdiri di depanku. “Ayah? Sejak kapan di situ? Ngagetin Igo aja,” kataku berusaha terlihat biasa.
Ayahku tersenyum simpati dan berkata,”Kamu masih terpukul kehilangan Raya? Sabar Nak, ikhlasin aja sahabat kamu. Doain dia tenang di sana.”
“Raya sahabat Igo yang setia banget, Yah. Walaupun Igo sering nyuekin dia, sering bikin dia jengkel, dia selalu balik dan balik lagi ke sisi Igo, nemenin Igo. Ayah tau nggak? Sebelum kepergiannya, dia sempet bangun dari koma dan nyampein pesan dari Ibu. Katanya dia ketemu Ibu, trus Ibu minta dia nyeritain dongeng yang dulu nggak pernah selesai diceritain Ibu. Dia juga sempet pamit ke kami semua. Sebelum pergi, Raya bilang Ibu lagi meluk bahu Igo, Yah. Ibu dateng ngejemput Raya. Igo jadi kangen Ibu. Coba Igo bisa liat Ibu…”
“Hei, anak Ayah sedih? Ada foto Ibu gede di kamar Igo, lumayan kan puas-puasin cium kalo kangen Ibu,” kata Ayah sambil mengelus rambutku.
“Beda, Yah. Igo kangen Ibu, kangen pelukan Ibu, kangen saat-saat ditemenin tidur ama Ibu, kangen wangi tubuh Ibu,” ujarku menunduk lagi.
Ayah merangkul bahuku dan menyandarkan kepalaku ke bahunya. Kurasakan bahu yang tegap dan kokoh, bahu yang selama ini menanggung banyak kegetiran dan kepahitan hidup, yang kutahu sempat melemah saat harus kehilangan belahan hatinya.
”Go, bukan cuma Igo yang kangen sama Ibu. Ayah juga sering banget kangen sama Ibu. Kamu udah dewasa, Go, pasti udah bisa ngebayangin gimana rasanya patah hati karena ditinggal orang yang kamu cintai. Ayah dulu juga kayak Igo gini, sampe sering ngelamun kalo lagi sendirian. Sakit banget rasanya ditinggalin orang tercinta, yang selalu lembut dan setia mendampingi Ayah. Tapi Ayah harus bisa tahan, Go. Ibumu dulu memberi amanat sama Ayah untuk menjaga kamu dan kakak kamu. Ayah harus tetap tegar, tetap sehat dan kuat untuk melaksanakan amanat itu. Ayah harus hidup dan bertahan, demi kalian.”
Hatiku perih saat mendengar kepahitan dalam suara Ayah, yang tak pernah kudengar sejak 10 tahun yang lalu. Ayah yang kukenal selalu bersuara lembut, penuh kasih, dan tegar. Tak pernah kudengar kesedihan atau kemarahan dari mulutnya.
“Kamu sekarang udah dewasa, Go. Ayah yakin, walaupun sekarang kamu ngerasain hal yang sama, kamu juga bisa tetap kuat seperti Ayah. Jangan pernah nunjukin kesedihan kamu berlebihan di depan orang lain. Cukup kamu dan Tuhan aja yang tahu kesedihanmu. Kamu boleh nangis, kamu boleh meluapkan emosi kamu, tapi nggak di depan orang, agar kamu tetap terlihat sebagai orang yang tegar. Simpan Raya dalam hati kamu, ingat selalu nama orang yang udah sayang dan peduli sama kamu. Ayah berutang budi sama Raya karena udah nyelametin kamu. Kalo sampe kamu yang ada di posisi dia, Ayah nggak bisa bayangin gimana hari-hari Ayah nantinya tanpa kamu, Nak.” Ayah merangkulku lagi.
Aku hanya dapat terdiam dan memeluk Ayah. Kemudian Ayah melepas rangkulannya dan menepuk bahuku sambil tersenyum memberiku semangat dan ketegaran. Tepat saat itu, Ega muncul di depan pagar rumah kami, lalu masuk ke dalam dan memberi salam pada Ayah. Kami segera menuju ke RS untuk berangkat bersama dengan yang lain menuju kota Raya.
Setibanya kami di RS, aku dan Ega melihat semua orang yang akan mengantar Raya ‘pulang’ berwajah suram, sesuram langit pagi ini. Mataku tertumbuk pada Biyan yang tertunduk didampingi adiknya. Tiba-tiba Biyan mengangkat wajahnya dan menatap persis ke mataku. Aku segera mengalihkan pandanganku seolah tadi hanya tak sengaja menatapnya. Aku teringat kejadian itu, kejadian yang hanya aku dan Biyan yang mengetahuinya.
Aku sedang bersantai di kamarku sore itu sambil mendengarkan lagu dari komputer, saat tiba-tiba HP-ku berbunyi nyaring tanda telepon masuk. Nomor yang tak kukenal muncul di layar. Siapa ini? Kukecilkan volume speaker sebelum menerima telepon.
“Halo?”
“Halo. Apa ini benar nomor Igo?” Suara laki-laki dewasa menyapa di seberang sana.
“Iya benar, ini siapa ya?” tanyaku.
“Aku Biyan, kamu tahu aku kan? Raya pasti udah cerita sama kamu.”
DEG! Biyan-nya Raya? Benarkah ini? Aku terdiam beberapa saat karena terkejut.
“Halo? Masih di sana?” Suara Biyan menyadarkanku.
“Eh, iya. Ada apa ya?”
“Nggak apa-apa. Aku cuma mau pesen sama kamu, boleh nggak?”
“Pesen apa? Kalo aku bisa ngelakuin ya boleh-boleh aja.”
“Aku mau nitipin Raya sama kamu. Tolong jaga Raya, awasin dia. Kasih perhatian sama dia juga, temenin dia biar nggak kesepian. Kamu bisa aku percaya kan, Go?”
“Kenapa aku? Kan kamu yang pacarnya. Walaupun jauh, aku rasa kamu masih bisa nemenin dia kan?” tanyaku heran.
“Asal kamu tahu, Go. Aku dan Raya udah putus. Dia yang mutusin aku, dia ngerasa nggak enak karena udah sayang sama orang lain, dan orang itu adalah kamu. Dia bilang dia nggak mau tersiksa terus-terusan karena ngerasa udah ngeduain aku. Aku nggak bisa bilang apa-apa sama dia, Go, karena aku juga ngerasa aku jarang ngasih perhatian lebih ke dia. Makanya aku mohon sama kamu, jagain dia di sana.” Suara Biyan terdengar dipaksakan tenang, tapi tak urung masih terdengar juga kesedihannya. Aku terkejut mendengar berita ini. Biyan dan Raya putus? Gara-gara aku?
“ Aku nelepon bukan mau marah-marah sama kamu, aku cuma mau minta tolong kamu gantiin aku jagain dia. Aku ngerti banget sifat dia, dan aku hormati keputusan dia karena rasa sayangku. Aku udah menduga kalo dia sayang sama kamu sejak dia sering cerita tentang kamu sambil nangis-nangis. Aku mohon banget sama kamu, jangan bikin dia nangis lagi. Jangan ngejauhin dia, dia paling nggak tahan kalo ada yang ngejauhin dia, apalagi dia orangnya peka banget. Mau kan, Go?”
“Emmm, apa kamu yakin aku bisa? Aku nggak yakin, Bi. Aku ngejauhin dia karena aku ngerasa nggak pantes dia sayangi, apalagi aku sebenernya masih sayang sama orang lain. Aku juga ngerasa berdosa karena aku sering cerita tentang perasaanku itu ke dia. Aku mana tahu kalo dia ternyata sayang sama aku. Maaf kalo kalian putus gara-gara aku ya.”
“Nggak apa-apa, Go. Makanya kan aku bilang, aku bukan mau marah-marah sama kamu. Tapi kalo sekali lagi kamu bikin dia nangis, aku nggak segan-segan dateng ke sana untuk ngehajar kamu. Nggak ada yang boleh bikin dia nangis lagi, paham?” Biyan mulai terdengar mengancamku, tapi aku tahu benar dia melakukannya karena sayangnya pada Raya.
“Oke, Bi. Aku akan segera mikirin cara terbaik untuk minta maaf sama Raya. Aku janji sama kamu,” kataku sungguh-sungguh.
“Makasih banyak, Go. Inget kata-kataku, aku nggak segan-segan dateng ke sana begitu tau Raya nangis karena kamu,” ujar Biyan sebelum menutup telepon.

“Hei, Go.” Tanpa kusadari Biyan sudah duduk di sampingku dan Ega. Aku kaget dan sedikit beringsut memberinya tempat duduk.
“Jangan gitu banget deh. Aku cuma mau nyapa kok. Aku nggak bisa marah sama kamu, Go. Raya pasti bakal sedih dan nggak tenang di sana kalo sampe aku ngehajar kamu di hari pemakamannya. Yang udah terjadi nggak bisa kita ulangin lagi. Aku emang pernah ngingetin kamu, tapi kali ini bukan salah kamu ataupun Raya. Ini emang udah takdir, seperti kata Raya,” kata Biyan datar.
“Maafin aku, Bi. Aku nggak bisa menuhin janjiku ke kamu. Aku bahkan belum sempat minta maaf ke Raya, belum sempat baikan sama Raya. Aku yang udah nyebabin Raya meninggal. Kalo aja Raya nggak mendorong aku ke pinggir, dia nggak bakal begini. Aku, aku…” Kata-kata penyesalan terus terhambur dari mulutku sampai akhirnya aku tergagap dan tak dapat meneruskan karena tercekik kesedihan. Biyan memandangiku sedih, pandangannya membuat aku serasa ditampar.
“Udahlah, Go. Nggak ada gunanya juga menyesali yang udah terjadi. Ini takdir kita, dan mungkin ini keputusan Tuhan yang teradil untuk kita semua. Emangnya dengan menyesali dan nangis terus-terusan, Raya bakal balik? Nggak kan? Udahlah, Go.”
Masing-masing dari kami terdiam, memandangi kesibukan di sekeliling kami. Tampak Bu Caya, teman kos Raya, membawa kucing gendut berbulu coklat dan berekor tanggung ke keluarga Raya yang semuanya berwajah sembab dan berkata,”Ini kucing Raya di kos. Apa kalian mau membawanya? Kami nggak tahan mendengar suaranya memanggil-manggil Raya. Dia nggak tahu kalo Raya udah nggak ada.”
Kak Bagus yang menerima kucing itu berkata,”Ya udah Bu, biar saya yang bawa. Dia akan jadi pengingat kami pada adik perempuan saya satu-satunya itu.”
Kak Bagus dan Kak Priya duduk di salah satu tempat teduh sambil mengelus-elus kucing gendut itu, yang semula tampak berontak. Mereka seperti bicara pada kucing itu, seperti berusaha menerangkan bahwa pemiliknya sudah pergi dan mereka, kakak-kakak pemiliknya, akan menggantikan merawatnya. Kucing itu kemudian terdengar melolong sedih, seakan mengerti perkataan mereka. Lolongan kucing itu semakin menyadarkanku bahwa Raya sudah tak ada lagi di dunia ini.
Biyan berkata lagi,”Go, ngomong-ngomong dulu Raya kan punya blog. Aku pengen publish berita ini, tapi aku ga kuat. Bisa nggak kamu yang publish? Dulu Raya ngasih tau email dan passwordnya sama aku.”
Aku tertegun dan menjawab,”Tapi rasanya Igo juga nggak bakal tahan, Bi. Blog yang mana nih? Kalo nggak salah Raya punya beberapa deh.”
“Yang isinya puisi-puisinya Raya. Tau kan? Dia juga bilang dia nyoba bikin cerita, tapi belum sempet di-publish, baru dibuat draft. Bisa nggak kamu yang ngurus?”
“Iya deh, Bi.” Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Biyan kemudian memberikan email dan password blog Raya kepadaku. Lalu kami semua berjalan bersama ke dalam beberapa mobil yang kami sewa untuk iring-iringan mengantar Raya. Aku semobil dengan Ega, Biyan, Zufi, Rosalba, Dhilla, dan Fanya, sedangkan Flora, Vella, Awan, Iwan, Azar, Cahya, dan Ipul semobil. Teman-teman kos Raya menyewa mobil lain untuk membawa mereka. Dalam mobil semua hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana terus hening sampai kami tiba di rumah Raya, yang disambut keluarga besar Raya yang lebih dulu sampai dan tetangga-tetangga Raya. Keluarga besar Raya menangis terus-menerus, sedangkan umma Raya yang berkali-kali pingsan dipapah oleh appa-nya dan Kak Priya. Kami yang tidak mengenal siapapun di situ hanya berdiri bergerombol sambil tertunduk. Kemudian kami semua bersiap untuk mengikuti acara pemakaman.
Kini di sinilah kami, di pemakaman dekat rumah Raya. Proses pemakaman berjalan agak lambat, mengingat umma Raya terus menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Beliau seperti tak rela puteri satu-satunya harus kembali ke tanah lebih dahulu darinya. Kami menyaksikan dari jarak agak jauh karena yang diperbolehkan dalam jarak dekat adalah pihak keluarga. Saat jenazah Raya dimasukkan ke tanah, teman-teman perempuan semua menangis. Aku, Ega, dan teman-teman laki-laki hanya terdiam dan tertunduk. Kurasakan Ega merapat ke tubuhku, tangannya merangkul pundakku. Kulirik wajahnya, tampak air mata mengalir deras tanpa suara di pipinya. Lalu kusadari bahwa aku juga menangis, entah sejak kapan ada air mata ini di wajahku.
Setelah para tetangga mereda, kami mendekat ke makam Raya. Kami berjongkok mengitari makam tersebut dan memanjatkan doa dalam hati masing-masing untuk Raya. Sampai akhirnya teman-teman yang lain berdiri, aku, Ega, Biyan, dan Zufi masih tetap berjongkok. Teman-teman mendahului kami menyusul keluarga Raya ke rumah.
Aku menelan ludah menahan tangis, lalu berkata,”Ray, Igo minta maaf. Maaf banget karena telat baikan sama Raya, maaf karena bikin kamu jadi gini. Makasih banget Ray, buat semua yang udah Raya kasih ke Igo, walau Igo nggak pernah bisa ngebales. Makasih banget karena udah nyampein pesan Ibu. Igo nggak tau harus gimana nantinya di kampus kalo nggak liat kamu, nggak liat senyum kamu, nggak ngobrol lagi sama kamu. HP Igo pasti bakal sepi banget, Ray. Igo harap Raya tenang di sana ditemenin Ibu.”
Ega berkata lembut,”Ega juga minta maaf, Ray. Coba Ega nggak bawa kamu ke taman, pasti kamu jam segini lagi kuliah bareng kita dan temen-temen kampus lainnya. Ega nyesel banget udah bikin Raya gini. Ega juga nyesel karena nggak bilang dari dulu kalo Ega sayang Raya. Kamu inget Ray, kamu pernah bilang kalo cinta itu diciptakan untuk diungkapkan, nggak peduli apa pun respon dari orang yang kita cinta, yang penting kita berani ngungkapin. Dan Ega sebagai cowo, udah nyia-nyiain kesempatan yang sebenarnya cukup lama itu. Maaf ya, Bi, Ega nggak maksud nyinggung kamu.”
Biyan tersenyum sedih, lalu berkata,”Nggak apa-apa, Ga. Raya sayang, untuk kamu tau, Biyan selalu sayang sama Raya. Walaupun kita udah putus, selamanya Raya nggak akan terganti posisinya di hati Biyan. Walaupun Raya sempet suka sama anak-anak tengil ini, Biyan maklum karena itu juga salah Biyan yang udah sering ninggalin Raya kesepian. Maafin Biyan, Ray, dan makasih untuk hari-hari kita.”
Kami berempat mulai berdiri dan perlahan berjalan meninggalkan tubuh Raya yang terkubur jauh di bawah tanah. Kami kembali ke rumah Raya dan duduk di dalam mobil agar tidak mengganggu keluarga Raya. Untuk mengisi waktu, aku iseng meraih laptop dan modemku untuk membuka blog Raya. Ega dan Biyan yang di sampingku ikut memandang layar laptop saat aku sign in ke blog Raya. Aku membuka daftar entri blog tersebut dan menemukan beberapa judul draft post yang mirip. Rupanya Raya membagi ceritanya dalam beberapa part. Tapi, astaga, ceritanya berjudul Kisa-Rayne? Itu kan panggilan sayang khusus untuk kami berdua. Ega dan Biyan yang tidak mengerti maksud dari judul post tersebut bertanya,”Kok judulnya Kisa-Rayne ya?”
Aku menjawab pelan,”Itu panggilan khusus kami berdua. Aku juga nggak tau kenapa dia pake judul ini.”
Biyan berkata,”Coba baca dulu isinya, Go.”
Kami membuka satu per satu draft post tersebut sesuai dengan urutannya. Selama membaca, aku, Ega, dan Biyan tak henti-hentinya ternganga. Sumpah, ini aneh sekali! Apa yang ditulis Raya adalah peristiwa yang terjadi sejak awal aku mengenal Raya. Raya menuliskan kejadian sangat persis dengan yang kami alami, mulai dari ketika dia hujan-hujanan, masuk RS, peristiwa RS dengan Ega dan aku, pertengkaran di Taman Kota, bahkan dia menuliskan detail kecelakaannya, mimpi saat koma, sampai detik-detik meninggalnya. Semua ditulis rinci dari sudut pandangnya sendiri, dia menuliskan tokoh utama sebagai ‘aku’. Detail-detail cerita itu tanpa terasa membuat bulu roma kami berdiri. Dari tanggal draft tersebut dibuat, kami mengetahui dia membuat cerita tersebut kira-kira pada hari-hari saat dia sedang opname di RS. Tapi bagaimana dia bisa menuliskan detail setelah dia keluar dari RS, bahkan ‘membunuh’ dirinya sendiri dalam cerita dengan kejadian yang persis sama dengan yang sebenarnya? Jelas bahwa dia tak mungkin menuliskan ceritanya saat dia dan Ega ke Taman Kota, dan jelas pula bahwa cerita itu tak ditulis setelah itu, karena dia mengalami koma. Cerita itu dia selesaikan saat masih ada di RS dan belum mengalami itu semua. Bagaimana Raya bisa?
Aku, Ega, dan Biyan saling berpandangan, pertanyaan-pertanyaan tersebut tercetak jelas di wajah kami.
“Gimana Raya bisa nulis itu semua? Kan dia belum mengalami kejadiannya?” celetuk Ega bingung.
Aku dan Biyan hanya menggeleng, kami sama tidak tahunya dengan Ega, yang notabene lebih dekat dengan Raya di hari-hari terakhirnya. Lalu aku berkata,”Bi, terus ini gimana? Tetep kita post?”
“Iyalah, kita harus publish cerita ini. Serius, Raya bener-bener amazing. Pantes dia nggak mau bilang ke aku sedikit pun tentang ceritanya. Abis kamu publish semua draft itu, publish lagi pemberitahuan kalo yang publish bukan Raya, tapi kita. Dan cerita itu bener-bener Raya yang bikin. Jelasin aja kalo kita nggak ngebuat-buat cerita itu, bahkan kita juga nggak tau kalo dia bikin. Kita yang mem-publish karena Raya udah nggak bisa lagi ngebuka blognya, tau sendiri kan maksudku?”
Aku mulai mem-publish setiap draft yang ada, lalu mengetikkan pemberitahuan seperti kata Biyan. Tiba-tiba mataku tertuju pada link yang tercantum di paling bawah part terakhir dari cerita Raya. Aku meng-klik link tersebut, dan ternyata link itu memutar lagu band Samsons.
Tak ada tempat seperti surga
Untuk kuhabiskan hidupku denganmu
Senandung alunan terindah akan kulakukan
Teruntuk dirimu cinta,  separuh darah hidupku
        (Samsons – Tak Ada Tempat Seperti Surga)
Hatiku perih, sedemikiankah perasaan Raya padaku, yang aku campakkan begitu saja? Aku menghentikan lagu itu dan kembali ke blog Raya. Saat melihat home blog Raya, terdengar lagu yang ada di blog tersebut.
Kan kuingat perjalanan ini
Bersamamu walau kau tak di sini
Hingga kuraih semua angan serta wujudkan mimpi-mimpiku
Jangan pernah kau tangisi aku
Aku pergi pasti akan kembali
Datang padamu, tepati janji
Merangkai hari yang t’lah kita nanti 
       (Igo – Terima Kasih)
Lagu di blognya ternyata telah dia ubah menjadi lagu favoritku, yang pernah kuceritakan padanya dulu. Pastilah dia mengubah lagunya saat bermaksud mem-publish ceritanya, agar sesuai dengan kami. Lagu itu membuatku semakin merindukan Raya dan mengalirkan air mataku kembali di pipiku. Aku tersadar bahwa saat aku menceritakan lagu-lagu favoritku, aku juga menceritakan tentang seseorang yang aku suka sejak dulu. Aku juga tersadar, pastilah saat aku bercerita, Raya diam-diam menahan perih di hatinya karena ceritaku dan tetap tersenyum serta menanggapiku. Raya, kali ini aku menyanyikan lagu ini dalam hati untukmu, walaupun apa yang dimaksudkan dalam lagu itu tak mungkin terlaksana lagi dan kamu tidak lagi di sisiku…
Dan kuucapkan terima kasih, Sayang
Atas semua cinta yang t’lah kau beri
Dan ku berharap s’moga kan abadi
Hingga terjaga sampai akhir nanti

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS