SENDIRI


Pertama mencintaimu, ada sedikit keraguan
mampukah aku memahami duniamu
mampukah aku sepenuh hati mencintaimu
mampukah aku menjaga hatiku

Masih teringat jelas
saat kamu meminta maaf
karena tlah membawaku memasuki duniamu
dan kujawab tak apa
aku tahu resiko yang harus kutanggung
aku berani hadapi itu
karena aku bersamamu

Kini kita melewati banyak hal
saat-saat tertawa karena tingkah kita
saat-saat mesra tanpa banyak kata
saat-saat sedih akibat banyak duka

Kuakui sejak rehat pertama aku berubah
menjadi lebih mudah terbakar cemburu buta
lebih mudah marah saat kamu tak ada kabar
lebih mudah menangis bila terlalu penat

Tapi kuakui pula, ini pertama
bagiku mencinta hingga nyaris membuta
serahkan hati sepenuhnya pada seorang pria
sandarkan seluruh lemah lelah di bahu orang tercinta

Dan kini kau putuskan sendiri
menata hidup tuk meraih mimpi
berjalan meniti hidupmu kembali
tanpa mau aku di sisimu lagi

Aku tak tahu harus bagaimana
duniaku runtuh seketika itu juga
cinta dan kecewa membara dalam dada
hanguskan setiap akal dan logika

Di sini, Sayangku
aku seorang diri terpaku di kota rantauku
bila tak kuat, sesekali aku bersembunyi tersedu
adukan pilu hati pada Tuhanku

Aku hanya ingin ada di sisimu
mendengar cerita tentang bagaimana kau lalui harimu
menjadi saksi tiap suka dan dukamu
menjadi tempatmu pertama berbagi tawa dan pilu

Aku masih ingat janjiku, Sayang
aku berani terima resiko itu
aku berani hadapi dunia yang berliku
karena aku bersamamu

Dan karena aku kini sendiri
mau apa lagi aku kini?
bahkan kamu tak inginkan aku lagi
jadi relakanlah kamu punya hati
bila suatu saat kau dengar ku tlah pergi
tinggalkan dunia busuk ini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAAF


Maaf…
karena keegoisanku
karena ketakmengertianku
karena ketulianku

aku cuma ingin kamu
aku ingin berubah karenamu
aku ingin menjadi yang kamu mau
aku ingin tetap bersamamu

tapi maaf
bila semua ini membuat kamu tak nyaman
maaf
bila semua terasa memuakkan
maaf
bila semua membuatmu tak tahan

aku baru pertama merasa
jatuh cinta yang sedemikian dalamnya
semua pun akui, aku tak lagi sama
amat berbeda saat aku jatuh cinta

maaf lagi, bila aku terlalu meragu
terlalu banyak menuntut
dan akhirnya buatmu terpasung
maaf…
bila akhirnya aku pun tak tahan
selalu ajukan pertanyaan
dan buatmu juga semakin tak tahan

aku ingin mulai lagi dari mula
coba dulu, beberapa hari saja
apa aku dapat berani berubah
atau akhirnya jadi sama saja

tapi kalau kamu tak mau
bisa apa lagi aku?
tak lagi mampu jalani hidup
setelah hilang nyaris seluruh nyawaku

atau lebih baik aku lenyapkan
nyawa di ini badan?
sepertinya itu lebih menyenangkan
tak ada lagi untukmu muak dan gangguan
dan aku pun terlepas dari kesakitan

jadi ini jalan yang kupilih
tak punya lagi yang mau memberi kasih
tak juga punya yang bisa kuberi kasih
mundur pelan tersaruk dan tertatih
tak ada yang dengar suaraku merintih
sampai lenyap dan menjadi serpih

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LELAH


Kak…
aku sudah lelah
semua tumpukan rasa ini buatku melemah
tak ingin demikian namun hanya bisa pasrah

Kak…
salahkah aku bila kini hatiku berlabuh?
aku tlah lelah tuk terus berlayar menjauh

Kak…
aku baru merasakan indahnya jatuh cinta
aku baru mengerti rasanya cemburu buta
dan salahkah bila aku ingin setia?

Kak…
aku tlah coba jadi yang dia mau
perlahan belajar ubah sifatku
yang memang tak lagi seperti dulu

tapi Kak, kalau semua tak berpihak lagi padaku
bisakah aku tetap bergerak maju?
sementara tuk bertumpu pun tak ada yang mau
orang yang ku mau pun tak lagi ingin tahu

Kak…
aku lelah terus menangis
aku lelah terus berlari
hanya tuk sembunyikan air mata yang menari

Kak…
aku juga lelah terus tersenyum tawa
bersikap seakan tak pernah ada duka
walau hati ini telah penuh sayat luka

Kakak…
bila lelah ini terlalu mengganggu
apa yang mampu ku laku?
sedang cinta ini juga terlalu erat membelenggu

Kak…
aku benar-benar tlah lelah
aku lelah hanya bisa diam dan pasrah
dan aku lelah selalu pendam amarah

Jadi Kak, relakan saja
adikmu ini jadi mati rasa
jalani hidup bagai tanpa jiwa
berjalan terhuyung tak ada tenaga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memori...


Aku ingat..
pertama bertemu di rumah sakit itu
walau hanya sekilas lalu
tuk sepersekian detik kita bertemu

Aku ingat…
kamu dan adikmu yang juga sahabatku
datang berkunjung ke rumahku
dan saat itu kesanku berubah tentangmu

Aku ingat…
saat aku gagal dalam sebuah ujian
kabar yang kau tertawakan saat kusampaikan
hingga buatku marah dan makin tertekan

Aku ingat…
kamu dan adikmu mencariku
yang menghilang sejak peristiwa itu
dan coba terus menghubungiku

Aku ingat…
saat kita saling bercerita
ungkapkan rahasia yang ada
semua lara yang sulit terlupa

Aku ingat…
saat akhirnya kamu mengaku
rasamu tlah berubah padaku
dan memintaku masuk dalam hidupmu

Aku ingat…
walau tak langsung bertemu
aku tersipu saat membaca pengakuanmu
terbersit ragu tentang rasamu

Aku ingat…
akhirnya aku menerimamu
tak mampu kusangkal, akupun begitu
rasa ini tlah berubah sepertimu

Aku ingat…
hari-hari yang tlah kita jalani
semua indah, itu pasti
bahkan terasa kan selamanya terjadi

Dan aku ingat…
semua saat mengecewakan
saat menyedihkan maupun membahagiakan
semua kita lalui dalam pelukan
saling menguatkan, saling beri topangan
belajar membuat yang lain punya sandaran

Aku ingat…
satu demi satu teman menjauh
kamu tetap ada untukku
mendengarku, walau aku tak di dekatmu

Dan kini, aku ingat…
kata-kata menyakitkan yang tak terduga
seolah dunia takkan lagi buat bahagia
saat kau tak lagi inginkan ku ada
di sisimu, sebagai pasangan jiwa

Aku ingat sekarang…
kenangan-kenangan membanjiri pikiran
tak mampu lagi kutahan-tahan
akhirnya jebol sudah ini bendungan

Kini yang aku ingat…
hanyalah sakit tiap ku sendiri
hanya sepi tanpa ada yang temani
hanya tangis tanpa ada yang peduli

Aku tak ingat lagi…
pernahkah kau beri kabar
hanya sejenak kau bertanya
sudah itu menghilang

Aku tak ingat lagi…
kapan kita bercanda
kapan kita tertawa
yang dapat kuingat kini hanya duka dan lara

Dan aku tak ingat lagi…
mungkin bahkan tak mampu jalani
hidupku kini telah tanpa hati
setelah jiwaku dibawa pergi

Aku tak ingat…
berapa banyak teman beri saran
cari saja pengganti yang lebih tampan
lebih keren dan lebih mapan

Yang aku ingat cuma satu
aku tak turuti saran itu
di hatiku cuma ada kamu
dan aku akan terus menunggu
pada keyakinanku bahwa kita kan bersatu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Maaf


Maaf…
karena keegoisanku
karena ketakmengertianku
karena ketulianku

aku cuma ingin kamu
aku ingin berubah karenamu
aku ingin menjadi yang kamu mau
aku ingin tetap bersamamu

tapi maaf
bila semua ini membuat kamu tak nyaman
maaf
bila semua terasa memuakkan
maaf
bila semua membuatmu tak tahan

aku baru pertama merasa
jatuh cinta yang sedemikian dalamnya
semua pun akui, aku tak lagi sama
amat berbeda saat aku jatuh cinta

maaf lagi, bila aku terlalu meragu
terlalu banyak menuntut
dan akhirnya buatmu terpasung
maaf…
bila akhirnya aku pun tak tahan
selalu ajukan pertanyaan
dan buatmu juga semakin tak tahan

aku ingin mulai lagi dari mula
coba dulu, beberapa hari saja
apa aku dapat berani berubah
atau akhirnya jadi sama saja

tapi kalau kamu tak mau
bisa apa lagi aku?
tak lagi mampu jalani hidup
setelah hilang nyaris seluruh nyawaku

atau lebih baik aku lenyapkan
nyawa di ini badan?
sepertinya itu lebih menyenangkan
kamu tak ada lagi gangguan
dan aku pun terlepas dari kesakitan

jadi ini jalan yang kupilih
tak punya lagi yang mau memberi kasih
tak juga punya yang bisa kuberi kasih
mundur pelan tersaruk dan tertatih
tak ada yang dengar suaraku merintih
sampai lenyap dan menjadi serpih

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Masih Ada


Jujur ku pernah telah mantapkan
hati ini ‘tuk jadi miliknya
tapi kini dia putuskan pergi
dan tak inginkan ‘tuk kembali

Pada yang lain ku jadi meragu
trauma itu masih membelenggu
kini kau datang temani hariku
ketuk pintu hati ini malu-malu

Tak mudah memang buka hati ini lagi
tapi kau telah pernah jadi penghuni
walau dulu kau sempat pergi dari sisi
tapi kini kau tlah kembali

Salahkah aku bila kini inginkan kamu
berjanji tak pergi seperti dulu
dan jangan pernah ragu padaku
ku ingin kamu, hanya satu, kamu

Walau kita telah jadi berbeda
sejak dulu terakhir jumpa
yakinlah, Sayang, rasa ini masih ada

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Di Balik Lampu Sorot

Aku menatap pemuda yang sedang menyanyi di atas panggung itu lekat-lekat. Mataku terus tertancap, tak ada satu pun gerak si pemuda yang terlewat dari video dalam benakku. Mulutku ikut menyenandungkan lagu yang sedang dia nyanyikan, sesekali aku ikut heboh berteriak memanggil namanya bersama teman-temanku.
Kurasa ku t’lah jatuh cinta
pada pandangan yang pertama
sulit bagiku untuk bisa
berhenti mengagumi dirinya                      (RAN – Pandangan Pertama)
Pemuda itu bernyanyi dengan asyik, bibirnya tak henti tersenyum kepada para penonton. Para gadis yang beruntung itu tambah keras menjerit memanggil namanya. Astaga, aku iri sekali dengan keberuntungan mereka, hanya karena duduk di barisan depan. Anak ini tak sekali pun melirik pendukungnya, aku dan teman-temanku, yang ada di barisan belakang. Setelah selesai menyanyi, dia dan para personil band yang lain turun dan menghilang ke samping panggung. Tak lama, dia muncul dari pintu masuk utama dan duduk di tengah-tengah teman-teman gengnya, yang duduk agak jauh dariku. Dia bahkan tak melihatku sama sekali, meski sepertinya karena dia tidak memakai kacamatanya.
Teman-teman pendukung ribut memujinya, sementara dia menyeka keringat di wajah dan tampak depresi, seperti biasa bila dia selesai menyanyi. Aku sudah lelah tersenyum yang tidak dilihatnya, pipiku pegal sekali. Aku menyamarkannya dengan menunduk memandangi layar HP-ku, padahal tak ada pesan atau apapun terpampang. Aku membuka twitter-ku dari HP, mulutku tanpa sadar bernyanyi mengikuti lagu yang sedang dinyanyikan band berikutnya.
Aku memang tak sebodoh yang kau pikirkan
karena ku punya semua mimpi dan tak semudah itu kau lenyapkan
dan aku terlalu kuat tuk kau taklukan
t’rimalah ini, Sayang                                      (Seventeen – Lelaki Hebat)
“Hei.” Aku menoleh ke kanan dan refleks bergeser karena terkejut. Dia duduk manis di sisiku sambil tersenyum polos. Entah sejak kapan dia di sampingku.
“Apaan sih, ngagetin aja deh,” ucapku sambil mengatur nada supaya tetap datar.
“Habis kamunya asyik banget sama HP kamu, sampai nggak tau aku udah duduk di sini. Ngapain sih?” tanyanya dengan muka tetap polos. Anak ini manis juga kalau dilihat dari dekat.
“Mau tau aja kamu. Kok nggak barengan sama anak-anak?” tanyaku berusaha mengusir pikiran aneh yang hinggap di otakku.
“Anak-anak pamit pulang duluan, mau makan. Kamu udah makan?”
“Udah tadi. Kok kamu nggak ikut?”
“Kan masih nungguin lombanya selesai, ntar abis pengumuman main lagi kalo juara. Lagian kasian kamu sendirian melulu,” katanya sambil tersenyum manis.
“Biasanya juga sendirian kok. Nyante aja kali,” kataku masih dengan ekspresi datar.
“Kamu datar banget sih, kebiasaan deh. Eh, ngomong-ngomong gimana perform aku tadi? Jelek banget ya?” Mulai lagi anak ini meributkan penampilannya. Aku sedikit menghela napas.
Well, oke kok. Tapi keliatan banget kamu nggak ‘masuk’ ke lagunya. Lagi mikirin apa sih? Kenapa nggak berusaha nampilin sesuai lirik lagunya?” tanyaku.
“Iya, aku lagi nyari-nyari seseorang tadi. Sial banget, kayanya dia nggak liat penampilanku. Padahal dia janji mau dateng, malah tadi bilang udah nyampe.” Wajah yang polos itu sedikit memburam.
“Lho, tadi dia dateng kok. Kan bareng sama temen-temen yang lain. Kamu nggak liat dia? Bukannya tadi kamu duduk bareng dia juga?” kataku heran.
“Hah? Maksudnya siapa?” Wajahnya memancarkan keheranan yang sama denganku.
“Itu, si Fian. Tadi kan barengan Ami, bareng Azar juga.”
“Kok jadi Fian sih? Bukaaan, maksudku bukan Fian tau. Ada orang lain yang janji mau nonton aku tampil. Tapi pas aku cari dia dari atas panggung nggak ketemu, abis silau banget sih. Pas udahan juga dia nggak ngasih komen apapun.”
“Oh, kirain. Siapa emangnya? Berarti dia nonton, cuma karena kamu lagi sama temen-temen jadi nggak enak ganggunya. Paling juga ntar lewat SMS. Apa jangan-jangan dia ada di sekitar sini, lagi ngeliat kamu duduk bareng saya? Hus hus, sana jauh-jauh. Ntar saya dikira mau ngerebut kamu,” ujarku sambil mendorongnya perlahan.
Dia tertawa kecil dan berkata,”Apa sih, kamu su’udzon banget. Nyante ah, dia nggak gitu orangnya. Eh, ini dia udah komen.”
“Komen apa dia?”
“Ada deeh, rahasia berdua. Hohohohoho…” Dia menjulurkan lidahnya padaku sambil tersenyum nakal. Aku menjitaknya kesal.
“Aduh! Sakit, Ray. Raya nakaaal…” Dia meringis kesakitan sambil mengelus-elus dahinya yang sedikit memerah. Kesalku sedikit terhapus dengan kasihan melihat wajahnya, kuusap dahinya pelan.
“Makanya kamu jangan suka rese sama saya. Ntar kalo saya jitak lagi kan kamunya juga yang sakit,” kataku prihatin.
“Iya iya. Kamu juga dong, jangan datar-datar banget kalo sama aku. Kalo di luar kan kamu rame, di kampus malah nyuekin aku. Jahat banget,” ujarnya sedih.
“Bukan saya yang nyuekin, kamunya yang terlalu sibuk sampai ngelupain saya. Saya sih cuma nunggu kamu inget aja,” kataku kalem.
“Hadeh, kalah lagi. Iya iyaaa, Ega janji nggak nyuekin Raya. Oke? Senyum dong, Ray,” katanya sambil menatapku. Aku tersenyum melihat wajahnya yang memohon, seperti kucing kecil memohon dielus.
“Nah, gitu kan keliatan cantiknya. Pulangnya gimana, Ray? Bareng yuk,” katanya.
“Kos aku kan lumayan deket, Ga. Enakan jalan deh daripada muter.”
“Temenin aku dulu, mau makan nih. Mau kan, Ray?”
“Kayanya tadi ada yang bilang masih nungguin pengumuman lho. Siapa ya?” sindirku.
“Hehehe, makan bentar doang kok. Kak Jose kan nungguin di sini, ntar sewaktu-waktu pasti SMS. Ayo, keburu pengumuman,” ajaknya sambil menarik tanganku.
Di warung, dia memesan nasi goreng dan susu, sedangkan aku memesan segelas besar jus jambu kesukaanku.
“Kamu nggak makan aja? Itu gelas gede banget sih,” kata Ega terpana melihat gelas jus jumboku.
“Tadi udah kok. Sekarang emang waktu ngemil, saya ngemilnya jus. Nggak bawa biskuit nih, lupa. Lagian masnya udah ngerti kebiasaanku kok,” kataku santai.
“Kebiasaan yang mana?” tanya Ega.
“Jam segini aku sering beli jus jambu jumbo ini. Hehehehe…” cengirku.
Ega mengacak-acak rambutku gemas. “Dasar ya kamu. Itu sih udah setingkat sama makan nasi.”
“Kenyangnya sih sama, tapi kan tetep aja bukan nasi. Udah, cepetan diabisin makanan kamu,” kataku.
Kami terdiam dan menikmati pesanan kami masing-masing. Persis setelah dia menghabiskan makanan dan minumannya, HP-nya bergetar. Dia menerima telepon sebentar, lalu berkata,”Ray, ayo balik ke gedung. Udah band terakhir, mau pengumuman.”
Aku mengulurkan uang ke penjual warung, yang segera ditepis oleh Ega.
“Udah, aku aja yang bayar.”
“Nggak mau, mau bayar sendiri aja,” kataku, dengan cepat aku menaruh uang ke tangan si penjual yang tersenyum geli melihat kami.
“Nih, Mas, uang pas. Saya bayar sendiri, jus jambu jumbo empat ribu kan? Makasih ya,” ujarku sambil nyengir melihat ekspresi kalah Ega.
Selesai membayar, kami bergegas kembali ke gedung. Kami masuk tidak bersamaan, dia langsung duduk dengan teman-temannya, sementara aku duduk di ujung barisan yang gelap karena tak kebagian lampu, persis saat pengumuman juara kedua selesai.
“Juara 1 adalah… Monsta Band, dengan lagu dari RAN, Pandangan Pertama. Silakan personil Monsta Band untuk segera mempersiapkan diri tampil kembali.” Kata-kata MC membuat heboh teman-temanku, mereka mengguncang-guncang tubuh Ega keras-keras. Aku hanya menatapnya kasihan dari tempat dudukku, pasti makanan di perutnya ikut terkocok. Kak Jose menghampiri dan menyeret Ega yang masih melongo tak percaya dengan kemenangan mereka.
Ega dan personil band lainnya bergegas naik ke atas panggung untuk menerima hadiah. Ega selaku vokalis berkata,”Terima kasih untuk teman-teman pendukung yang setia memberikan dukungannya sejak kami mulai latihan sampai perform. Terima kasih juga untuk dewan juri yang baik hati. Saya pribadi mengucapkan terima kasih pada seseorang yang setia menemani saya, maaf juga karena saya tidak banyak memperhatikan kamu. Lagu ini untuk kamu, dan kalian semua yang juga merasakan hal yang sama dengan saya.”
Para penonton berteriak riuh-rendah mendengar ucapan Ega tersebut. Teman-temannya tertawa sambil menyoraki Fian, yang memang sedang dikagumi oleh Ega. Aku tersenyum sendiri melihat tingkah mereka. Beruntung kegelapan ini membuat kegetiran dalam senyumku tak terlihat.
Ega terdengar berkata kembali,”Lagu ini kami persembahkan sebagai lagu khusus, lagu kemenangan kami. Tapi saya ingin meminta bantuan pada seseorang untuk menyanyi bersama saya di sini, di panggung kemenangan ini. Aurez Raya Talitha, saya minta kamu mau menyanyi bersama saya sekarang.”
Aku tersentak mendengar namaku dipanggilnya. Refleks mataku melihat ke arah teman-teman Ega, mereka juga tampak tercengang mendengarnya. Aku segera menciutkan tubuhku agar terlindung dalam kegelapan bawah lampu tersebut. Kulihat Ega mencari-cari ke seluruh penjuru ruangan. Tiba-tiba saja dia meloncat dari atas panggung dan berlari ke tempatku duduk selama itu.
“Ayo, Ray, ikut ke atas panggung sekarang,” katanya sambil menarik tanganku. Dari balik punggungnya kulihat mata para penonton tertuju pada kami berdua.
“Nggak, Ga, saya nggak mau. Suara saya kan jelek,” ujarku bertahan dari tarikannya.
“Ray, Ega mohon sama kamu. Ayo naik sekarang,” katanya mendesakku.
Aku tak bisa bertahan lagi dari tarikannya yang amat kuat. Aku terseret olehnya, dan dalam sekejap mata aku dan Ega sudah berdiri di atas panggung. Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa aku akan bisa berdiri di panggung ini, apalagi bersamanya. Ega berdiri di sampingku, menggenggam sebelah tanganku, lalu berkata,”Ray, terima kasih untuk semua yang kamu kasih ke aku. Makasih banget karena udah mau ngasih kritik untuk nyanyianku, makasih untuk selalu ada buat aku, walaupun aku lebih sering nggak ada buat kamu. Sekarang aku mau kamu ada di sini, di bawah lampu yang terang-benderang ini, nggak cuma di bawah lampu yang nggak kebagian cahaya hangatnya. Lagu ini memang bukan aliran saya, tapi saya suka lagu ini, dan saya tahu kamu juga suka, Ray. Oh ya, untuk kalian tahu, teman-teman, seharusnya bukan saya vokalis band ini, tapi Raya. Well, check this out.
Terdengar intro lagu Menghujam Jantungku milik Tompi mulai dimainkan oleh Kak Jose dan kawan-kawan. Aku dan Ega bernyanyi bersama untuk pertama kalinya, bermandikan cahaya warna-warni dari lampu sorot. Untuk pertama kali pula aku merasakan hangat dan indahnya lampu sorot, setelah sekian lama tersembunyi dalam kegelapan di baliknya.
Kau membuatku merasakan indahnya jatuh cinta
indahnya dicintai saat kau jadi milikku
oh takkan kulepaskan, dirimu oh cintaku
teruslah kau bersemi di dalam lubuk hatiku                         (Tompi – Menghujam Jantungku)
Kurasakan wajahku menghangat, senyum malu terukir di bibirku. Aku tak berani mengangkat wajahku dan menatap para penonton, aku hanya tertunduk karena merasa nyanyianku amat buruk dan tak pantas diduetkan dengan suara Ega. Tetapi kemudian terdengar tepuk sorai penonton menggemparkan ruangan besar ini. Wajahku bertambah panas, air mata haru berkumpul di pelupuk mataku dan kutahan dengan susah payah. Genggaman Ega pada tangan kananku mengencang dan membuatku menatapnya, yang tersenyum padaku. Kak Jose, Kak Abi, Kak Darma, dan Kak Seta bergabung mengapit kami berdua di tengah. Kami berenam bergandengan tangan dan bersama-sama membungkuk pada penonton.
Setelah turun dari panggung, para personil dikerubungi pendukung yang berebut mengucapkan selamat pada mereka. Aku yang berada di belakang mereka segera menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari keramaian yang kubenci. Aku menyelinap di antara orang-orang yang sedang bersiap meninggalkan ruangan. Dengan cepat aku sampai di jalan setapak sepi di belakang gedung tempat lomba tadi. Aku berjalan gontai, nyaris tanpa sadar ke mana kakiku akan membawaku. Beberapa menit kemudian kusadari aku berada di depan warung tempatku dan Ega makan siang tadi. Aku memasuki warung tersebut dan memesan jus ekstra jumbo seperti yang kuminum tadi siang, tetapi kali ini aku memesan jus melon campur sedikit kayu manis untuk menenangkan sarafku. Mas-mas penjual itu tampak kaget saat melihatku datang tidak pada jam biasa, apalagi dengan wajah kusut. Untung dia cukup bijak tak berkata apapun tentang keadaanku dan segera menyajikan pesananku.
Aku tak segera menikmati minumanku. Pikiranku kembali melayang ke kejadian luar biasa yang baru saja kualami sementara tanganku mengaduk minuman.
“Kalo cuma diaduk nggak berasa loh, Ray. Minuman itu buat diminum, baru pikiran tenang.” Suara yang amat familiar itu menyadarkanku dari lamunan. Ega tampak berdiri di pintu warung dan tersenyum padaku. Wajahnya agak berkeringat dan napasnya sedikit terengah-engah. Dia masuk ke dalam warung dan berdiri di samping kursiku.
“Udah aku duga kamu bakal ke sini. Aku kaget tadi tahu-tahu kamu udah ngilang aja. Aku cari ke mana-mana, aku tanya-tanya nggak ada yang lihat kamu.”
Aku tertunduk dan berkata,”Maaf ya, Ga, saya nggak bilang dulu. Saya…”
“Sssstt, nggak apa-apa, Ray. Aku yang salah, aku lupa kamu nggak suka kerumunan gitu. By the way, nyanyimu tadi keren deh. Coba tadi kamu yang nyanyi buat lomba, bukan cuma buat penutup,” katanya riang.
“Apa sih, nggak usah nyindir deh. Saya tahu suara saya ancur,” ujarku bersungut-sungut.
“Loh, aku nggak nyindir, Ray. Semua tadi muji kamu. Aku malah yang minder jadinya. Kamu kan tahu sendiri aku baru kali ini jadi vokalis band.”
“Nyatanya kamu jadi juara juga kan. Suara kamu emang bagus, Ga,” kataku masih menunduk memandangi minumanku.
Tiba-tiba kurasakan sepasang tangan hangat melingkari bahuku dari belakang. Ega berbisik tepat di telingaku.
“Raya, makasih banget buat tadi. Makasih juga buat selama ini, maaf banget aku nggak pernah ada buat kamu. Maaf aku nggak pernah jadi sahabat yang baik. Maaf aku ngingkarin omonganku sendiri. Aku selalu berusaha ada buat kamu, Ray. Sayang aku nggak pernah bisa membagi waktu antara temen-temen dan kamu. Maaf, maaf, maaf banget, Ray…”
Tubuhku membeku, sementara wajahku memerah.
“Ga, lepasin saya, Ga,” ucapku gemetar.
“Ray, dengerin Ega. Ega janji nggak akan memperlakukan Raya seperti dulu lagi. Ega janji akan selalu ada untuk Raya, seperti Raya selalu ada juga untuk Ega. Ega janji…” Kata-katanya terhenti saat jariku menutup bibirnya dengan lembut.
“Ga, dunia kita beda. Ega pasti sadar itu juga, kan? Ega memang ditakdirkan untuk berada di bawah lampu sorot, bermandikan cahaya itu. Saya ditakdirkan untuk selalu berada di balik lampu sorot, agar tersembunyi di kegelapan yang meneduhkan. Ega ditakdirkan untuk bersatu dengan keramaian, sedangkan saya ditakdirkan bersatu dengan kedamaian. Jangan pernah janji ke Raya, Raya tahu Ega lebih ngerti mana yang perlu didahulukan. Raya tetap ada di balik lampu untuk menenangkan Ega dan jadi ‘tempat sampah’ Ega sewaktu-waktu,” ujarku lembut seraya menatapnya.
“Setidaknya Ega pengen Raya tahu, semua yang Ega bilang tadi beneran dan akan selalu Ega usahain. Oh iya, yang tadi siang Ega bilang tentang seseorang itu sebenernya ya kamu, Ray. Tadi Ega nggak lihat Raya nonton, jadi Ega pikir Raya ingkar janji. Hehehe, maaf ya? Untung Raya nggak lupa komen penampilan Ega,” katanya tersenyum senang. Wajahku kembali memerah. Tak tahan menahan rasa maluku, aku menjitak Ega pelan.
“Aduh, kok dijitak lagi sih? Raya niih…” Ega meringis menahan sakit.
Aku dan Ega mengobrol dan bercanda selama beberapa waktu di warung tersebut, tak peduli wajah kami yang lusuh karena keringat sisa penampilan di gedung, tak peduli senyum penuh arti si pemilik warung temanku yang diam-diam memperhatikan kami sambil melayani pelanggan lain, tak peduli es batu dalam minuman kami telah mencair. Panca indera kami seakan telah tertutup kecuali untuk kami berdua, rasa yang telah lama diacuhkan dan terbuang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita Raya, Awal Mula Muramnya Angin

Hai, aku Raya. Jangan kau pikir aku seperti jalan raya atau Kebun Raya Bogor yang selalu ramai, karena bila kau bertanya pada teman-temanku, pastilah mereka menjawab sebaliknya. Aku yang mereka kenal memang lebih sering diam dan lebih memilih tidak bergabung dengan kelompok manapun. Aku masih cukup tahu diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang sudah kuat solidaritasnya, aku tak ingin merusak ikatan itu dengan kehadiranku.
Seseorang yang dekat denganku pernah sedikit bernostalgia, membayangkan pertama kali kami bertemu. Dia –dan beberapa teman lain juga- mengingatku sebagai ‘gadis yang sering menunggu jemputan di gerbang sambil membaca buku dengan asyik’ atau ‘gadis yang mempunyai dunia sendiri’. Mereka menganggap aku gadis berwajah judes yang pendiam, yang setelah kenal dekat ternyata hal itu salah besar. Tapi tetap saja, ketahananku untuk tidak terikat pada kelompok manapun membuat mereka sedikit bertanya-tanya, mungkin kalian juga begitu.
Bayangkan bila kalian baru duduk di kelas 1 SMP. Suatu hari kalian pusing dengan satu hal dan direcoki dengan hal yang sama berulang-ulang oleh teman kalian sejak SD, tentu kalian kesal, kan? Kalian kesal dan mengungkapkan pada orang tersebut, lalu pulang meninggalkannya untuk menghindari dia berbuat lebih menjengkelkan. Dan ternyata orang itu mengatakan pada teman-teman yang lain bahwa kalian kesal dengan mereka dan tak ingin bekerja bersama, sehingga keesokan harinya kalian dijauhi sebagian besar gadis sekelas, bahkan sampai beberapa hari berikutnya. Padahal guru kalian memberi tugas yang harus dikerjakan berkelompok, dan sialnya kelompokmu adalah gadis-gadis tersebut. Saat mengerjakan pun kalian tidak dihubungi untuk mengerjakan bersama, kalian dikucilkan begitu saja. Tentu kalian merasa kecewa dan sedih kan? Ibu kalian yang mengetahui hal itu mencoba menghibur dan mengajak membuat tugas tersebut sendiri. Apa salahnya mencoba dahulu, berikan saja hasilnya pada kelompok itu, terserah mereka hendak dipakai atau tidak, kata ibu kalian. Setelah jadi hanya dalam waktu 2 hari, kalian memberikan hasilnya pada ketua kelompok, yang terlihat sedikit tercengan menerimanya. Dari teman kelas yang tidak termasuk kelompok tersebut, kalian mengetahui bahwa walaupun sudah berkumpul beberapa kali tapi tugas kelompok itu belum selesai juga. Karena beban dalam hati kalian tersebut, sehari sebelum pengumpulan tugas kalian jatuh sakit dan tidak masuk sekolah ketika hari pengumpulan tugas. Ketika masuk, kalian diberi tahu bahwa nilai kalian dikurangi karena tidak masuk. Padahal yang dikumpulkan sebagai tugas kelompok adalah yang kalian buat bersama ibu. Bagaimana perasaanmu? Sakit hati, kecewa, merasa diperlakukan tak adil, itu yang aku rasakan saat itu.
Sejak itu aku memutuskan tak akan mencoba mendekati teman-teman pengkhianat itu. Terlebih saat aku menjalin hubungan dengan orang yang cukup popular di kalangan teman-teman, anak-anak itu seperti bertambah jauh dariku. Silih berganti laki-laki yang mencoba dekat denganku bahkan jadian denganku. Semuanya hampir sama, mendekatiku karena orang tuaku memiliki tempat yang cukup terkenal di kotaku atau karena fisikku. Dari 8 yang berhasil jadian denganku, hanya 2 yang benar-benar membuatku patah hati saat meninggalkanku. Kebetulan pula, kedua orang itu sedikit jauh jarak umurnya denganku. Mungkin karena perbedaan itu kami berpisah, aku tak pernah cukup memenuhi kriteria mereka yang terbiasa bergaul dengan gadis-gadis yang lebih tua dan berpikiran lebih seperti mereka dibanding aku. Kejadian-kejadian itulah yang membuatku menjadi seperti sekarang, lebih suka di dalam duniaku sendiri.
Tak cukup di situ, keluargaku pun lebih sering mengurungku di rumah karena aku gadis satu-satunya. Kedua kakakku laki-laki, dan sungguh, hal itu yang membuatku menyesal mengapa aku terlahir sebagai perempuan. Aku juga ingin bermain bersama teman-teman, aku ingin berjalan-jalan keluar bersama mereka seharian. Toh aku jarang pulang terlalu larut. Aku juga keluar ke tempat ramai, untuk apa dicemaskan? Laki-laki yang dekat denganku diteliti satu per satu, keluargaku harus benar-benar mengenal mereka agar mereka bisa mengajakku keluar. Itu pun bukan sebagai pacar, bila aku berpacaran dengan mereka. Dari sekian banyak, yang benar-benar dipercaya oleh orang tuaku hanya sekitar 5 orang, 3 sahabat, 1 mantan, dan 1 kakak angkatku. Keluargaku, terutama ibuku, seperti lebih setuju bila aku dengan mantanku tersebut. Padahal aku sudah menganggapnya hanya sebagai kakak dan teman, walau dia amat baik padaku. Kini aku memiliki pacar yang benar-benar kusayangi, tapi aku belum berani mengatakannya pada keluargaku. Hanya sepupu dan seorang pakdeku yang mengetahui hubungan kami. Aku tak bebas keluar dengannya ataupun teman yang lain. Astaga, demi Tuhan, aku sudah mahasiswa! Aku tahu mana yang baik dan yang buruk, aku masih cukup bisa mengendalikan diri. Kenapa mereka seperti takut aku akan menjadi pelacur?! Aku bagai burung dalam sangkar berjudul ‘gelar’, hanya karena sangkar tersebut aku harus benar-benar berhati-hati menjalani hidup di luar sana. Hei, untuk apa aku disekolahkan bila aku dianggap akan tak tahu aturan bila keluar dari rumah?! Cukup, ya Tuhan, aku tak ingin terus-menerus dikurung!
Aku mencintai pacarku yang sekarang. Dia orang yang apa adanya, sayang terlalu ceplas-ceplos kadang hampir tak tahu sikon. Dulu aku santai sekali dengannya, sering bercanda mengenai laki-laki lain. Setelah suatu hari dia meminta kami menjauh sementara, aku sadar bahwa aku mencintainya. Aku sudah terlalu lelah menghadapi laki-laki brengsek lain di luar sana, aku lelah menjalani proses ini dari awal lagi. Aku sadar, aku hanya ingin dia. Tapi beberapa kali pacarku berkata, lebih baik nantinya putus untuk beberapa lama lalu kembali lagi, hanya agar tak jenuh menjalani hubungan. Sebenarnya hal itulah yang paling membuatku terpukul. Bila telah merencanakan berpisah, mengapa harus bersama? Kuakui, aku takut dengan teman-temannya. Aku takut tak bisa membaur karena trauma dan rasa rendah diriku, aku takut mempermalukannya di depan teman-temannya. Aku takut aku bukanlah orang yang dia inginkan. Aku memang egois, tak ingin dia pergi dariku. Tapi apa lagi yang akan kalian lakukan, bila kalian tahu dia salah satu dari segelintir saja orang yang benar-benar mau mengerti dan mendengarkan kalian?
Bisa dibilang aku pulang ke rumah hanya demi teman-teman dan pacarku. Aku merasa lebih nyaman berada di kosku di luar kota dibanding di rumahku sendiri. Aku bisa lebih bebas di sana, lebih bertanggung jawab pada diriku sendiri. Bahkan di luar kota, aku masih tetap tak mau terikat dengan kelompok tertentu. Aku lebih sering pulang sendirian. Jarang sekali aku pulang beramai-ramai, walau banyak teman sekelas yang searah dengan kosku. Di kos pun demikian, aku lebih sering mengurung diri di kamar. Perasaan takut dan rendah diriku tak pernah sembuh sejak kejadian SMP dahulu, aku takut berdekatan dengan teman-teman perempuan. Aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki, karena laki-laki lebih jujur dan tulus dibanding perempuan. Tapi tak jarang pula aku mengalah dan mundur teratur bila kulihat teman-teman lelaki itu sedang bersama kelompoknya. Seperti kukatakan semula, aku tak ingin merusak suasana kelompok tersebut. Aku tak suka bila tak mengetahui pembicaraan mereka, tapi aku juga tak ingin ikut campur.
Kini kuputuskan, biarlah aku diam di sudut tergelap bangku penonton ini. Biar saja semua tak melihatku, toh bila benar-benar butuh mereka pasti akan mencariku dengan cermat dan menemukanku di sini. Aku bagai sang Phantom of the Opera, yang tinggal dalam kegelapan dan kesunyian karena berwajah buruk, yang hanya muncul bila benar-benar diperlukan. Aku diam, aku menjadi pendengar, dan aku mencatat semua yang kudengar. Aku bagai gajah yang tak pernah bisa melupakan apapun yang pernah kualami, walau aku tak pernah mendendam. Dan aku ingin menjadi sang angin, yang tak terlihat dan tak diperhatikan, tapi dicari bila tak berhembus...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hanya Kamu

Hei kamu!
Aku mencintaimu, karena kamu adalah kamu
kamu yang selalu menjadi dirimu
tak mau sembarang turuti apa yang orang mau
selalu berusaha buktikan jatimu
walau jalan tampak terjal berbatu


Kamu, ya, kamu!
orang yang aku mau hanya kamu
jangan nakal, tetaplah lurus berlaku
buktikan, kamu pantas menjadi priaku


Ingatlah kamu
aku di sini tak ingin hanya menunggu
aku juga ingin dampingi harimu
walau duka pilu tengah berlalu


Kamu jangan lupakan aku
yang selalu setia menunggu
yang ingin bisa bersamamu
karena hanya denganmu, aku ingin berpadu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Keraguan

Pernahkah kau bayangkan, Sayang
Sakitnya gores cinta yang terbuang
nikmatnya nyeri hati yang tak pernah terkatakan
indahnya kekosongan pikiran seluas entah berapa kilan


Pernahkah kau rasakan?
sulitnya menerka hati orang tersayang
pernah kau coba membayang?
mungkin tidak, kau terlalu sibuk belajar terbang


Tahukah kau, Sayang
hati ini ingin selalu bersama
pikiran ini selalu meronta
kembali, selalu kembali teringat padamu di sana


Tapi apa daya bila kau berubah
tak lagi tunjukkan perhatian yang ramah
tak lagi pedulikan aku pulang melepas lelah
tak lagi acuhkan bilakah hatiku kan kau jamah


Sayang, aku terlalu lelah tuk slalu menunggu
tanyaku pun kini tak jarang kau acuh
jangan heran bila hati ini jadi meragu
tak henti menyangka kau telah jenuh


Haruskah aku pergi, Sayang?
sementara hati ini tenggelam dalam danau bayang
sungguh aku tak mampu melangkah tenang
seakan kaki ini membawaku ke padang gersang


Maukah kau mendengar mohonku ini?
kembalilah, seperti dahulu saat kita selalu berbagi
aku takkan sanggup bayangkan ku sendiri
jalani hari tanpa sandaran lagi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gua Kita

Awal kebersamaan, semua terasa indah
Belajar mengerti, belajar memahami, belajar mengalah
Kita isi gua ini dengan hangatnya cinta
Kita hias gua ini dengan segala kasih yang kita punya


Sungguh, terlalu indah itu semua
Saat di mana kau ganti tangisku dengan tawa
Saat di mana kau tukar lelahku dengan canda
Saat di mana kau biarkan ku tertidur di pelukan

Hari demi hari tak terasa terlampaui
Aku dan kamu punya kesibukan sendiri
Tak terasa mengurangi komunikasi
Tak jarang hari di gua ini tlah kulewati sendiri

Kita memang telah setuju
Keluar sementara dari gua ini, jemput dunia baru
Temui orang-orang baru
Demi cita dan ego yang merajuk

Tapi mengapa kau tak pernah kembali?
Sebentar saja, jenguk gua ini
Aku pun kadang menjenguk dan menunggu seorang diri
Dan selama itu tak pernah kau tampakkan diri

Aku menunggu dan menunggu
Entah sampai kapan penantianku
Sibukkan hari agar tak pikirkanmu
Bila tlah pulang, tetap saja aku tersedu

Kuputuskan tuk terus coba menempa diri
Di sini, seorang diri
Dalam kesendirian ku langkahkan kaki tertatih
Mencoba sepertimu, jauhi gua ini

Mungkin suatu saat ku kan kembali
Mungkin pula aku hanya terus tertatih pergi
Aku tak ingin peduli lagi
Kala lelah menanti ini terlalu kuasai hati

Tak peduli gua ini jadi sunyi
Tak peduli suatu saat kau kembali
Pasti kau juga kan merasa sepi
Dan kau kan pergi lagi dari sini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Janji Sang Pendongeng


“HOY!” Aku tersentak dari novel yang sedang kubaca sedari tadi, teriakan yang tak begitu keras namun efektif karena tepat di telingaku membuatku terlempar dari dunia yang sedang kujelajahi. Si pengganggu tertawa melihat ekspresi campur aduk yang terlihat di wajahku, antara terkejut, bingung, dan kesal karena diganggu.

“Apaan sih, Go. Ganggu aja orang lagi asyik,” sungutku kesal, kali ini kekesalanku lebih kepada diriku sendiri yang tak bisa marah padanya. Siapa yang bisa marah melihat mata yang lebar-usil-tapi-jenaka-dan-polos?
“Lagian dari tadi serius banget, diem aja sambil melototin novel. Igo manggil dari tadi tau! Kayak lagi trance aja, badan di sini tapi pikiran nggak tau di mana,” katanya sambil tertawa.
Aku mendesah kesal.“Raya lagi jalan-jalan tau, ngikutin tokoh di novel ini. Lagi seru-serunya, malah Igo kagetin. Buyar deh konsentrasi Raya. Ada apa manggil-manggil?”
“Nggak apa-apa, cuma iseng aja manggilin Raya biar ga serius-serius banget. Eh, malah nggak dengerin,” ujarnya enteng.
“Cuma iseng? Astagaaa, berarti Raya ketipu ya sama Igo. Jahat…” Kataku bertambah sebal. Hilang sudah minatku membaca di ruang kelas di waktu istirahat pagi ini.
Igo tertawa lagi, lalu berkata,”Nggaklah, Ray. Mana mungkin Igo berani ganggu Raya kalo lagi serius baca. Igo cuma mau nawarin minum, mau nggak? Mumpung lagi baik nih.”
“Eh? Boleh boleh. Kenapa nggak bilang dari tadi?” Ekspresi kesalku seketika berganti dengan ekspresi senang sekaligus memohon dari seekor kucing yang ditawari ikan oleh majikannya. Igo menyodorkan segelas jus jambu dingin favoritku, sementara tangan kirinya memegang gelas plastik lain yang berisi jus tomat. Segera kusambut gelas yang diulurkannya sambil tersenyum (sok) manis dan mengucapkan terima kasih.
“Coba Igo nggak lagi bawa ini, pasti Raya bakal cemberut dan ngambek terus sampai pulang nanti deh. Dasar Raya,” kata Igo sambil memandangku yang sedang meminum jusku, setengah gemas, setengah geli karena melihat tingkahku yang seperti anak kecil diberi lolipop. Aku menutup buku yang tadi kubaca dan menaruhnya di tempat yang aman dari jangkauan air yang menetes dari gelas plastikku. Dari sudut mataku kulihat Igo masih memandangi gerak-gerikku. Aku menolehkan wajahku dengan tiba-tiba dan menatap langsung ke matanya untuk menyadarkan Igo. Anak yang satu ini memiliki kebiasaan aneh, dia sering iseng memandangi orang-orang di sekitarnya, tapi tanpa dia sadari pandangannya itu berubah menjadi lamunan. Bahkan dia tak menyadari orang yang dipandanginya juga balik memandangnya.
Benar saja, dia baru tersadar saat merasa dipandangi juga, dan menyadari mataku beradu pandang dengannya. Aku tertawa melihatnya gugup dan tersipu-sipu mengalihkan perhatiannya ke gelas jus tomat yang sudah bertambah encer. Hahaha, berhasil juga aku membalasnya, merusak lamunannya.
“Ngeliatin Raya kok sampai segitunya sih, Go? Awas tuh, ntar naksir. Hahahaha…”
“Siapa juga yang ngeliatin Raya, Igo kan ngeliatin bukunya. Pengen pinjem bentar, baca sinopsisnya.” Igo ‘ngeles’ dan mengulurkan tangannya meminta buku itu.
“Ngeliatin buku apanya, mata Igo itu ke Raya, walaupun terus ngelamun. Bukunya kan Raya taruh di meja samping ini. Weee…” Aku menjulurkan lidah dan tertawa lagi.
“Ih, Raya nih. Siniin bukunya, pinjem bentar,” pintanya sambil cemberut.
“Iya iya.” Kutaruh buku tersebut di tangannya. Buku setebal 379 halaman, ber-cover hitam dengan tulisan putih tercetak timbul “5cm” dan beberapa kata abu-abu yang juga timbul sebagai background-nya. Igo melihat-lihat cover depan, lalu membaca sinopsis yang tertera di cover belakang.
“Novel apaan sih ini? Kok kayaknya nggak menarik banget covernya? Ini beneran tebelnya 5 senti?” tanyanya beruntun.
“5cm, itu novel yang Raya beli sebagai kado buat diri sendiri pas ultah kemarin. Dulu Raya juga mikir kayak Igo, buku yang covernya nggak menarik, bikin males baca. Tapi Raya inget, ‘Don’t judge a book by the cover’. Awal tau itu dipinjemin sama kakak angkat Raya, tapi nggak dibaca. Pas lagi iseng nggak ada kerjaan terus Raya baca deh. Dan ternyata keren banget, Go. Read it and you’ll know what I mean. Ini langsung masuk ke daftar buku-wajib-baca Raya. Karena wajib baca, tentu aja Raya lebih suka punya sendiri daripada pinjem. Bisa dibaca kapan aja Raya mau.”
“Berarti ini udah sering Raya baca dong?”
“Iya, tapi nggak bosen-bosen bacanya. Terutama kalo Raya lagi down dan butuh suntikan semangat, buku ini super mujarab. Igo mau pinjem?”
“Kayaknya nggak deh. Ketebelan, Ray, Igo lagi males baca novel. Hehehehe…” Cengirannya mampu membuatku melayangkan cold-stare ku yang terkenal.
”Coba aja baca dulu, Go. Nggak nyesel deh. Donny Dirgantara ini jadi pengarang favorit Raya lho,” kataku mencoba berpromosi.
“Maleeeesss… Ceritain aja dong, gimana ceritanya?” Sial, anak ini melancarkan jurus puppy-eyes miliknya yang tak pernah bisa kuacuhkan. Aku menghela napas panjang.
“Iya deh, Raya ceritain. Kapan nih mau diceritain?”
“Sekarang aja, mumpung Igo belum dijemput. Sekalian nemenin Igo. Hehehe…”
“Jadi ceritanya ada lima orang, 4 cowo 1 cewe yang sahabatan. Mereka itu bla bla bla…” Aku mulai me-review novel tersebut. Igo mendengarkanku dengan penuh perhatian, sekali-sekali dia bertanya atau nyeletuk hal yang tak penting. Demikian terus berlanjut hingga akhirnya ayahnya datang menjemputnya, dan aku berjalan kaki pulang ke kos.
10 menit setelah aku sampai di kamarku, HP-ku bergetar tanda pesan masuk. Nama Igo tertera di layar. Kubuka pesannya sambil menyelonjorkan kakiku yang pegal di atas tempat tidurku.
From: Igorius
Raya, makasi yaa udah didongengin tadi
Uda nyampe kos kan?
Aku tersenyum membaca pesan itu, lalu mengetikkan balasannya.
To: Igorius
Iyaa, sama2 :)
Udah nyampe kok dari tadi
Semenit kemudian HP-ku kembali bergetar.
From: Igorius
Igo ada novel, pinjem temen dulu
Immortal series gitu
Mataku seketika bersinar, seperti biasanya saat aku mendengar ada buku bagus.
To: Igorius
Mauuuu,
pinjem dong Go
Aku meninggalkan HP-ku di tempat tidur beberapa menit untuk mandi. Saat aku selesai dan masuk ke kamar lagi, kuraih HP. Pesan dari Igo segera kubuka.
From: Igorius
Iya, ntar Igo pinjemin
Tapi janji ya ntar Raya ceritain lagi isinya kayak tadi
Seketika senyum senang terlukis di wajahku. Dengan riang aku mengetikkan balasan.
To: Igorius
Iyaa, janji ^^
Keesokan paginya, aku memasuki ruang kelas dengan sedikit tergesa-gesa karena jam di pergelangan tanganku menunjukkan bahwa aku sudah terlambat 5 menit. Ternyata dosenku belum masuk, teman-temanku pun sedang asyik mengobrol, ramai sekali suasana pagi itu. Aku bergegas duduk, mengatur napasku yang sedikit terengah-engah, lalu mengambil HP dari dalam saku tasku. Betapa herannya aku saat di layar tertera nama Igo.
From: Igorius
Buru2 amat jalannya
Awas, ntar kesandung!
Hehehehehe
Ini bukunya udah aku bawa
Kuedarkan mataku mencari sosok tinggi kurus berkacamata di dalam kelas. Itu dia, sedang asyik mengobrol dengan Adri. Aku mendekati mereka dan menadahkan tanganku sambil tersenyum polos.
“Mana, Go?”
Igo membalas senyumku dan meraih tasnya. Sementara Adri memandangku dengan sedikit tatapan heran (atau jijik?) karena melihat ke(sok)polosanku.
“Nih, Ray. Ntar kalo udahan cerita ya. Hehehe…”
“Eh, buku apaan tuh?” Adri dengan cekatan merebut buku yang sudah berada di tanganku dan melihat sinopsisnya. Aku yang merasa hartaku direbut langsung berubah ekspresi, dari senyum sumringah menjadi pelototan sadis dan bibir merengut.
“Adri, siniin bukunya! Kan aku yang pinjem duluan,” kataku sambil menyambar buku tersebut dengan cepat. Adri gagal mempertahankan buku di tangannya, dan kini buku tersebut kembali ke tanganku. Aku berkelit dari sambaran Adri, lalu berlari kabur sambil meneriakkan ucapan terima kasih pada Igo. Adri segera mengejarku, tapi sebelum dia mencapai tempat dudukku, dosenku memasuki ruangan. Seketika Adri berbalik dan bergegas menuju kursinya. Kembali kuatur napasku dan mengelap keringat di dahiku akibat hawa panas serta pelarianku dari Adri.
Beruntunglah aku karena dosen mata kuliah berikutnya tidak dapat hadir. Aku melarikan diri pulang ke kos, tanpa pamit pada Igo karena kulihat dia sedang berjalan bersama teman gengnya. Aku ingin segera sampai di kamar kosku dan berlindung dari sinar matahari yang menyengat bumi siang ini. Tentu saja sambil membaca novel pinjaman dari Igo yang tersimpan aman di ranselku, tak ada salahnya juga kalau mampir ke warung jus dekat kos nih, pikirku.
Sesampainya di kamar, aku segera mempersiapkan segala ‘perlengkapan’ untuk membaca dengan nyaman dan tenang. Teman-teman kos belum pulang, jadi aku bisa membaca sambil membuka pintu kamar lebar-lebar tanpa terganggu. Jus jambu dingin dan cemilan yang baru kubeli kutaruh di lantai dekat tempat tidur, agar dapat kuraih dengan mudah dari atas tempat tidur tempatku membaca sambil meringkuk nyaman. Ini baru namanya surga!
Aku tenggelam dalam keasyikanku membaca, tak lagi kulihat dinding-dinding hijau kamar. Sebagai gantinya aku berpetualang bersama seorang gadis dan pacarnya yang tampan dan immortal alias tak bisa mati. Sesekali petualanganku buyar karena Sarah, Intan, dan beberapa teman kosku yang lain pulang dan melewati kamarku dalam perjalanan mereka menuju kamar mandi. Tapi inilah kehebatanku, walau banyak interupsi yang mengganggu, hanya dalam waktu 3 jam novel itu selesai juga. Aku menutup novel dengan perasaan penasaran dengan seri keduanya. Kuraih HP di kaki tempat tidur, lalu mengirimkan SMS untuk Igo.
To: Igorius
Udah kelaaarr!
Hahaha, leganyaaa :D
Keren Go, besok bawain lagi seri 2 nya yaaa
Aku beristirahat sejenak, menghabiskan jusku sambil menyalakan rice cooker untuk memanaskan nasiku tadi pagi. Saat aku sedang memasang gas pada kompor gas portabelku, HP-ku terdengar berbunyi lagi.
From: Igorius
Astaga, cepet amat sih bacanya
Iyaa, besok aku bawa
Jangan lupa cerita lho!
Aku dan Igo masih saling mengirim SMS untuk beberapa lama, lalu dia tak membalas lagi. Kuasumsikan teman-teman gengnya sudah datang ke tempat mereka biasa berkumpul dan sedang mulai belajar. Agak sedih memang ditinggal sendiri lagi, tapi biarlah. Kubaca ulang novel tersebut agar aku semakin lancar bercerita pada Igo besok pagi.
Pagi tiba, seperti biasa aku berjalan santai menuju kampus karena jam tanganku menunjukkan aku masih punya 20 menit sebelum masuk. Saat memasuki ruang kelas, mataku mencari-cari Igo. Kulihat dia duduk di barisan terdepan, lalu kudekati dia.
“Nih, Go, makasih ya. Ceritanya lumayan kok. Mau diceritain sekarang apa ntar nih?”
“Ntar aja, Ray, biar lebih nyante dengernya. Oh ya, ini seri keduanya.” Dia menyodorkan novel lagi padaku. Aku tersenyum senang, lalu bergegas kembali ke kursiku untuk mulai membaca, yang terhenti 10 menit kemudian karena dosenku datang. Setelah 90 menit yang menyebalkan (mata dan tanganku belajar, pikiranku terus melayang ke novel di tasku), akhirnya dosen tersebut keluar juga. Aku segera keluar dan duduk di bangku di luar kelas sambil menunggu Igo. Tak lama Igo keluar dari kelas sambil mengobrol dengan Adri. Kembar yang satu ini tumben sekali akur akhir-akhir ini. Mata Igo terhenti padaku, lalu meninggalkan Adri dan mendekatiku.
“Yuk jalan keluar, Igo tadi minta dijemput setengah jam lagi. Cukup kan buat cerita?”
“Cukup, cukup. Yuk.” Aku berdiri dan berjalan bersamanya ke gerbang kampus tempat Igo biasa menunggu jemputan di bawah pohon. Aku menceritakan semua yang telah aku baca kemarin, sementara dia mendengarkan dengan serius. Sesekali dia menengok ke jalan untuk mengecek kedatangan ayahnya. Setelah ayahnya sampai, dia melambaikan tangannya padaku dan aku berjalan pulang ke kos. Kegiatan kemarin terulang lagi, hanya dalam waktu 2,5 jam aku selesai membaca.
Kegiatan pagi berikutnya pun sama. Selesai kuliah, aku menceritakan bacaanku pada Igo. Igo terlihat begitu serius, tenang saat mendengarkan. Tak jarang Igo menanyakan bagian-bagian cerita yang bolong karena lupa kuceritakan. Setelah novel immortal series  yang dipinjamkannya selesai kuceritakan seluruhnya, dia mulai sering mengobrol mengenai banyak buku lain denganku. Aku yang senang membaca novel tentu saja bersemangat untuk bercerita. Igo semakin sering memintaku menceritakan novel-novel yang pernah kubaca. Aku tak pernah keberatan, bahkan aku dengan senang hati menceritakan novel-novel yang kumiliki setiap aku sedang bersamanya di kelas atau di bawah pohon sambil menemaninya menunggu jemputan.
Suatu hari, saat dosen salah satu mata kuliah berhalangan hadir dan kami masih bertahan di kelas untuk menghindarkan diri dari panas, aku dan Igo mengobrol tentang sedikit kehidupan Igo.
“Igo kenapa nggak baca sendiri sih? Kayaknya sekarang sejak tau Raya suka baca, Igo jadi lebih suka diceritain,” kataku setengah meledeknya.
“Hehehe, enakan diceritain Ray. Nggak usah repot-repot baca, tinggal dengerin aja. Raya udah bosen ngedongengin Igo ya?” tanyanya.
“Nggak kok. Malah sekarang Raya kecanduan cerita. Sekarang di kos Raya juga diminta ngedongengin Nurul. Wajar kok, emang enak didongengin itu. Sejak Raya kecil, Umma sama Nenek suka bacain cerita sebelum tidur. Sayang sekarang Umma sibuk, jadi udah jarang cerita sama Raya lagi,” kataku.
“Tapi umma Raya masih cerita kan, walau Raya udah gede?” tanya Igo.
“Iya. Kalo sekarang sih lebih ke cerita kegiatan sehari-hari, curhat gitu deh. Itu juga kalo Umma nggak ketiduran duluan. Setelah Raya kuliah, kalo lagi pulang Raya cerita ke Umma kegiatan Raya di sini.”
“Enak ya masih ada yang nyeritain,” gumam Igo perlahan. Sekilas kutangkap nada iri dan sinar sedih dalam matanya.
“Eh, kok gitu? Emang kenapa, Go?” tanyaku.
“Igo suka iri sama temen-temen yang bisa cerita-cerita ke ortunya. Igo mana bisa? Kan Ayah sibuk terus.”
“Lho, ibu Igo?”
Igo tersenyum sedih. “Coba Raya buka blog Igo deh. Baca blogpost yang Dongeng.”
Aku menurutinya, kuakses blognya melalui HP-ku. Sejenak percakapan kami terhenti, aku serius membaca blogpost-nya, sementara dia mengobrol dengan teman lain. Aku membaca ‘jiwa’ Igo, cerita mengenai pendongeng terhebat baginya, ibunya. Tanpa sadar air mataku mulai menetes, aku terhanyut dalam ceritanya yang kutahu pasti memang terjadi.
“Ray, kok nangis? Kenapa Ray?” Suara panik Igo menyadarkanku, aku menunduk dan berusaha menghapus air mata di pipiku dengan tangan. Igo memegang kedua pipiku dan menghadapkan wajahku ke arahnya, kemudian menghapus air mata yang masih membanjir.
“Nggak apa-apa, Go. Raya baru selesai baca blogpost-nya,” kataku sedikit tersendat, berusaha tersenyum sambil mengeringkan pipiku. Aku baru sadar kalau Ega dan Adri yang tadi mengobrol dengan Igo sudah menghilang.
“Maaf ya Go, Raya nggak tau tentang ini. Maaf banget udah nyinggung Igo.”
“Nggak tersinggung kok. Kan Raya emang nggak tau. Udah, jangan nangis lagi,” kata Igo sambil menepuk bahuku.
“Emmm… Igo lagi kangen Ibu?” tanyaku hati-hati.
“Kangen sih setiap hari, Ray. Sampai udah terbiasa. Hehehe… Tenang aja, Igo kan kuat,” jawabnya sambil cengengesan. Kulihat ada sinar lain di matanya, sepercik kesedihan yang dibalut ketabahan. Aku merasa semakin bersalah karena menanyakan hal yang menurutku tak berhak kutanyakan.
“Igo masih suka didongengin kan sampai sekarang?”
“Tentu aja, kan Igo punya Raya yang mau ngedongengin,” jawabnya tersenyum.
“Kalo Igo ngizinin, Raya pengen jadi pendongeng buat Igo. Raya tau, Raya pasti nggak bisa sama dengan pendongeng terhebat Igo. Raya tau, bukan cuma Raya yang pernah ngedongeng buat Igo, dan Raya bukan pendongeng terbaik. Tapi setidaknya Raya pengen jadi pendongeng yang cukup baik. Raya pengen jadi pembawa cerita-cerita yang indah itu untuk Igo.”
Kata-kata yang meluncur dari mulutku membuat Igo terdiam sejenak sambil menatapku tajam seakan hendak menembusku. Aku tertunduk, menyadari ucapanku sedikit ambigu. Tapi aku juga menyadari sepenuhnya, kata-kata itu meluncur keluar dari dalam hatiku, dan aku yakin dengan kata-kataku. Igo memecah kesunyian di antara kami.
“Raya… yakin?”
“Ya.” Jawabanku singkat namun menegaskan keyakinanku, aku menatap Igo tepat ke kedua bola matanya. Tampak Igo yang semula ragu-ragu kemudian tersenyum. Matanya bersinar terang, memancarkan kegembiraannya.
“Igo, inget ya. Kalo Igo ngerasa sedih, kesepian, butuh temen, Raya pasti ada di sini untuk Igo. Raya nggak pernah ke mana-mana kok, Go. Igo boleh ngelampiasin kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan Igo sama Raya. Raya pasti akan tetep dengerin Igo. Untuk Igo tau, Igo juga termasuk orang yang udah menggoreskan cerita-cerita indah tentang persahabatan, yang udah lama Raya coba jauhi. Raya pernah kehilangan sahabat Raya, dan Raya nggak mau kehilangan lagi untuk ke sekian kalinya.”
Aku menunduk lagi setelah mengucapkan janjiku. Igo menggandeng lenganku hangat.
“Makasih, Ray. Makasih banyak untuk persahabatan ini. Igo pasti akan selalu nyimpen nama Raya, sahabat pendongeng Igo.”
Sebuah cerita yang indah tentang persahabatan kini kembali tergores di catatan benakku, yang kusimpan rapi dalam satu ruang khusus bertuliskan nama sahabatku, Igorius Vala Damyris, dengan judul Janji Sang Pendongeng. Dan setelah hari terucapnya janji itu, aku menjadi pendongeng tetap bagi Igo pada waktu-waktu tertentu, saat kami bisa meluangkan waktu di antara tumpukan tugas untuk berbagi cerita dari berbagai buku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS