Cerita Raya, Awal Mula Muramnya Angin

Hai, aku Raya. Jangan kau pikir aku seperti jalan raya atau Kebun Raya Bogor yang selalu ramai, karena bila kau bertanya pada teman-temanku, pastilah mereka menjawab sebaliknya. Aku yang mereka kenal memang lebih sering diam dan lebih memilih tidak bergabung dengan kelompok manapun. Aku masih cukup tahu diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang sudah kuat solidaritasnya, aku tak ingin merusak ikatan itu dengan kehadiranku.
Seseorang yang dekat denganku pernah sedikit bernostalgia, membayangkan pertama kali kami bertemu. Dia –dan beberapa teman lain juga- mengingatku sebagai ‘gadis yang sering menunggu jemputan di gerbang sambil membaca buku dengan asyik’ atau ‘gadis yang mempunyai dunia sendiri’. Mereka menganggap aku gadis berwajah judes yang pendiam, yang setelah kenal dekat ternyata hal itu salah besar. Tapi tetap saja, ketahananku untuk tidak terikat pada kelompok manapun membuat mereka sedikit bertanya-tanya, mungkin kalian juga begitu.
Bayangkan bila kalian baru duduk di kelas 1 SMP. Suatu hari kalian pusing dengan satu hal dan direcoki dengan hal yang sama berulang-ulang oleh teman kalian sejak SD, tentu kalian kesal, kan? Kalian kesal dan mengungkapkan pada orang tersebut, lalu pulang meninggalkannya untuk menghindari dia berbuat lebih menjengkelkan. Dan ternyata orang itu mengatakan pada teman-teman yang lain bahwa kalian kesal dengan mereka dan tak ingin bekerja bersama, sehingga keesokan harinya kalian dijauhi sebagian besar gadis sekelas, bahkan sampai beberapa hari berikutnya. Padahal guru kalian memberi tugas yang harus dikerjakan berkelompok, dan sialnya kelompokmu adalah gadis-gadis tersebut. Saat mengerjakan pun kalian tidak dihubungi untuk mengerjakan bersama, kalian dikucilkan begitu saja. Tentu kalian merasa kecewa dan sedih kan? Ibu kalian yang mengetahui hal itu mencoba menghibur dan mengajak membuat tugas tersebut sendiri. Apa salahnya mencoba dahulu, berikan saja hasilnya pada kelompok itu, terserah mereka hendak dipakai atau tidak, kata ibu kalian. Setelah jadi hanya dalam waktu 2 hari, kalian memberikan hasilnya pada ketua kelompok, yang terlihat sedikit tercengan menerimanya. Dari teman kelas yang tidak termasuk kelompok tersebut, kalian mengetahui bahwa walaupun sudah berkumpul beberapa kali tapi tugas kelompok itu belum selesai juga. Karena beban dalam hati kalian tersebut, sehari sebelum pengumpulan tugas kalian jatuh sakit dan tidak masuk sekolah ketika hari pengumpulan tugas. Ketika masuk, kalian diberi tahu bahwa nilai kalian dikurangi karena tidak masuk. Padahal yang dikumpulkan sebagai tugas kelompok adalah yang kalian buat bersama ibu. Bagaimana perasaanmu? Sakit hati, kecewa, merasa diperlakukan tak adil, itu yang aku rasakan saat itu.
Sejak itu aku memutuskan tak akan mencoba mendekati teman-teman pengkhianat itu. Terlebih saat aku menjalin hubungan dengan orang yang cukup popular di kalangan teman-teman, anak-anak itu seperti bertambah jauh dariku. Silih berganti laki-laki yang mencoba dekat denganku bahkan jadian denganku. Semuanya hampir sama, mendekatiku karena orang tuaku memiliki tempat yang cukup terkenal di kotaku atau karena fisikku. Dari 8 yang berhasil jadian denganku, hanya 2 yang benar-benar membuatku patah hati saat meninggalkanku. Kebetulan pula, kedua orang itu sedikit jauh jarak umurnya denganku. Mungkin karena perbedaan itu kami berpisah, aku tak pernah cukup memenuhi kriteria mereka yang terbiasa bergaul dengan gadis-gadis yang lebih tua dan berpikiran lebih seperti mereka dibanding aku. Kejadian-kejadian itulah yang membuatku menjadi seperti sekarang, lebih suka di dalam duniaku sendiri.
Tak cukup di situ, keluargaku pun lebih sering mengurungku di rumah karena aku gadis satu-satunya. Kedua kakakku laki-laki, dan sungguh, hal itu yang membuatku menyesal mengapa aku terlahir sebagai perempuan. Aku juga ingin bermain bersama teman-teman, aku ingin berjalan-jalan keluar bersama mereka seharian. Toh aku jarang pulang terlalu larut. Aku juga keluar ke tempat ramai, untuk apa dicemaskan? Laki-laki yang dekat denganku diteliti satu per satu, keluargaku harus benar-benar mengenal mereka agar mereka bisa mengajakku keluar. Itu pun bukan sebagai pacar, bila aku berpacaran dengan mereka. Dari sekian banyak, yang benar-benar dipercaya oleh orang tuaku hanya sekitar 5 orang, 3 sahabat, 1 mantan, dan 1 kakak angkatku. Keluargaku, terutama ibuku, seperti lebih setuju bila aku dengan mantanku tersebut. Padahal aku sudah menganggapnya hanya sebagai kakak dan teman, walau dia amat baik padaku. Kini aku memiliki pacar yang benar-benar kusayangi, tapi aku belum berani mengatakannya pada keluargaku. Hanya sepupu dan seorang pakdeku yang mengetahui hubungan kami. Aku tak bebas keluar dengannya ataupun teman yang lain. Astaga, demi Tuhan, aku sudah mahasiswa! Aku tahu mana yang baik dan yang buruk, aku masih cukup bisa mengendalikan diri. Kenapa mereka seperti takut aku akan menjadi pelacur?! Aku bagai burung dalam sangkar berjudul ‘gelar’, hanya karena sangkar tersebut aku harus benar-benar berhati-hati menjalani hidup di luar sana. Hei, untuk apa aku disekolahkan bila aku dianggap akan tak tahu aturan bila keluar dari rumah?! Cukup, ya Tuhan, aku tak ingin terus-menerus dikurung!
Aku mencintai pacarku yang sekarang. Dia orang yang apa adanya, sayang terlalu ceplas-ceplos kadang hampir tak tahu sikon. Dulu aku santai sekali dengannya, sering bercanda mengenai laki-laki lain. Setelah suatu hari dia meminta kami menjauh sementara, aku sadar bahwa aku mencintainya. Aku sudah terlalu lelah menghadapi laki-laki brengsek lain di luar sana, aku lelah menjalani proses ini dari awal lagi. Aku sadar, aku hanya ingin dia. Tapi beberapa kali pacarku berkata, lebih baik nantinya putus untuk beberapa lama lalu kembali lagi, hanya agar tak jenuh menjalani hubungan. Sebenarnya hal itulah yang paling membuatku terpukul. Bila telah merencanakan berpisah, mengapa harus bersama? Kuakui, aku takut dengan teman-temannya. Aku takut tak bisa membaur karena trauma dan rasa rendah diriku, aku takut mempermalukannya di depan teman-temannya. Aku takut aku bukanlah orang yang dia inginkan. Aku memang egois, tak ingin dia pergi dariku. Tapi apa lagi yang akan kalian lakukan, bila kalian tahu dia salah satu dari segelintir saja orang yang benar-benar mau mengerti dan mendengarkan kalian?
Bisa dibilang aku pulang ke rumah hanya demi teman-teman dan pacarku. Aku merasa lebih nyaman berada di kosku di luar kota dibanding di rumahku sendiri. Aku bisa lebih bebas di sana, lebih bertanggung jawab pada diriku sendiri. Bahkan di luar kota, aku masih tetap tak mau terikat dengan kelompok tertentu. Aku lebih sering pulang sendirian. Jarang sekali aku pulang beramai-ramai, walau banyak teman sekelas yang searah dengan kosku. Di kos pun demikian, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Perasaan takut dan rendah diriku tak pernah sembuh sejak kejadian SMP dahulu, aku takut berdekatan dengan teman-teman perempuan. Aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki, karena laki-laki lebih jujur dan tulus dibanding perempuan. Tapi tak jarang pula aku mengalah dan mundur teratur bila kulihat teman-teman lelaki itu sedang bersama kelompoknya. Seperti kukatakan semula, aku tak ingin merusak suasana kelompok tersebut. Aku tak suka bila tak mengetahui pembicaraan mereka, tapi aku juga tak ingin ikut campur.
Kini kuputuskan, biarlah aku diam di sudut tergelap bangku penonton ini. Biar saja semua tak melihatku, toh bila benar-benar butuh mereka pasti akan mencariku dengan cermat dan menemukanku di sini. Aku bagai sang Phantom of the Opera, yang tinggal dalam kegelapan dan kesunyian karena berwajah buruk, yang hanya muncul bila benar-benar diperlukan. Aku diam, aku menjadi pendengar, dan aku mencatat semua yang kudengar. Aku bagai gajah yang tak pernah bisa melupakan apapun yang pernah kualami, walau aku tak pernah mendendam. Dan aku ingin menjadi sang angin, yang tak terlihat dan tak diperhatikan, tapi dicari bila tak berhembus...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar