Di Balik Lampu Sorot

Aku menatap pemuda yang sedang menyanyi di atas panggung itu lekat-lekat. Mataku terus tertancap, tak ada satu pun gerak si pemuda yang terlewat dari video dalam benakku. Mulutku ikut menyenandungkan lagu yang sedang dia nyanyikan, sesekali aku ikut heboh berteriak memanggil namanya bersama teman-temanku.
Kurasa ku t’lah jatuh cinta
pada pandangan yang pertama
sulit bagiku untuk bisa
berhenti mengagumi dirinya                      (RAN – Pandangan Pertama)
Pemuda itu bernyanyi dengan asyik, bibirnya tak henti tersenyum kepada para penonton. Para gadis yang beruntung itu tambah keras menjerit memanggil namanya. Astaga, aku iri sekali dengan keberuntungan mereka, hanya karena duduk di barisan depan. Anak ini tak sekali pun melirik pendukungnya, aku dan teman-temanku, yang ada di barisan belakang. Setelah selesai menyanyi, dia dan para personil band yang lain turun dan menghilang ke samping panggung. Tak lama, dia muncul dari pintu masuk utama dan duduk di tengah-tengah teman-teman gengnya, yang duduk agak jauh dariku. Dia bahkan tak melihatku sama sekali, meski sepertinya karena dia tidak memakai kacamatanya.
Teman-teman pendukung ribut memujinya, sementara dia menyeka keringat di wajah dan tampak depresi, seperti biasa bila dia selesai menyanyi. Aku sudah lelah tersenyum yang tidak dilihatnya, pipiku pegal sekali. Aku menyamarkannya dengan menunduk memandangi layar HP-ku, padahal tak ada pesan atau apapun terpampang. Aku membuka twitter-ku dari HP, mulutku tanpa sadar bernyanyi mengikuti lagu yang sedang dinyanyikan band berikutnya.
Aku memang tak sebodoh yang kau pikirkan
karena ku punya semua mimpi dan tak semudah itu kau lenyapkan
dan aku terlalu kuat tuk kau taklukan
t’rimalah ini, Sayang                                      (Seventeen – Lelaki Hebat)
“Hei.” Aku menoleh ke kanan dan refleks bergeser karena terkejut. Dia duduk manis di sisiku sambil tersenyum polos. Entah sejak kapan dia di sampingku.
“Apaan sih, ngagetin aja deh,” ucapku sambil mengatur nada supaya tetap datar.
“Habis kamunya asyik banget sama HP kamu, sampai nggak tau aku udah duduk di sini. Ngapain sih?” tanyanya dengan muka tetap polos. Anak ini manis juga kalau dilihat dari dekat.
“Mau tau aja kamu. Kok nggak barengan sama anak-anak?” tanyaku berusaha mengusir pikiran aneh yang hinggap di otakku.
“Anak-anak pamit pulang duluan, mau makan. Kamu udah makan?”
“Udah tadi. Kok kamu nggak ikut?”
“Kan masih nungguin lombanya selesai, ntar abis pengumuman main lagi kalo juara. Lagian kasian kamu sendirian melulu,” katanya sambil tersenyum manis.
“Biasanya juga sendirian kok. Nyante aja kali,” kataku masih dengan ekspresi datar.
“Kamu datar banget sih, kebiasaan deh. Eh, ngomong-ngomong gimana perform aku tadi? Jelek banget ya?” Mulai lagi anak ini meributkan penampilannya. Aku sedikit menghela napas.
Well, oke kok. Tapi keliatan banget kamu nggak ‘masuk’ ke lagunya. Lagi mikirin apa sih? Kenapa nggak berusaha nampilin sesuai lirik lagunya?” tanyaku.
“Iya, aku lagi nyari-nyari seseorang tadi. Sial banget, kayanya dia nggak liat penampilanku. Padahal dia janji mau dateng, malah tadi bilang udah nyampe.” Wajah yang polos itu sedikit memburam.
“Lho, tadi dia dateng kok. Kan bareng sama temen-temen yang lain. Kamu nggak liat dia? Bukannya tadi kamu duduk bareng dia juga?” kataku heran.
“Hah? Maksudnya siapa?” Wajahnya memancarkan keheranan yang sama denganku.
“Itu, si Fian. Tadi kan barengan Ami, bareng Azar juga.”
“Kok jadi Fian sih? Bukaaan, maksudku bukan Fian tau. Ada orang lain yang janji mau nonton aku tampil. Tapi pas aku cari dia dari atas panggung nggak ketemu, abis silau banget sih. Pas udahan juga dia nggak ngasih komen apapun.”
“Oh, kirain. Siapa emangnya? Berarti dia nonton, cuma karena kamu lagi sama temen-temen jadi nggak enak ganggunya. Paling juga ntar lewat SMS. Apa jangan-jangan dia ada di sekitar sini, lagi ngeliat kamu duduk bareng saya? Hus hus, sana jauh-jauh. Ntar saya dikira mau ngerebut kamu,” ujarku sambil mendorongnya perlahan.
Dia tertawa kecil dan berkata,”Apa sih, kamu su’udzon banget. Nyante ah, dia nggak gitu orangnya. Eh, ini dia udah komen.”
“Komen apa dia?”
“Ada deeh, rahasia berdua. Hohohohoho…” Dia menjulurkan lidahnya padaku sambil tersenyum nakal. Aku menjitaknya kesal.
“Aduh! Sakit, Ray. Raya nakaaal…” Dia meringis kesakitan sambil mengelus-elus dahinya yang sedikit memerah. Kesalku sedikit terhapus dengan kasihan melihat wajahnya, kuusap dahinya pelan.
“Makanya kamu jangan suka rese sama saya. Ntar kalo saya jitak lagi kan kamunya juga yang sakit,” kataku prihatin.
“Iya iya. Kamu juga dong, jangan datar-datar banget kalo sama aku. Kalo di luar kan kamu rame, di kampus malah nyuekin aku. Jahat banget,” ujarnya sedih.
“Bukan saya yang nyuekin, kamunya yang terlalu sibuk sampai ngelupain saya. Saya sih cuma nunggu kamu inget aja,” kataku kalem.
“Hadeh, kalah lagi. Iya iyaaa, Ega janji nggak nyuekin Raya. Oke? Senyum dong, Ray,” katanya sambil menatapku. Aku tersenyum melihat wajahnya yang memohon, seperti kucing kecil memohon dielus.
“Nah, gitu kan keliatan cantiknya. Pulangnya gimana, Ray? Bareng yuk,” katanya.
“Kos aku kan lumayan deket, Ga. Enakan jalan deh daripada muter.”
“Temenin aku dulu, mau makan nih. Mau kan, Ray?”
“Kayanya tadi ada yang bilang masih nungguin pengumuman lho. Siapa ya?” sindirku.
“Hehehe, makan bentar doang kok. Kak Jose kan nungguin di sini, ntar sewaktu-waktu pasti SMS. Ayo, keburu pengumuman,” ajaknya sambil menarik tanganku.
Di warung, dia memesan nasi goreng dan susu, sedangkan aku memesan segelas besar jus jambu kesukaanku.
“Kamu nggak makan aja? Itu gelas gede banget sih,” kata Ega terpana melihat gelas jus jumboku.
“Tadi udah kok. Sekarang emang waktu ngemil, saya ngemilnya jus. Nggak bawa biskuit nih, lupa. Lagian masnya udah ngerti kebiasaanku kok,” kataku santai.
“Kebiasaan yang mana?” tanya Ega.
“Jam segini aku sering beli jus jambu jumbo ini. Hehehehe…” cengirku.
Ega mengacak-acak rambutku gemas. “Dasar ya kamu. Itu sih udah setingkat sama makan nasi.”
“Kenyangnya sih sama, tapi kan tetep aja bukan nasi. Udah, cepetan diabisin makanan kamu,” kataku.
Kami terdiam dan menikmati pesanan kami masing-masing. Persis setelah dia menghabiskan makanan dan minumannya, HP-nya bergetar. Dia menerima telepon sebentar, lalu berkata,”Ray, ayo balik ke gedung. Udah band terakhir, mau pengumuman.”
Aku mengulurkan uang ke penjual warung, yang segera ditepis oleh Ega.
“Udah, aku aja yang bayar.”
“Nggak mau, mau bayar sendiri aja,” kataku, dengan cepat aku menaruh uang ke tangan si penjual yang tersenyum geli melihat kami.
“Nih, Mas, uang pas. Saya bayar sendiri, jus jambu jumbo empat ribu kan? Makasih ya,” ujarku sambil nyengir melihat ekspresi kalah Ega.
Selesai membayar, kami bergegas kembali ke gedung. Kami masuk tidak bersamaan, dia langsung duduk dengan teman-temannya, sementara aku duduk di ujung barisan yang gelap karena tak kebagian lampu, persis saat pengumuman juara kedua selesai.
“Juara 1 adalah… Monsta Band, dengan lagu dari RAN, Pandangan Pertama. Silakan personil Monsta Band untuk segera mempersiapkan diri tampil kembali.” Kata-kata MC membuat heboh teman-temanku, mereka mengguncang-guncang tubuh Ega keras-keras. Aku hanya menatapnya kasihan dari tempat dudukku, pasti makanan di perutnya ikut terkocok. Kak Jose menghampiri dan menyeret Ega yang masih melongo tak percaya dengan kemenangan mereka.
Ega dan personil band lainnya bergegas naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Ega selaku vokalis berkata,”Terima kasih untuk teman-teman pendukung yang setia memberikan dukungannya sejak kami mulai latihan sampai perform. Terima kasih juga untuk dewan juri yang baik hati. Saya pribadi mengucapkan terima kasih pada seseorang yang setia menemani saya, maaf juga karena saya tidak banyak memperhatikan kamu. Lagu ini untuk kamu, dan kalian semua yang juga merasakan hal yang sama dengan saya.”
Para penonton berteriak riuh-rendah mendengar ucapan Ega tersebut. Teman-temannya tertawa sambil menyoraki Fian, yang memang sedang dikagumi oleh Ega. Aku tersenyum sendiri melihat tingkah mereka. Beruntung kegelapan ini membuat kegetiran dalam senyumku tak terlihat.
Ega terdengar berkata kembali,”Lagu ini kami persembahkan sebagai lagu khusus, lagu kemenangan kami. Tapi saya ingin meminta bantuan pada seseorang untuk menyanyi bersama saya di sini, di panggung kemenangan ini. Aurez Raya Talitha, saya minta kamu mau menyanyi bersama saya sekarang.”
Aku tersentak mendengar namaku dipanggilnya. Refleks mataku melihat ke arah teman-teman Ega, mereka juga tampak tercengang mendengarnya. Aku segera menciutkan tubuhku agar terlindung dalam kegelapan bawah lampu tersebut. Kulihat Ega mencari-cari ke seluruh penjuru ruangan. Tiba-tiba saja dia meloncat dari atas panggung dan berlari ke tempatku duduk selama itu.
“Ayo, Ray, ikut ke atas panggung sekarang,” katanya sambil menarik tanganku. Dari balik punggungnya kulihat mata para penonton tertuju pada kami berdua.
“Nggak, Ga, saya nggak mau. Suara saya kan jelek,” ujarku bertahan dari tarikannya.
“Ray, Ega mohon sama kamu. Ayo naik sekarang,” katanya mendesakku.
Aku tak bisa bertahan lagi dari tarikannya yang amat kuat. Aku terseret olehnya, dan dalam sekejap mata aku dan Ega sudah berdiri di atas panggung. Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa aku akan bisa berdiri di panggung ini, apalagi bersamanya. Ega berdiri di sampingku, menggenggam sebelah tanganku, lalu berkata,”Ray, terima kasih untuk semua yang kamu kasih ke aku. Makasih banget karena udah mau ngasih kritik untuk nyanyianku, makasih untuk selalu ada buat aku, walaupun aku lebih sering nggak ada buat kamu. Sekarang aku mau kamu ada di sini, di bawah lampu yang terang-benderang ini, nggak cuma di bawah lampu yang nggak kebagian cahaya hangatnya. Lagu ini memang bukan aliran saya, tapi saya suka lagu ini, dan saya tahu kamu juga suka, Ray. Oh ya, untuk kalian tahu, teman-teman, seharusnya bukan saya vokalis band ini, tapi Raya. Well, check this out.
Terdengar intro lagu Menghujam Jantungku milik Tompi mulai dimainkan oleh Kak Jose dan kawan-kawan. Aku dan Ega bernyanyi bersama untuk pertama kalinya, bermandikan cahaya warna-warni dari lampu sorot. Untuk pertama kali pula aku merasakan hangat dan indahnya lampu sorot, setelah sekian lama tersembunyi dalam kegelapan di baliknya.
Kau membuatku merasakan indahnya jatuh cinta
indahnya dicintai saat kau jadi milikku
oh takkan kulepaskan, dirimu oh cintaku
teruslah kau bersemi di dalam lubuk hatiku                         (Tompi – Menghujam Jantungku)
Kurasakan wajahku menghangat, senyum malu terukir di bibirku. Aku tak berani mengangkat wajahku dan menatap para penonton, aku hanya tertunduk karena merasa nyanyianku amat buruk dan tak pantas diduetkan dengan suara Ega. Tetapi kemudian terdengar tepuk sorai penonton menggemparkan ruangan besar ini. Wajahku bertambah panas, air mata haru berkumpul di pelupuk mataku dan kutahan dengan susah payah. Genggaman Ega pada tangan kananku mengencang dan membuatku menatapnya, yang tersenyum padaku. Kak Jose, Kak Abi, Kak Darma, dan Kak Seta bergabung mengapit kami berdua di tengah. Kami berenam bergandengan tangan dan bersama-sama membungkuk pada penonton.
Setelah turun dari panggung, para personil dikerubungi pendukung yang berebut mengucapkan selamat pada mereka. Aku yang berada di belakang mereka segera menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari keramaian yang kubenci. Aku menyelinap di antara orang-orang yang sedang bersiap meninggalkan ruangan. Dengan cepat aku sampai di jalan setapak sepi di belakang gedung tempat lomba tadi. Aku berjalan gontai, nyaris tanpa sadar ke mana kakiku akan membawaku. Beberapa menit kemudian kusadari aku berada di depan warung tempatku dan Ega makan siang tadi. Aku memasuki warung tersebut dan memesan jus ekstra jumbo seperti yang kuminum tadi siang, tetapi kali ini aku memesan jus melon campur sedikit kayu manis untuk menenangkan sarafku. Mas-mas penjual itu tampak kaget saat melihatku datang tidak pada jam biasa, apalagi dengan wajah kusut. Untung dia cukup bijak tak berkata apapun tentang keadaanku dan segera menyajikan pesananku.
Aku tak segera menikmati minumanku. Pikiranku kembali melayang ke kejadian luar biasa yang baru saja kualami sementara tanganku mengaduk minuman.
“Kalo cuma diaduk nggak berasa loh, Ray. Minuman itu buat diminum, baru pikiran tenang.” Suara yang amat familiar itu menyadarkanku dari lamunan. Ega tampak berdiri di pintu warung dan tersenyum padaku. Wajahnya agak berkeringat dan napasnya sedikit terengah-engah. Dia masuk ke dalam warung dan berdiri di samping kursiku.
“Udah aku duga kamu bakal ke sini. Aku kaget tadi tahu-tahu kamu udah ngilang aja. Aku cari ke mana-mana, aku tanya-tanya nggak ada yang lihat kamu.”
Aku tertunduk dan berkata,”Maaf ya, Ga, saya nggak bilang dulu. Saya…”
“Sssstt, nggak apa-apa, Ray. Aku yang salah, aku lupa kamu nggak suka kerumunan gitu. By the way, nyanyimu tadi keren deh. Coba tadi kamu yang nyanyi buat lomba, bukan cuma buat penutup,” katanya riang.
“Apa sih, nggak usah nyindir deh. Saya tahu suara saya ancur,” ujarku bersungut-sungut.
“Loh, aku nggak nyindir, Ray. Semua tadi muji kamu. Aku malah yang minder jadinya. Kamu kan tahu sendiri aku baru kali ini jadi vokalis band.”
“Nyatanya kamu jadi juara juga kan. Suara kamu emang bagus, Ga,” kataku masih menunduk memandangi minumanku.
Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan hangat melingkari bahuku dari belakang. Ega berbisik tepat di telingaku.
“Raya, makasih banget buat tadi. Makasih juga buat selama ini, maaf banget aku nggak pernah ada buat kamu. Maaf aku nggak pernah jadi sahabat yang baik. Maaf aku ngingkarin omonganku sendiri. Aku selalu berusaha ada buat kamu, Ray. Sayang aku nggak pernah bisa membagi waktu antara temen-temen dan kamu. Maaf, maaf, maaf banget, Ray…”
Tubuhku membeku, sementara wajahku memerah.
“Ga, lepasin saya, Ga,” ucapku gemetar.
“Ray, dengerin Ega. Ega janji nggak akan memperlakukan Raya seperti dulu lagi. Ega janji akan selalu ada untuk Raya, seperti Raya selalu ada juga untuk Ega. Ega janji…” Kata-katanya terhenti saat jariku menutup bibirnya dengan lembut.
“Ga, dunia kita beda. Ega pasti sadar itu juga, kan? Ega memang ditakdirkan untuk berada di bawah lampu sorot, bermandikan cahaya itu. Saya ditakdirkan untuk selalu berada di balik lampu sorot, agar tersembunyi di kegelapan yang meneduhkan. Ega ditakdirkan untuk bersatu dengan keramaian, sedangkan saya ditakdirkan bersatu dengan kedamaian. Jangan pernah janji ke Raya, Raya tahu Ega lebih ngerti mana yang perlu didahulukan. Raya tetap ada di balik lampu untuk menenangkan Ega dan jadi ‘tempat sampah’ Ega sewaktu-waktu,” ujarku lembut seraya menatapnya.
“Setidaknya Ega pengen Raya tahu, semua yang Ega bilang tadi beneran dan akan selalu Ega usahain. Oh iya, yang tadi siang Ega bilang tentang seseorang itu sebenernya ya kamu, Ray. Tadi Ega nggak lihat Raya nonton, jadi Ega pikir Raya ingkar janji. Hehehe, maaf ya? Untung Raya nggak lupa komen penampilan Ega,” katanya tersenyum senang. Wajahku kembali memerah. Tak tahan menahan rasa maluku, aku menjitak Ega pelan.
“Aduh, kok dijitak lagi sih? Raya niih…” Ega meringis menahan sakit.
Aku dan Ega mengobrol dan bercanda selama beberapa waktu di warung tersebut, tak peduli wajah kami yang lusuh karena keringat sisa penampilan di gedung, tak peduli senyum penuh arti si pemilik warung temanku yang diam-diam memperhatikan kami sambil melayani pelanggan lain, tak peduli es batu dalam minuman kami telah mencair. Panca indera kami seakan telah tertutup kecuali untuk kami berdua, rasa yang telah lama diacuhkan dan terbuang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah ini romantisnya unyu deh gaya ABEGE, pake jitak-jitakan segala.


Tanggal nulisnya gak keliatan ya, Adit?

:D

Posting Komentar