Aku terduduk di tempat tidurku
menyadari tak seorang pun terdengar berlalu
menyadari hanya gemericik hujan dalam gendang telingaku
menyadari tak seorang pun mengingatku
Kutatap langit-langit kamar nanar
teringat orang tuaku bekerja dengan tekad terpancar
hanya satu tujuan, agar aku dapat terus belajar
tak hiraukan masalah, mereka cari uang dengan gencar
Teringat priaku yang sedang terbang membentangkan sayapnya
belajar menjadi pria sejati calon kepala rumah tangga
seringkali terlalu asyik dengan dunianya
tapi ku tahu, dia harus bisa tetap terbang
itulah caranya tunjukkan kemampuannya
Teringat pula teman-temanku yang semakin menjauh
tampak akrab tanpa pernah sadari pandanganku
kawan, aku ingin sekali menyatu!
tapi mengapa tak pernah kalian hiraukanku?
Saat ini duniaku hanyalah kamarku
tempatku merenung, membisu, dan terpaku
saat keluar hadapi dunia, aku tidak menjadi aku
Sesak, sungguh sesak himpitan di dada
ku bergelung di tempat tidur hanya berteman boneka
tak ada yang mengajak bicara, tak ada yang buatku tertawa
tetes demi tetes air mata di pipi bagai berlomba
kutahan isak yang nyaris bergema di udara
Tiap pulang dari dunia luar kusadari aku selalu sendiri
tak ada tempat berbagi cerita lagi
kini apa lagi yang harus kuhadapi?
Kesepianku
Ketika
Gores Luka Sang Rajapatni
Akulah Gayatri Rajapatni
hanya bisa haturkan sembah bekti
turuti apa yang bukan kehendak diri
semata taati darah dan gelar nan suci
Tak mampu sekalipun mulut terbuka
membantah apa mau Sang Baginda Wijaya
tak mampu pula berontak krama
demi perjuangkan hasrat dalam dada
Aku memang tak seperti Ayunda Tribhuana
yang biasa ditanya dan diajak bicara
analisis keadaan pemerintahan Baginda
Bukan pula seperti Ayunda Mahadewi
yang terkasih di antara permaisuri
tenangkan jiwa Raja tiap hari
Tidak pula seperti Ayunda Jayendradewi
teguh kukuh menjaga cinta suci
setia guru laki hingga mati
Apalagi seperti Indreswari Stri Tinuheng Pura
yang hanya bisa bermanja pada Kakanda
merengek mohon Kala Gemet Putera menjadi Raja
Aku, Rajapatni, berbeda!
walau terbiasa tundukkan kepala
bahkan kala ego diri meraja
Sang Baginda takkan mampu murka
hanya denganku Baginda bak Syiwa-Uma
hanya aku sang penurun penerus tahta
turunkan penerus yang lebih mulia dari Ayahandanya
Memang aku bukanlah puteri suci
aku telah berani membagi hati
menjalin kasih dengan lain lelaki
ksatria gagah idaman hati
tapi tlah usang seiring langkah menjadi permaisuri
Dalam diam ku berusaha
tetap tunduk tanpa mencela Baginda
semata pertahankan harga diri wanita
walau tuk itu harus berkorban rasa