Kisa-Rayne part 3

Hari ini aku keluar dari RS, setelah seminggu lebih aku dirawat di sini. Selama itu teman-temanku, baik teman kos maupun teman kampus datang menjenguk serta menjagaku, bergantian dengan Umma-ku agar beliau bisa beristirahat sejenak di kosku. Selama itu pula Igo tak pernah terlihat di hadapanku setelah peristiwa itu. Berhari-hari kerjaku hanya menatap TV dengan kosong, baik dinyalakan maupun tidak. Umma yang menungguiku sangat kuatir dengan kondisiku yang semakin lama semakin kurus, tapi setiap kali Umma menanyaiku aku hanya menjawab,”Nggak apa-apa, Ma”, tersenyum lemah, dan terdiam kembali.
Saat Umma istirahat di kosku dan digantikan oleh Dyah, Angger, Nurul, Sarah, maupun Bu Caya, aku hanya bisa menanyakan apa salahku sambil menangis. Nurul berkata,”Kamu jangan gini terus dong, Ray. Liat, badan kamu tambah kurus. Kamu nggak kasihan sama Umma kamu yang bela-belain dateng buat nemenin, cuma buat ngeliat anaknya ‘kosong’ gini?”
“Aku nggak ngerti lagi, Rul. Aku nggak mau kehilangan sahabatku lagi, udah cukup aku kehilangan sahabat-sahabatku dulu. Sekarang aku lumayan bahagia Ega mau jadi sahabatku lagi, tapi kenapa untuk itu aku malah kehilangan Igo?”
“Kamu nggak bakal kehilangan Igo, dia cuma butuh waktu untuk nenangin diri. Pasti dia shock juga pas denger itu dengan telinganya sendiri, walaupun kamu nggak ngomong langsung sama dia. Ega bilang apa waktu itu?”
“Ega bilang, Igo sempet susah banget dikejar. Di kampus juga nggak mau ngomong sama Ega. Akhirnya Ega ke rumah Igo, trus berhasil ngomong sama Igo. Igo juga bilang kalo dia butuh waktu buat nenangin diri, tapi nggak tau sampe kapan. Bisa aja kan, dia mutusin ngejauhin aku?” jawabku sambil terisak.
“Terus kalo dia ngejauhin kenapa? Ya udah, berarti dia bukan sahabat yang baik. Cuma karena itu aja dia ngejauhin. Padahal dia udah denger jelas kalo kamu nggak mau ngerusak persahabatan kalian. Tapi kalo dia segitu bodohnya untuk nggak bisa nerima dan ngejauhin kamu, yang sayang sama dia dengan tulus, berarti emang dia bodoh dan nggak pantes dicintai sama kamu. Paham? Move on, Sayang, kamu bisa jadi gila kalo gini terus,” kata Nurul dengan tegas. Dyah dan Sarah hanya diam dan mendengarkan kami.
“Kita, cewe-cewe, emang makhluk bodoh kalo udah menyangkut perasaan. Kita cuma bisa diem, nunggu, dan terlalu takut buat ngungkapin duluan, nggak kaya cowo yang bebas ngomong apa aja yang mereka mau. Kita cuma bisa ngerasain sendiri, nggak cuma perasaan sayang kita, tapi juga rasa sakit karena orang yang kita sayang terlalu bego buat ngerti perasaan kita. Kadang cowo-cowo itu bahkan nunjukin duluan kalo dia sayang sama kita, dia perhatian sama kita, dia peduli sama kita walaupun kita mungkin belum bisa nerima dia bahkan nyuekin aja. Tapi pas kita udah ngerasa sayang sama mereka, mereka melenggang gitu aja sambil ngebawa hati kita dengan penuh kemenangan karena ngerasa berhasil naklukin cewe yang dikenal susah banget dideketin. Tau-tau mereka udah bawa cewe aja, pacar baru yang bisa bikin kita berasa ditampar dan didorong ke jurang. Emang cowo cuma dia doang? Ayooo, sadar sadar!” Nurul menepuk pipiku keras-keras, air matanya sendiri sudah mengalir.
“Buset, kamu udah curcol, masih pake ngegamparin lagi. Sakit tau! Jangan nangislah, gitu aja nangis. Kamu yang bilang kita harus move on, kamu sendiri belum bisa kan?” kataku sambil menepuk balik pipi Nurul, air mataku malah terhenti saat melihatnya menangis. Kini dia ganti menangis di sisi tempat tidurku, lalu memelukku erat. Dyah dan Sarah mendekat dan memeluk kami, mata mereka juga berkaca-kaca terharu. Sarah berkata, setengah tertawa, setengah menangis,”Gila ya kalian, lagi galau sempet-sempetnya ngomong gitu. Kami kesindir, tau.”
“Makasih yaa, makasih banget buat kalian yang ngerti perasaanku. Makasih banget…” Aku memeluk teman-temanku, beberapa dari perempuan terbaik yang pernah dikirimkan Tuhan untuk menemaniku saat aku sedang dalam kondisi down seperti ini. Aku melanjutkan,”Doain aja semua cepet kembali kaya dulu lagi. Aku nggak mau ngerepotin Umma lagi, aku harus bisa sehat. Umma nggak boleh tau kenapa aku sampe gini, bisa-bisa Igo di-blacklist sama Umma.” Teman-temanku hanya tertawa sambil berpelukan denganku.
Sejak hari itu sampai hari aku diperbolehkan keluar dari RS, aku berusaha tidak menunjukkan kesedihanku lagi di depan Umma. Umma terlihat heran, tapi juga bersyukur melihatku sedikit demi sedikit kembali seperti semula. Aku pulang ke kos dari RS ditemani Umma dan Ega yang kuminta datang. Saat hendak masuk kos, Ega berhenti melangkahkan kaki di ruang tamu dan berkata dengan memelas,”Emmm… Ray, aku di sini aja ya. Ntar aku digebukin temen-temen kamu kalo masuk. Aku masih pengen hidup, Ray.”
Aku, Umma, dan teman-teman kos yang menyambutku tertawa melihat wajahnya. Dyah menyeletuk,”Kalo yang masuk kamu sih nggak apa-apa, Ga. Malah kos kami jadi seger ada pemandangan baru. Hahahaha…”
Aku mencubit Dyah sambil berkata,”Heh, nggak boleh yang ini. Dia punyaku! Hehehehe… Ya udah Ga, kalo mau di sini nggak apa-apa. Ntar aku keluar lagi.”
Aku menyusul Umma yang sudah berjalan ke kamar duluan, menaruh tas, lalu berpamitan pada Umma untuk pergi dengan Ega. Umma sempat terlihat keberatan, tapi kemudian mengangguk dan hanya berkata,”Ati-ati, kamu masih harus banyak istirahat. Jangan kemaleman ya pulangnya.”
Aku dan Ega pergi ke Taman Kota, tempat pertama kali kami keluar bersama dan saling membuka diri tentang kehidupan kami. Kami berdua memilih duduk di salah satu sudut yang agak jarang dilewati orang-orang yang bersepeda agar pembicaraan kami tidak terdengar. Aku bertanya,”Ga, tumben banget kamu nggak pengen mampir ke food court-nya? Biasanya kan kamu maksa makan.”
Ega tersenyum dan menjawab,”Lagi belum pengen makan, Ray. Lagian di sini makanannya kan jenis junkfood semua, kamu abis sakit, mana boleh makan yang gitu.”
“Yeee, kalo kamu mau makan ya ayo aku temenin. Aku sih nggak usah makan nggak apa-apa.”
“Nggak mau! Kamunya kasian, cuma ngiler ngeliatin aku makan. Hohohoho…” kata Ega sambil menjulurkan lidahnya.
“Kamu ini yaa, minta dijitak banget sih,” ujarku mulai kesal. Ega tertawa, lalu duduk di sampingku dan melihatku dengan teliti. Wajahku terasa sedikit menghangat saat menyadari tatapannya, lalu aku mengalihkan perhatiannya dengan berkata,”Ga, akhir-akhir ini aku mimpi aneh deh. Masa sebelum aku masuk RS, aku mimpi Igo kecebur di sungai. Pas udah berhasil aku pegang, dia malah ngelepas pegangannya terus kebawa arus.”
“Eh, masa? Gimana ceritanya?”
Aku menceritakan detail mimpiku pada Ega yang memperhatikan dengan serius. Ega bertanya,”Abis itu kamu gimana?”
“Aku bangun, pintu kamarku digedor-gedor Sarah. Terus aku ngedrop, dibawa ke RS. Kira-kira artinya apa ya, Ga?” tanyaku.
“Nggak ngerti deh. Eh, jangan-jangan itu pertanda kejadian RS yang waktu itu, Ray?”
“Yaah, bisa juga sih. Tapi kenapa harus gitu tandanya? Dia ngilang lho abis itu, kan kebawa. Semoga aja nggak bakal ada apa-apa sama Igo,” kataku sedikit cemas.
“Pasti dia nggak apa-apa, Ray. Aku kan masih ketemu dia, dia juga kayanya biasa aja tuh,” ujar Ega menenangkanku.
Aku menghela napas panjang berusaha menenangkan kegelisahanku yang mendadak timbul kembali. Saat aku memandang Ega, tampak dia sedikit gelisah, matanya seperti mencari-cari seseorang. Aku bertanya,”Kenapa, Ga? Kamu nyari siapa?”
“Huh? Eh, nggak. Aku nggak nyari siapa-siapa kok. Aku cuma lagi mikir, kayanya ada sesuatu yang ketinggalan, tapi apa ya? Hehehe…” cengirannya tidak bisa membohongiku, pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Tapi aku tidak mau memaksanya, aku hanya diam kembali dan melihat HP-ku yang ber-wallpaper tulisan yang kubuat dari kertas-kertas bintang “Igo-Raya”. Tiba-tiba Ega berdiri, lalu berkata,”Ray, aku mau ke food court di situ bentar ya. Haus nih. Nggak apa-apa kan kutinggal bentar?”
“Ya udah gih, beli minum dulu. Aku tunggu di sini kok,” jawabku, kini kuperhatikan kegelisahannya menjadi-jadi. Ega berlari ke food court yang ditunjuknya. Aku merasa sedikit aneh, kenapa dia harus berlari? Apa dia sudah sebegitu hausnya sampai tak tahan ingin segera minum? Aku mengangkat bahuku, lalu mulai iseng membuka inbox HP-ku. Aku tersenyum pedih saat membaca SMS-SMS dari Igo dan Biyan. Oh ya, untuk kalian tahu, pada saat aku di RS, aku mengirim SMS pada Biyan meminta kami berpisah. Aku tidak tega membiarkan Biyan yang sangat baik dan sabar padaku itu kuacuhkan begitu saja karena diam-diam aku telah menyukai Igo. Walau Biyan juga sering mengacuhkanku karena terlalu asyik dengan pekerjaannya, pastilah sangat tidak adil baginya bila aku mengacuhkannya karena hatiku terbawa orang lain. Biyan awalnya bingung dan sedikit marah, tapi karena aku sudah berkata sejujurnya, dia menerima permintaanku, bahkan memintaku tetap menjalin hubungan walau hanya sebagai teman dengannya. Aku jadi sangat merasa bersalah pada Biyan…
Lamunanku terhenti saat aku mendengar langkah-langkah kaki menghampiriku. Aku tidak menengok, karena dari wangi parfum di udara aku sudah tahu kalau itu Ega. Tapi kenapa yang kudengar ada lebih dari satu orang yang berjalan? Aku berpaling, dan benar-benar terkejut ketika kulihat Igo berjalan di sisi Ega. Igo yang tak kalah terkejutnya langsung menghentikan langkahnya, lalu memandangiku. Ega yang tak menyadari keadaan berkata,”Kenapa berhenti, Go? Ayo, aku mau mempertemukan kamu sama seseorang. Itu orangnya.”
“Ega, kamu apa-apaan sih? Apa maksud semua ini?” tanyaku dengan suara gemetar, aku tak berani menatap Igo, kupelototi Ega yang tersenyum polos.
“Aku cuma mau mempertemukan kalian berdua. Udah saatnya kita ngelurusin masalah ini. Mau sampe kapan kaya gini terus?”
“Aku udah bilang kan, Ga? Aku yang bakal nyelesein ini semua, SENDIRI! Nggak usah ikut campur masalahku kenapa sih?!” aku terpana mendengar kata-kata Igo yang meluncur dengan nada marah. Ega juga terkejut, lalu memandang Igo sambil berkata,”Terus mau sampe kapan? Sampe kapan, Go?! Kamu nggak pernah ngeliat sendiri gimana Raya tersiksa karena sikap kamu. Kamu nggak pernah ngeliat gimana Raya terus-terusan nangis karena mikirin kamu. Kamu nggak pernah ngehadapin Umma Raya yang kebingungan ngeliat anaknya gini dan nanyain ke kamu. Kamu maunya apa sih, Go?!”
“CUKUP! Emang aku nggak pernah ngeliat dan ngerasain itu semua. Apa kamu pikir aku juga nggak tersiksa?! Aku juga, Ga, aku juga! Tapi biarin aku nyelesein masalahku sendiri. Aku bakal ngomong sendiri saat aku yakin waktunya udah tepat. Aku nggak butuh bantuan kamu!” bentak Igo. Wajah Ega dan Igo sudah memerah menahan emosi mereka. Tiba-tiba pikiranku terhentak, INI SALAHKU! Salahku karena menyebabkan mereka, dua sahabat bertengkar karenaku. Aku menggelengkan kepalaku ngeri mendengar hujatan-hujatan dari pikiranku sendiri, lalu kubenamkan wajahku di kedua telapak tanganku, berusaha mengusir hujatan-hujatan itu. Ega yang melihat gerakanku segera merangkulku dan bertanya,”Ray, kenapa kamu? Kamu baik-baik aja kan?”
Aku melepaskan rangkulan Ega dan mendorongnya perlahan, kemudian berdiri. Aku berkata dengan suara tercekik,”Udah cukup, kalian berdua. Aku minta maaf karena bikin kalian harus berantem gini. Kalian berdua sahabatan kan? Kalian berdua juga sahabatku, gimana pun perasaanku ke kalian. Jangan sampe gara-gara aku, kalian terpecah. Udah cukup semuanya! Maafin aku, Ga, Go, aku udah salah banget bikin keadaan nggak enak untuk kita bertiga selama ini. Maaf…”
Aku berlari keluar dari taman, tak kupedulikan panggilan Ega dan Igo yang terkejut melihatku pergi begitu saja. Aku mendengar mereka berdua berusaha menyusulku, tapi entah mengapa kakiku berhasil membawaku pergi lebih cepat dari mereka. Aku bergegas menyeberang jalanan yang terlihat sepi. Saat aku selamat sampai seberang, aku melihat Igo yang berlari menyusulku ikut menyeberang. Mataku menangkap sinar dari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dari tikungan, aku berlari kembali ke tengah jalan, mendorong Igo menjauhi jalanan itu dan berteriak,”Igo, awas!” Lalu kusadari sinar yang menyilaukan itu menuju tubuhku sendiri. Aku merasakan rasa sakit yang teramat sangat mendera seluruh tubuhku, dan aku merasa terlempar entah berapa jauhnya. Samar-samar kudengar Igo dan Ega berteriak histeris memanggil namaku, lalu semua gelap…
Aku berada di sebuah taman yang indah, penuh dengan bunga-bunga cantik yang bermekaran. Aku menjelajahi taman itu dengan pandanganku, mencari-cari Ega maupun Igo. Sepi sekali taman ini! Aku ada di mana? Saat langkahku mendekati sebuah gazebo yang dibangun di atas sungai kecil jernih di tengah taman, mataku tertumbuk pada sesosok wanita cantik berpakaian putih yang indah. Aku sempat tertegun, ragu-ragu untuk melangkahkan kakiku masuk ke gazebo. Kemudian kudengar wanita itu menyapa,”Masuklah, Raya. Jangan ragu-ragu, kemarilah.”
“Anda tahu nama saya? Anda siapa?” tanyaku sedikit takut.
Wanita itu tersenyum, lalu berkata,”Tentu aku tahu siapa kamu. Kamu yang telah menemani anakku selama ini, bahkan kamu yang memberi cinta dan perhatianmu pada anakku, walau anakku justru menjauhimu.”
Aku bertambah heran dan bertanya,”Tapi saya tidak mengenal anak Anda. Siapa Anda?”
“Kamu tidak bisa mengenaliku?” tanya wanita itu sambil mendekatiku. Aku menatapnya, yang mula-mula disinari cahaya terang, lalu sedikit demi sedikit cahaya itu memudar dan memperjelas pandanganku pada wajah wanita itu. Seorang wanita yang amat cantik, bertubuh semampai, berambut sebahu, berkulit dan bergaun putih. Herannya, aku merasa mengenali wajahnya. Di mana aku pernah melihatnya?
“Kamu masih belum bisa mengenaliku? Bukankah wajahku mirip dengan anakku, sahabat sekaligus orang yang kamu sayangi?” kata wanita itu berusaha mengingatkan aku. Tiba-tiba ingatanku tersentak, wanita ini! Apa dia…
“Aku tahu kamu pasti mengenaliku. Kamu benar, aku ibu Igo. Selamat datang di tamanku,” ujarnya ramah. Aku terkejut, pertama karena dia bisa membaca pikiranku, kedua karena tebakanku benar. Dia mendekatiku, lalu menggandeng lenganku dan membimbingku ke sofa empuk di dalam gazebo tersebut. Aku hanya menuruti gandengannya, pikiranku masih belum bekerja secara sempurna. Ibu Igo berkata,”Aku minta maaf atas perlakuan anakku. Anakku memang orang yang agak keras pendiriannya, walaupun dia juga sangat lembut hatinya.”
“Nggak apa-apa, Tante. Emmm, boleh saya bertanya, Tante?” kataku ragu-ragu.
“Kamu mau bertanya, tempat apa ini dan mengapa ada aku di sini kan? Ini ‘pemberhentian sementara’, Raya. Kamu ingat kan, kamu ditabrak mobil saat menyelamatkan anakku. Aku melihat kejadian itu, dan aku memohon agar aku diperbolehkan menemuimu di sini menggantikan malaikat yang seharusnya membawamu. Kamu seharusnya ‘langsung berangkat’, Ray. Tapi aku telah memohon agar kamu bisa kembali untuk sementara waktu agar bisa menyampaikan pesanku pada anakku,” jawab ibu Igo.
“Pesan apa, Tante? Dan apa maksud Tante, saya seharusnya ‘langsung berangkat’?” tanyaku bingung.
“Seharusnya kita segera menuju malaikat peradilan, tetapi aku ingin kamu menyampaikan pesanku. Katakanlah padanya, dongeng yang pernah aku ceritakan padanya, yang tak pernah selesai itu, berakhiran ibu dalam cerita bertemu gadis yang amat baik dan mengembalikan baju anaknya, kemudian sang ibu membawa gadis tersebut ke rumahnya. Anak laki-lakinya yang menyambut kedatangan mereka jatuh hati pada si gadis, dan kemudian mereka menikah dan merawat sang ibu hingga akhir hayatnya,” kata ibu Igo.
“Ah, saya tahu dongeng itu, Tante. Igo pernah bercerita kepada saya,” kataku.
“Dongeng tersebut tak pernah selesai didengarnya, karena itu aku mohon kamu mau kembali ke dunia dan menyampaikan pada Igo. Setelah itu, kita bisa berangkat bersama,” kata ibu Igo memandangku. Aku melihat kesedihan di wajah yang lembut itu, lalu mengangguk. Ibu Igo melanjutkan,”Kamu juga diberi kesempatan berpamitan pada semua orang di sana. Nanti setelah kamu selesai, aku pasti akan ada di sana untuk menjemputmu.”
“Baik, Tante, saya mengerti,” jawabku. Ibu Igo tersenyum lembut, lalu memelukku dengan penuh kasih. Bergumpal-gumpal kabut menyelimuti gazebo dan taman kecil itu dan memburamkan pandanganku…

Aku membuka mata dan melihat sinar putih terang yang menyilaukan di atas kepalaku. Bau khas rumah sakit menerpa hidungku dan membuatku mengernyit. Sekujur tubuhku terasa pegal dan nyeri luar biasa, seakan tulang-tulangku patah. Sebuah suara yang cemas menyadarkanku, suara lembut ibuku,”Dek, kamu sadar? Akhirnya kamu sadar juga, Sayang.” Umma-ku mencium keningku, aku merasakan titik-titik air hangat menetes di wajahku. Tanpa sadar aku ikut menangis, hatiku perih membayangkan sebentar lagi aku harus meninggalkan keluarga dan teman-temanku. Aku melihat wajah Umma yang basah oleh air mata, Appa dan kakak-kakakku yang kuyu dan berkantung mata tebal karena kurang tidur. Pastilah mereka terus menjagaku. Aku berkata dengan suara serak oleh tangisku,”Umma, aku minta maaf.”
Ummaku tersenyum lembut dan berkata,”Nggak apa-apa, Sayang. Syukurlah kamu udah sadar. Kamu koma lebih dari seminggu setelah kecelakaan itu. Umma, Appa, Kak Bagus, Kak Priya dan juga temen-temen kamu terus-terusan nungguin kamu. Terutama temen-temen yang ada sama kamu pas kamu kecelakaan, Igo sama Ega. Igo terus-terusan minta maaf sama kami, katanya dia yang salah, gara-gara berusaha nyelametin dia tapi malah kamu yang jadi korban. Yang nabrak untungnya mau tanggung jawab sama perbuatannya. Dia juga rajin ke sini buat nengokin kamu.”
“Sekarang anak-anak pada di mana, Ma?” tanyaku berusaha menghentikan celoteh Ummaku.
“Lagi pada jajan di kafetaria, bentar lagi juga balik,” jawab Umma. Appa dan kakak-kakakku ikut mendekat dan mengelus rambutku. Appa berkata,”Kamu ngigau dalam komamu, Ray. Kamu kaya lagi ngomong sama seseorang, lama banget. Nada kamu juga sedih, tapi kadang kedengeran seperti kamu lagi janji sama seseorang.”
“Eh? Ah, Appa bisa aja,” jawabku berusaha ‘ngeles’ dari ucapan Appa. Sebentar lagi aku harus ninggalin mereka, batinku sedih. Terdengar suara ketukan di pintu, kemudian teman-temanku melangkah masuk. Begitu melihat keluargaku berdiri di sisi tempat tidur dan mataku telah terbuka, mereka terpaku sejenak, kemudian mereka berhamburan mendekati tempat tidurku. Aku melihat ada Nurul, Dyah, Sarah, Angger, Bu Caya, Intan, Flora, Vella, Rosalba, Fanya, Dhilla. Di belakang mereka ada Iwan, Awan, Azar, Ega, Igo, Cahya, dan Ipul. Ega dan Igo terlihat paling pucat dan kuyu wajahnya, tapi juga paling bahagia saat menatapku. Rosalba berkata,”Ya ampun Raya, kamu lama banget sih tidurnya. Akhirnya kamu bangun juga.”
Teman-teman lainnya tampak menahan diri untuk tidak memelukku saat melihat kondisiku yang lemah. Kemudian pintu terbuka lagi, dan aku melihat seorang pria muda, sekitar 25-30 tahun, masuk dan memandang agak bingung dengan keramaian dan suasana yang tampak berbeda di kamarku. Melihat mataku yang tertuju pada pria itu, Ummaku berkata,”Ini Mas Surya, Ray.”
Pria itu mendekatiku dan berkata,”Saya Surya. Nama kamu Raya kan? Maaf, waktu itu saya salah udah nabrak kamu. Saya bener-bener minta maaf sama kamu.”
Aku tersenyum dan menjawab,”Nggak apa-apa, Mas. Emang udah takdirnya harus gini kok.”
Pintu sekali lagi terbuka, dan kulihat Biyan dan Zufi, adiknya yang sekaligus sahabatku, memasuki ruangan. Wajah Biyan terlihat bersinar terang saat melihatku sudah sadar. Aku melihat wajah Igo tampak sedikit berubah, tapi dalam sekejap kembali seperti semula, seolah tak mengenal Biyan. Sempat terpikir dalam benakku, ada apa antara Biyan dan Igo? Tapi kemudian aku teringat tugasku, lalu berkata,”Emmm… Boleh Raya minta perhatian kalian semua? Raya mau bilang sesuatu yang penting.”
Umma dan Appa berkata,”Bilang aja, Nak. Kami masih dengerin kamu kok.”
Sejenak suasana sunyi, sebelum kupecahkan dengan kata-kataku. “Umma, Appa, Kak Bagus, Kak Priya, dan temen-temen Raya yang baik. Sebenernya Raya udah nggak berhak di sini lagi. Tapi karena permohonan seseorang, Raya harus kembali untuk menyampaikan pesan ke salah satu dari kalian.”
Orang tuaku terkejut dan berusaha menyelaku, tetapi kupotong,”Maaf Umma, Appa, tapi Raya harus nyelesein omongan Raya dulu. Waktu Raya nggak banyak, sedangkan tugas Raya juga belum dilaksanain.”
Aku menatap Igo, Ega, dan Biyan, lalu berkata,”Raya minta kalian bertiga agak mendekat, terutama Igo. Ini pesan untuk Igo.”
Mereka bertiga terlihat terkejut saat aku memanggil mereka, tapi mereka segera mendekatiku. Aku berkata,”Tugas yang Raya harus lakuin sekarang adalah nyampein pesan untuk Igo. Ini dari ibu Igo.”
Igo tersentak, lalu berkata,”Raya ketemu Ibu? Apa kata Ibu?”
“Ibu Igo minta Raya untuk ngelanjutin dongeng itu, Go. Masih inget kan, dongeng yang pernah kamu ceritain ke Raya? Ibu Igo baru cerita sampe sang ibu dalam cerita berusaha nemuin baju anaknya kan? Jadi lanjutannya…” Aku menuturkan lanjutan dongeng ibu Igo, berusaha menirukan setiap kata yang diceritakan oleh beliau. Igo, Ega, Biyan, dan seluruh isi ruangan terdiam, berusaha menyimak dongengku yang kusampaikan dengan suara yang lemah. Mata Igo tampak berkaca-kaca, wajahnya memerah menahan tangisnya. Ega melihat perubahan wajah Igo, kemudian merangkul bahu Igo dan berusaha memberinya kekuatan. Biyan hanya tertunduk saat mendengar suaraku yang lemah, Zufi maju mendampinginya dan menggenggam tangannya.
Setelah dongengku selesai, aku menatap mereka satu per satu dengan lembut. Aku berkata pada Igo,”Itu tugas Raya, Go. Raya udah berusaha ngelakuin yang terbaik dalam nyampein pesan ibu Igo. Sekarang Raya harus bilang, Raya sayang sama Igo. Maafin Raya karena nggak bisa nahan perasaan Raya, maafin Raya yang ngerusak persahabatan kita dengan perasaan yang nggak semestinya Raya rasain. Raya yang salah, udah bikin semua orang kuatir, bikin Ega sama Igo berantem juga. Maafin Kisa ya, Rayne.”
Aku memandang Ega yang berada di samping Igo, dan berkata,”Makasih banyak buat pengorbanan kamu, Ga. Maaf karena dulu Raya sayang kamu tapi malah ninggalin kamu. Maaf karena saat Ega udah sayang sama Raya, Raya malah berusaha ngelupain Ega dan jadi sayang sama Igo. Maaf karena Ega yang harus ikut repot jadi penengah antara Raya sama Igo. Kamu inget mimpi yang Raya ceritain di taman? Sepertinya mimpi itu emang terjadi, Ga. Walaupun dengan cerita yang sangat berbeda.”
Aku berpaling ke sisi lain tempat tidurku, pada Biyan dan Zufi yang tertunduk. “Maafin Raya yang udah nyakitin Biyan. Maaf karena Raya egois, selalu pengen diperhatiin sama Biyan, padahal Biyan sibuk kerja. Maaf karena hati Raya berpaling sama orang lain. Tapi untuk Biyan tau, hubungan kita selalu istimewa, dan hari-hari Raya sama kamu adalah hari-hari yang istimewa juga buat Raya. Makasih banyak, Bi. Zuf, Raya mohon jagain kakak kamu ya. Jangan sampe dia jadi down, Biyan harus bisa ngelanjutin hidup Biyan tanpa Raya.”
Kemudian aku menatap teman-temanku yang lain. Tampak air mata mengalir deras di wajah mereka. Aku berkata,”Makasih juga buat kalian, temen-temen Raya yang paling baik. Raya tau kalian selalu sibuk dan nggak bisa merhatiin Raya terus-terusan. Raya sekarang maklum sama hal itu kok. Raya minta maaf karena egois, selalu pengen diperhatiin sama kalian. Makasih juga buat temen-temen kos Raya yang selalu mau dengerin curhat Raya yang nggak penting. Maaf buat semua kesalahan Raya.”
Aku juga memandang Mas Surya, orang yang telah menabrakku, dan berkata,”Maaf ya, Mas harus terlibat sama Raya. Raya nggak akan nyalahin Mas, karena inilah takdir kita. Mas emang ditakdirkan untuk jadi perantara bagi Raya, jangan terlalu nyeselin hal ini Mas. Maaf banget sekali lagi, karena Raya udah ngelibatin Mas.”
Terakhir, aku memandang keluargaku. Saat kulihat wajah Umma dan Appa, aku tak kuat lagi menunjukkan ketegaranku. Pertahananku jebol, dan air mataku mengalir deras sehingga suaraku tersendat. “Maafin Raya, Ma, Pa, Kak Bagus, dan Kak Priya. Raya sering ngerepotin keluarga kita, Raya sering bandel, nggak bisa jadi anak perempuan yang manis dan halus sikapnya. Raya sering ‘petakilan’ dan bikin kuatir keluarga. Raya sayang sama Umma, Appa, Kak Bagus, sama Kak Priya.”
Teman-temanku semua hanya tertunduk sambil menangis. Keluargaku, juga sambil menangis, mendekati tempat tidurku. Appa berkata sambil menangis,”Raya, jangan tinggalin kami, Nak. Appa, Umma, dan kakak-kakak kamu masih butuh Raya. Rumah bakal sepi tanpa Raya.”
Ummaku sudah tidak dapat berkata-kata lagi, hanya bisa menangis histeris sambil memelukku. Aku juga menangis di pelukan Umma, merasakan pelukan hangat yang sebentar lagi tak dapat kurasakan itu. Igo berkata, air matanya bagai air terjun yang deras mengalir,”Jangan pergi, Ray. Kami semua masih butuh Raya, Igo masih butuh Raya. Raya nggak boleh pergi.”
Aku melihat bayangan ibu Igo berdiri di samping anaknya, tangannya memeluk bahu anaknya yang kini sudah lebih tinggi dari tingginya sendiri. Aku berusaha mengendalikan tangisku, lalu tersenyum dan berkata,”Go, kamu tau nggak? Ibu kamu ada di sebelah kamu, lagi ngerangkul kamu. Ibu Igo udah dateng buat ngejemput Raya, seperti janji beliau sebelum melepas Raya buat nyampein pesan ke Igo. Igo nggak boleh sedih ya. Raya juga nggak pantes kok Igo tangisin.”
Untuk terakhir kalinya aku memandangi wajah mereka semua satu per satu, berusaha melekatkan dalam ingatanku, lalu tersenyum.
“Selamat tinggal Umma, Appa, Kak Bagus, Kak Priya. Selamat tinggal Biyan, Zufi, dan temen-temen semua. Selamat tinggal Ega, selamat tinggal Igo. Raya sayang kalian semua…”
Aku menutup mataku perlahan, kurasakan tubuhku ringan dan seperti melayang di udara, lalu aku disambut ibu Igo dan segera bergandengan tangan untuk ‘berangkat’ dari dunia…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisa-Rayne part 2

“Rayne, kamu pasti bisa! Ayo cepet, ulurin tangan kamu ke Kisa. Ayo Rayne, dikit lagi pasti nyampe!” Aku berteriak-teriak menyemangati Igo, sedikit gelagapan saat air sungai itu bergolak dan menghantam wajahku yang hanya beberapa sentimeter di atas permukaannya sambil menjulurkan tanganku panjang-panjang. Igo-ku jatuh ke sungai itu saat kami sedang berjalan bersama melewatinya. Itu salahku, Igo berusaha menarikku yang terpeleset di tepi sungai yang lebar dan cukup dalam itu. Tapi justru Igo yang ganti kehilangan keseimbangan setelah menarikku dan berputar menggantikan tubuhku tercebur ke sungai. Kini aku berusaha menyelamatkan Igo yang timbul-tenggelam berusaha melawan belitan air sungai yang mengganas akibat hujan badai yang kami tembus. Igo hampir berhasil, kulihat jari-jarinya tinggal sedikit lagi bisa kugapai. Aku mengukuhkan tumpuanku, tak kupedulikan jins dan jaket yang kugunakan mengikat kakiku ke pohon besar di tepi sungai penuh berlumur lumpur. Aku berusaha menjulurkan tubuhku lebih panjang lagi agar bisa meraih Igo.
“Ayo Rayne, dikit lagi! Tahan Rayne, aku mohon!” teriakku. Igo masih berusaha berenang melawan arus yang menggila mendekati tanganku. Yak, berhasil! Jari-jariku dan Igo berhasil bersentuhan, bahkan kemudian berhasil kugenggam. Tiba-tiba deru air terdengar semakin keras, dan tanpa kusangka puluhan butir batu, mulai dari kerikil hingga akhirnya batu-batu sebesar kepalan tangan yang berasal dari bendungan terbawa arus dan menghajar tanganku dan Igo. Aku dan Igo mencoba bertahan tidak melepaskan pegangan, tapi kemudian 3 buah batu yang besarnya melebihi kepalan tangan orang dewasa bersamaan menghantam bahu Igo yang masih di dalam air, tangan kami yang saling berpaut, dan wajahku yang dekat dengan air. Pertahanan kami goyah, ditambah batu-batu yang terus menghantam bagai peluru dan darah yang mengucur deras dari hidungku yang terhantam serta dahi dan pipiku yang sobek membuatku mulai nanar. Kulihat Igo yang masih berusaha bertahan memandangiku yang terluka dengan pandangan aneh. Seperti sedih? Bersalah, atau takut? Entahlah yang mana, yang jelas aku semakin merasa sulit mempertahankan tangan kami karena buramnya pandanganku akibat darah yang mengalir. Lalu kusadari keanehan itu. Aku merasakan jemari Igo yang dingin dengan lembut berusaha melepaskan tautan tangan kami. Aku tergagap, lalu berseru, “Rayne, kamu ngapain? Jangan Rayne,  jangan lepasin tangan Kisa. Tahan Rayne, tahan. Ayo, kamu pasti bisa! Dikit lagi Rayne pasti berhasil duduk di samping Kisa lagi. Ayo Rayne!!”
Wajah Igo yang babak belur akibat dihantam batu-batuan yang hanyut tersenyum timbul dan tenggelam di antara luapan air yang semakin gila, kulihat bibirnya bergerak menyebut namaku tanpa terdengar,”Raya…” Akhirnya aku tidak merasakan jemari Igo lagi berpaut di jari-jariku, wajah yang tersenyum itu terseret semakin jauh dariku yang menjerit histeris,”RAYNE!!!”
 
DUK DUK DUK! “Raya, kamu kenapa? Kamu ngigau ya? Bangun Ray, udah jam setengah 7 nih. Lampu kamar kamu kenapa dimatiin? Kamu masih tidur ya? Nggak mau makan malem apa?”
Aku tersentak, kuedarkan pandangan ke sekitarku untuk melihat di mana aku, tapi yang kujumpai hanyalah kegelapan. Kudengar suara Sarah mengulangi panggilannya, lalu baru aku menyadari bahwa aku masih di kamar, ini masih hari aku tertidur kelelahan setelah menangis sepuasnya tadi sore. Kunyalakan lampu kamar dan membuka pintu dengan muka kusut.
“Kamu kenapa, Ray? Kok teriak-teriak dari tadi? Aku sama Intan dari tadi manggil lho! Kamu ngigau?” rentetan pertanyaan keluar bagai peluru senapan dari mulut Sarah. Aku hanya tersenyum lemah dan duduk di atas lantai kamarku karena berkunang-kunang.
“Iya, sori banget Sar. Aku tadi ketiduran terus mimpi buruk. Untung kamu bangunin,” jawabku sambil berusaha tersenyum. Tiba-tiba aku merasa badanku menggigil, saat berusaha kusamarkan dengan sedikit memeluk lutut rasa dingin itu datang lebih hebat dan tubuhku gemetar hebat. Sarah dan Intan yang terkejut langsung menyerbu ke dalam kamarku dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal, kemudian Sarah berteriak memanggil Ibu Caya, teman kos kami yang S2, dan Dyah yang berbadan cukup besar untuk menolong membopongku ke atas tempat tidur. Bu Caya yang melihat kondisiku sekilas langsung tanggap, disuruhnya Intan mengisi botol minumku dengan air panas lalu memasukkannya ke dalam selimut untuk lebih menghangatkanku. Sementara itu, Bu Caya menelepon taksi dan berlari ke rumah penjaga kos kami agar membantunya mengangkat tubuhku yang lemah. Aku sudah setengah sadar waktu taksi datang dan Pak Wiro serta Bu Caya membopongku ke taksi dan membawaku ke rumah sakit. Lalu lampu-lampu jalanan terlihat memburam...
Aku tersadar kedua kalinya hari ini karena terangnya cahaya lampu ruangan. Aku melihat wajah Bu Caya, Dyah, dan Sarah di sekelilingku, ruangan ini serba putih. Otakku perlahan bekerja kembali mengumpulkan ingatanku. Ah, pastilah aku sedang di rumah sakit. Bu Caya menanyaiku perlahan.
”Apa yang kamu rasain sekarang, Ray?”
“Pusing Bu, rasanya dadaku juga kayak ditusuk, perih. Rasanya juga dingin banget,” ujarku pelan sambil mengernyit menahan tusukan yang menyerang di dadaku saat aku bicara dan gigilan yang hampir membuatku sulit bicara.
“Santai ya, orang tua kamu udah ditelepon Sarah tadi. Katanya insya Allah akan segera datang ke sini,” ujar Bu Caya sambil tersenyum.
“Orang tua saya? Astaga, pasti Umma dan Appa kuatir. Tapi kan…” kata-kataku terhenti, tusukan itu semakin tajam dan membuatku terbatuk hebat. Bu Caya segera menyuruhku menenangkan diri dan memanggil dokter untuk memeriksaku. Aku masih sempat bertanya pada dokter itu.
“Dok, saya besok sudah bisa pulang ke kos kan? Kan saya hanya batuk dan demam saja. Saya kira kalau saya boleh pulang mungkin bisa istirahat.”
“Maaf Mbak, Mbak harus menginap di sini. Dugaan sementara radang paru-paru, tapi masih belum bisa saya pastikan,” jawab dokter sambil memandangku.
“Sudah, Mbak tenang aja di sini ya. Nyante aja dulu, manfaatkan untuk istirahat. Besok akan saya antarkan hasil laboratoriumnya,” ujarnya lagi.
Aku hanya bisa terhenyak. Lalu bagaimana dengan kuliahku besok? Dyah yang memandangiku sambil diam tiba-tiba berkata,”Buat kuliah besok, aku anterin surat izinnya ke temen kamu. Yang mana yang kosnya paling deket dan bisa dipercaya?”
Aku memandangnya, tersenyum lemah, lalu menjawab,”Iwan, kosnya jarak 3 rumah dari kos kita. Tau kan, yang warna rumahnya kuning?”
“Oh itu, iya aku tau. Nanti aku mintain surat izin dari RS-nya ya,” kata Dyah.
“Oke, makasih banyak ya,” jawabku menahan tusukan yang semakin tajam itu.
Bu Caya berkata,”Malem ini kamu harus istirahat total. Aku yang nemenin kamu dulu, besok pagi Sarah yang berangkat siang, trus Dyah, Angger, sama Nurul yang pulang siang. Gimana, setuju?”
“Oke Bu, besok kami ke sini,”jawab teman-temanku.
Bu Caya membenarkan bantal dan menyelimutiku, lalu keluar ruangan bersama Dyah dan Sarah untuk membeli bekal malam itu. Aku yang sendirian dalam ruangan mulai melamun, membayangkan apa reaksi teman-teman sekelasku besok saat suratku sampai. Ah, paling-paling hanya Flora, Vella, Rosalba, dan Faya yang menjenguk. Ega? Entahlah, aku tak tahu apa aku masih ada dalam jangkauan pertemanannya. Aku menghela napas panjang untuk menenangkan hatiku, lalu membenamkan diri (dengan hati-hati agar tidak semakin menusuk paru-paruku) ke dalam selimut.
Keesokan paginya aku terbangun dan refleks mencari HP yang biasa kuletakkan dekat bantal. Sambil terbatuk-batuk, aku membuka HP dan mengecek SMS. Umma dan Appa-ku agak panik, mereka memberi kabar bahwa baru bisa menjenguk 2 hari lagi karena masih harus menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku menenangkan mereka, berkata bahwa aku masih bisa bertahan dengan teman-temanku. Aku menghabiskan waktuku dengan menonton TV yang ada di kamar RS dan online lewat HP. Saat aku melirik ke jam dinding, aku membayangkan teman-temanku sedang mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang membosankan. Tak lama Sarah datang untuk menemaniku sambil membawakan perlengkapan yang kubutuhkan selama menginap di RS. Aku bertanya,”Dyah udah ngasihin surat izin?”
“Udah kok, aku juga ikutan tadi. Kamu tuh ya, kemarin pake main badai-badaian segala. Ngomong-ngomong orang tua kamu mau dateng kapan Ray?”
“Katanya sih 2 hari lagi. Masih nggak bisa ninggalin rumah sih, kan masih harus nyelesaiin pekerjaannya. Aku sih nyante aja, kasihan orang tuaku juga. Pasti mereka nggak konsen sama kerjaan di sana,” jawabku sambil tetap memandang TV agar Sarah tak melihat kesedihan dalam mataku.
“Oh iya, aku ntar masuk jam setengah 10 Ray. Ntar anak-anak dateng kok gantiin aku. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?”
“Nggak, aku sih malah bersyukur. Hohohohoho. Pergi aja sana yang jauh,” kataku sambil menjulurkan lidahku dan tertawa, yang berakhir dengan batuk-batuk parah. Sarah memandangku kesal, lalu menjawab,”Sayang kamu lagi sakit. Kalo nggak sakit aja udah aku jitak.”
“Sedikit banyak sakit itu menguntungkan ya ternyata. Aku jadi bebas jitakanmu,” cengirku. Sarah membantuku berjalan ke kamar mandi, lalu asyik sendiri mengerjakan tugasnya. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menggeleng-gelengkan kepala takjub karena kerajinannya. Kubiarkan dia mengerjakan tugas sementara aku menonton video Korea dari laptopku yang juga dibawakannya. Jam setengah 9 Sarah berpamitan padaku untuk bersiap-siap berangkat kuliah, lalu 45 menit kemudian Dyah, Angger, dan Nurul datang. Kami bersama-sama menonton video Korea sambil mengobrol. Tiba-tiba ada ketukan di pintu, yang langsung dibukakan oleh Nurul. Ternyata Ega yang datang untuk menjenguk. Aku tertegun memandanginya masuk, kemudian berubah salah tingkah ketika teman-temanku keluar dari kamar dan meninggalkan kami berdua di dalam. Ega memperhatikanku, terlihat sedikit kaget karena aku tampak pucat sekali. Aku tersenyum sedikit gugup, lalu berkata,”Ega? Kamu tumben sendirian? Nggak sama yang lain?”
“Nggak, Ray, yang cowo-cowo kan mau shalat Jumat. Mereka mau ke sini sama anak-anak cewe, nyusul katanya. Kamu sakit apa sih Ray? Kok bisa sampe gini?”
“Katanya sih radang paru-paru, Ga. Kemaren pulang dari kampus ujan-ujanan sih. Hehehe…” aku nyengir, lalu terbatuk.
“Ih, serem banget batuk kamu. Iya, aku diceritain Igo kamu nembus badai waktu pulang dari kampus. Dasar ya kamu, bandel banget sih.” Tangannya seperti biasa usil, kali ini mengacak-acak rambutku. Mendengar nama Igo disebut, wajahku sedikit berubah, yang langsung kutundukkan agar Ega tidak melihat. Sialnya Ega sempat melihat, lalu langsung bertanya,”Kamu kenapa? Ada omonganku yang salah?”
“Nggak, nggak apa-apa. Emang aku kenapa?” tanyaku balik.
“Kok kayak sedih banget? Oh iya, aku mau tanya tapi lupa terus. Kamu kenapa jadi pendiem banget akhir-akhir ini? Cuma kalo lagi sama Igo kamu keliatan seneng banget, mata kamu bersinar. Kamu juga jadi jauh dari aku. Kamu sebenernya kenapa?” tanyanya bertubi-tubi sambil memandangiku lekat-lekat.
“Aku nggak apa-apa, Ga. Emang kenapa kalo aku sama Igo? Cemburu?” aku meliriknya nakal.
“Apaan sih kamu. Ditanyain nggak jawab. Kamu itu kenapa sampe ngejauhin aku?”
Aku masih saja menggodanya, tersenyum nakal sambil berkata,”Kamu kalo cemburu itu bilang, Ga. Ditahan itu nyesek lho.”
“Kalo kamu emang pengen tau, aku emang cemburu! Dulu kita deket banget, sampe akhirnya kamu ngejauhin aku. Sekarang kamu deket sama Igo, mata kamu pas ngeliat dia sama kayak waktu lagi sama aku. Aku iri sama Igo, yang bisa dapet kesempatan sering ngobrol sama kamu, bisa sering ngeliat sinar mata kamu. Apa yang salah sama aku sampe kamu gini, Ray?!” kata-kata Ega yang meluncur deras dari mulutnya membuatku terhenyak tanpa bisa bicara. Ega yang terlihat kaget sendiri saat menyadari kata-katanya langsung berubah merah padam, lalu spontan memelukku yang dalam posisi duduk bersandar di tempat tidur.
“Maafin Ega, Ray. Ega salah, udah ngomong gitu ke Raya. Maaf banget…” dia memelukku erat sambil terus meratap minta maaf. Mataku berkaca-kaca, lalu aku berkata,”Apa itu bener, Ga? Kamu iri sama Igo? Sebenernya aku ngejauh dari kamu justru karena kamu ngejauh dari aku duluan, Ga. Kamu nggak pernah liat ke aku sekalipun, kamu lebih sering kumpul sama temen-temen kamu. Waktu ada anak-anak lain di sekitar kita, kamu nggak pernah ngajak aku ngobrol. Kamu baru ngobrol sama aku pas kita cuma berdua, abis acara seni dulu. Waktu itu aku ngerasa Ega yang dulu udah balik, Ega yang dulu mau cerita lagi sama aku. Tapi kenapa besoknya kamu nggak ngajak aku ngobrol lagi, Ga? Kamu keliatan sibuk banget ngobrol sama yang lain, ngerangkul temen-temen sana-sini, tapi nggak sekali pun ngeliat ke arahku. Harusnya aku yang tanya, Ga. Aku salah apa?” Batukku menyusul hebat, sampai-sampai aku terbungkuk dan memegangi dadaku yang sakit. Ega yang kuatir segera melonggarkan pelukannya, lalu menatapku cemas.
“Batuk kamu parah banget, Ray. Kamu mau aku panggilin dokter?”
“Nggak usah, aku baik-baik aja. Sekarang kamu udah tau masalah kita dari sudut pandangku kan? Tolong jelasin sama aku, Ga, kamu kenapa sampe gitu?” aku memandangnya tajam setelah berhasil mengendalikan batukku. Ega tampak salah tingkah, duduk di pinggir tempat tidurku dan menunduk dalam, lalu menjawab lirih.
“Aku sayang kamu, Ray. Aku takut kamu bisa ngeliat rasa sayang itu, makanya aku ngejauhin kamu. Tapi aku nggak hampir bisa nahan diri aku lagi waktu liat kamu sama Igo. Apa kamu tau sakitnya harus ngeliat mata orang yang kita sayang bisa bersinar cuma kalo lagi deket sama sahabat kita sendiri?”
“Kalo kamu mau tau Ga, aku juga sayang kamu. Tapi waktu kamu ngejauhin aku, aku berusaha sadar diri. Emang aku nggak bakal mungkin sama kamu, yang seakan jadi pusat perhatian temen-temen. Setelah kamu ngejauh, aku berusaha nyari orang yang mau ngertiin aku, mau jadi sahabatku, mau jadi pengganti kamu. Dan itu aku rasain pas sama Igo.” Aku mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipiku. Ega memelukku lagi, berusaha menenangkanku. Dia kemudian berkata,”Jadi sekarang kamu udah nggak sayang aku?”
“Bukan gitu, Ga. Aku masih sayang kamu, tapi sekarang aku berusaha ngebatesin sayang itu. Kamu baik banget, Ga, tapi sekarang.. Rasanya aku sayang sama orang lain,” kataku sambil menunduk.
“Igo kan, Ray? Kamu sekarang sayang sama Igo?” tanyanya lembut. Aku hanya bisa semakin menunduk, tak berani memandang wajah Ega yang menatapku.
“Aku nggak berani bilang sama Igo, Ga. Aku nggak mau ngerusak persahabatan kami. Aku emang bodoh, udah punya Biyan tapi masih sayang sama kamu, sama Igo. Tapi mau gimana? Jujur, aku ngerasa kesepian karena Biyan sibuk banget beberapa bulan ini. Aku juga nggak mau egois, Ga, aku nggak mau ganggu Biyan pas lagi kerja. Cuma tetep aja aku juga nggak bisa mungkir kalo aku kesepian. Tapi juga nggak berarti aku sayang sama kalian buat pelampiasan. Emang aku mulai terbiasa sama kalian, dan cuma sama kalian aku bebas ngobrol apa aja selain sama Biyan, yang lagi sibuk-sibuknya.”
“Jadi kamu beneran sayang sama Igo?” tanya Ega sambil mengangkat wajahku menghadapnya.
“Kayaknya… iya, Ga,” jawabku perlahan. Tiba-tiba dari sudut mataku aku melihat gerakan di pintu, seperti ada yang menutup pintu perlahan dari luar. Aku sempat melihat wajahnya sekilas. Itu Igo! Berarti dia mendengar apa yang aku bicarakan sejak tadi dengan Ega, dan melihat jarak yang amat dekat pula antara aku dan Ega selama berbicara. Aku langsung mencengkeram lengan Ega sambil berkata,”Ga, ada Igo! Tadi dia ada di depan pintu, dan sekarang dia nggak jadi masuk ke dalam kamar ini. Kayaknya dia denger apa yang kita omongin. Ayo kejar dia, Ga!” aku berusaha turun dari tempat tidur, yang langsung ditahan oleh Ega dan sakit yang kembali menyerang paru-paruku.
“Aku yang akan ngejar Igo, kamu di sini aja. Ntar aku SMS hasilnya kalo udah ngejelasin semua sama dia,”kata Ega cepat, lalu berdiri dari tempat tidurku. Sebelum keluar, dia menyempatkan diri mengelus rambutku dan berkata,”Semua pasti baik-baik aja, Ray. Aku punya perasaan kuat Igo juga sayang kamu, tapi dia tahan karena tau kamu masih sama Biyan. Tenang ya Raya sayang. Kali ini aku akan bener-bener berdiri sebagai sahabat kamu, orang yang sayang sama kamu dan mau ngelakuin apa aja demi sahabatnya tersayang.”
“Makasih banget, Ga. Aku mohon kamu bisa jelasin semuanya ke Igo dan ngasih kabar ke aku secepatnya,” aku memandang Ega dengan mata penuh air.
“Oke, aku pasti ngabarin kamu. Kalo aku bisa, besok aku bakal ke sini lagi jagain kamu, kalo bisa bawa Igo. Cepet sembuh ya, Ray…” Ega memelukku lagi, lalu tersenyum dan segera berlari keluar menyusul Igo. Aku tertunduk dan mulai menangis, melampiaskan sakit yang kini tak hanya di paru-paruku, tapi juga di hatiku.
Teman-teman kosku masuk dan melihatku yang sedang menangis sambil meringkuk, lalu mereka mendekati dan memelukku bersama-sama.
“Kami denger semuanya, Ray. Salah kami, pintu tadi nggak kami tutup karena kami pikir nggak akan ada yang masuk gitu aja karena ada Ega di dalem. Tapi pas kami balik dari kafetaria, kami ngeliat cowo tadi berdiri depan pintu sambil nunduk, trus ngasih isyarat biar kami diem dan dengerin juga. Waktu dia lari, kami pikir dia itu Igo. Bener nggak, Ray?” kata Nurul sambil memeluk dan mengelus punggungku.
“Iya, aku sempet liat wajahnya sekilas. Dia emang Igo. Dan dia denger aku ngomong tentang perasaanku sama dia ke Ega. Sekarang apa yang harus aku lakuin? Dia pasti bakal ngejauh dari aku. Aku harus gimana?” aku terus menangis di pelukan teman-temanku, sesekali terbatuk-batuk kembali.
“Ray, sabar. Tunggu berita dari Ega. Sementara itu jangan terlalu dipikir, kamu juga harus rileks buat nyembuhin sakitmu. Kalo kamu banyak pikiran gini, kamu nggak bakal sembuh-sembuh. Tenang aja, Ray, kami masih di sini nemenin kamu.” Dyah, Angger, dan Nurul terus menghiburku. Ketika tangisku memudar, aku merasakan ruangan di sekitarku seakan berputar dan membuyar, dan kemudian segalanya gelap total.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisa-Rayne part 1

Aku Raya, seorang gadis biasa, tanpa teman yang selalu ada di sisi tanpa perlu kudekati, tanpa ada yang menghibur sedih hati. Bukan suatu hal baru bila kutemukan diriku berjalan seorang diri saat pulang dari kampus ke kosku. Melihat teman-temanku satu per satu lewat, berboncengan naik sepeda motor, mengobrol dengan riang, dan berpamitan padaku, “Raya, duluan yaa…”. Bukan masalah pula bagiku saat waktunya pulang aku mendekati teman-teman yang searah dan mengajak berjalan bersama, hanya untuk mendengarkan jawaban ”Aduh maaf, aku habis ini harus rapat” atau “Wah, aku mau makan dulu di warung sana, Ray. Kamu nggak ikut?” dan menjawab,”Oh, ya udah kalo gitu. Aku duluan deh” dan “Nggak ah, aku kan udah masak”. Lebih biasa lagi saat aku keluar dari gerbang kampus dan melihat beberapa temanku bergerombol pulang bersama dan mengobrol dengan serunya beberapa langkah di depanku.
 Memang semua itu bukan masalah yang perlu dikatakan, tapi bila boleh jujur, aku lebih suka semua itu tak perlu terjadi. Seakan aku tak pantas berjalan bersama mereka, seakan aku tak patut mendengarkan cerita-cerita mereka. Bila aku bergabung pun aku tak akan mengerti apa yang mereka bicarakan, karena itu cerita yang telah mereka bicarakan ketika aku tak ada. Kalian pikir aku tak pernah mencoba mendekat? Sering! Aku mencoba mendekati teman-teman kelasku, satu per satu, hingga aku merasa cocok dengan seseorang.
Igo namanya, tipe mahasiswa yang suka belajar dan rajin mencatat tapi tak terlalu senang membaca (aneh ya? Aku juga berpikir begitu). Aku mendekatinya, bertanya tentang materi kuliah, bercerita banyak hal favorit kami dan kejadian sehari-hari yang kami alami. Suatu hari, setelah selesai rapat angkatan, aku dan Igo masih tinggal di kampus bersama banyak anak lain yang sedang asyik mengobrol sendiri-sendiri. Saat kami asyik bercerita karena sudah ‘nyambung’, dia dipanggil teman-teman segengnya,”Igo, sini bentar deh.”
"Igo udah mau pulang?” tanyaku.
“Nggak, masih ada urusan sama mereka sebentar.”
“Oh… Ya udah, aku pulang aja ya.”
“Lho, mau ngapain pulang, Ray? Udah di sini aja, cuma bentar kok.”
“Nggak apa-apa, Go. Raya pulang dulu aja. Udah mendung, jam segini anak-anak kos belum pada pulang. Takutnya jemuran Raya nggak ada yang ngangkatin.”
Teman-teman Igo memanggil dengan tak sabar, “Igooo, cepetaaann! Penting nih, ayooo.”
“Tuh, Igo udah dipanggilin. Kok Igo masih di sini?”
“Raya-nya gimana dong kalo Igo sama mereka?”
“Ya Raya pulang, mau ngapain lagi di kampus? Rapat kan udah selesai dari tadi.”
Dari jendela kulihat titik-titik air mulai membasahi jalanan aspal depan kampus. Kubuka tasku untuk mengecek payung yang biasa aku bawa,. Ah sial, aku tidak membawa payung hari ini. Tapi masa aku harus di sini menunggu hujan reda tanpa teman mengobrol? Ah biarlah. Sekali-kali hujan-hujanan kan tak apa.
“Udah ujan Ray, Raya bawa payung nggak?” kata-kata Igo membuyarkan lamunanku.
“Nggak bawa Go, ketinggalan di kos. Hehehe. Nggak apa-apa deh ujan-ujanan sekali-kali. Udah lama juga nggak main ujan,” kataku sambil nyengir, cengiran yang (kuharap) terlihat cukup polos.
“Ih, nggak boleh Ray. Ntar sakit lho. Kan Raya udah bilang lagi nggak enak badan. Udah, sama Igo aja di sini. Igo juga agak lama nunggu Ayah, biar hujannya reda dulu,” Igo menahan tasku supaya aku tidak kabur.
“Yee, trus kalo Igo udah dijemput, Raya tetep aja pulang sendiri kan. Malah tambah gelap jalanannya. Ini aja udah jam 4,” kataku sambil tertawa, senang juga ada orang yang ingin aku menungguinya.
“Igoooo, kan Reni mau cerita sama Igo bentar. Igo udah dijemput belum?” Reni, teman segengnya mendekat, lalu menyambung,”Maaf ya Ray, Igo-nya Reni pinjem bentar. Hehehe. Penting nih.”
“Oh, silakan aja. Raya juga uda mau pulang kok. Bye Igo, bye Reni,” ucapku cepat sambil membungkuk berpamitan pada mereka, lalu segera membalikkan badan dan berjalan menuruni tangga. Aku menunduk menuruni tangga tanpa melihat ke belakang, aku merasa Igo masih memandangi punggungku walaupun Reni mulai bercerita dengan suaranya yang ramai. Mitha dan Amy juga menimbrung bercerita, ramai sekali sepertinya mereka. Sampai depan pintu gedung, aku menghela napas panjang saat melihat jalanan sudah tidak terlihat jelas karena derasnya hujan. Aku ragu-ragu, hampir kuputuskan untuk menunggu di bangku depan gedung ketika samar-samar kudengar suara orang memanggilku.
“Rayaaaaaa….!”
Tanpa perlu menoleh pun aku tahu itu suara Igo, maka tanpa ragu-ragu langsung kulangkahkan kakiku menembus hujan deras seolah tak mendengar panggilannya. Memang, saat aku memasuki hujan itu suaranya berkurang dan menjadi sangat perlahan nyaris tak terdengar. Hujan deras itu berubah menjadi badai, segera setelah aku berjalan menembusnya, seolah tak rela ada manusia yang nekat menembusnya. Tak apa, aku justru bersyukur karena badai itu menyembunyikan air mataku yang mulai mengalir semakin deras tanpa mampu kutahan lagi. Aku merasa sangat bersalah pada Igo, yang aku tahu pasti berlari turun dari lantai 2 kampus untuk mengejarku. Tapi bukankah masih ada Mitha, Amy, Ega, dan Azar yang biasa bersamanya?
Saat berjalan di halaman kosku, teman kos depan kamarku, Sarah, yang sedang keluar dari kamarnya terkejut melihatku yang seperti anak ayam kehujanan.
“Astaga Raya, kenapa ujan-ujanan? Payung kamu mana?”
“Ketinggalan di kamar, Sar. Hehehe. Udah lama nggak main ujan-ujanan juga, jadi kangen,” cengirku garing campur menggigil.
“Gila ya kamu, itu namanya main badai-badaian, bukan ujan-ujanan lagi. Ya ampuuun, kamu basah banget gitu. Cepetan gih mandi,” kata Sarah, dia langsung menyeretku, membuka dengan cepat kunci kamarku yang baru kumasukkan ke lubang dan masuk. Tak lama dia keluar dari kamar membawa baju bersih untukku.
“Ini baju kamu, cepetan mandi, keramas jangan lupa. Liat tuh, badan kamu udah menggigil gitu.”
“Iyaaa, bawel banget sih emak kos yang satu ini,” kataku geli sambil memeluknya.
“Kyaaaa, aku jadi basah tauuuu..!! Rayaaaaaaa….!!!” amuknya. Aku langsung masuk ke kamar mandi sebelah kamarku untuk menghindari amukannya. Sambil tertawa terbahak-bahak aku mendengar dia mencak-mencak di depan kamar mandi. Segera aku menyelesaikan mandiku, dan menemukan mug yang tak kukenal berisi teh panas di atas meja kamarku, dengan secarik pesan bertuliskan “Heh kamu tukang bikin basah, ntar balikinnya bersih ya. Awas kalo nggak!” Aku tertawa, lalu berteriak dari dalam kamar, “Saraaaah, makasih mug-nya yaaa…! Bagus loh, kamu tau aja aku suka mug lucu kaya gini.”
“Rayaaaaaa, itu bukan buat kamuuuu…!!! Awas yaa, kamu nambah-nambahin cucianku. Padahal baju ini baru aja aku pake. Aaaaaaaaaaa…!!!” jeritnya mengalahkan deru hujan badai yang masih menyiram kota perantauan kami. Aku tertawa terbahak-bahak dari kamarku, lucu sekali gadis ini. Tangan kananku meraih mug dan merasakan hangatnya di antara kedua tanganku. Aku baru mengangkat mug ke bibirku ketika mataku melihat saku tasku menyala. Astaga, HP-ku masih di dalam tas! Pasti Umma yang mengirim SMS, menanyakan aku sudah di kos atau belum. Kusambar tasku dan membuka resleting sambil meminum teh hangat  yang sedari tadi belum aku minum. Hah, 5 pesan, 7 panggilan tak terjawab? Siapa ini? Ah, paling pacarku, Umma, dan Appa yang mengirim SMS dan menelepon karena tak segera kubalas.
Kubuka dulu panggilan tak terjawab. ‘Igorius  (7)’ tertera di layar. Aku ternganga, tak sadar kuletakkan mug yang kupegang. Igo? Tumben sekali anak ini telepon (atau missed call, aku tak tahu dia bermaksud yang mana). Saat kubuka SMS, 3 dari Igo, 1 dari Biyan (pacarku) dan 1 dari Umma (seperti biasa). SMS dari Igo bernada sama, seperti bingung dan bersalah.
‘Raya, kamu udah pulang?
Tunggu Igo bentar ya’
‘Ray, kok kamu nembus ujan gitu?
Ntar sakit loh, balik cepetan Ray’
‘Ray, uda nyampe kos kan?
Jawab dong Ray, biar Igo tau Raya baik2 aja’
Aku bersandar pada dipanku, perasaan bersalah menerpaku begitu kuat, tapi juga bercampur dengan kepedihanku karena sempat ditinggalkan. Hampir kuketikkan penyesalanku, ketika logika dan gengsiku datang. Kuketikkan balasan untuk Igo dengan cepat di antara air mata yang membuatku nyaris tak bisa membaca apa yang kuketik.
‘Igo, maaf yaa
Raya baru mandi, ini uda di kos kok
Igo uda dijemput Ayah apa masih di kampus?’
Ingatanku melayang kembali ke saat pertama aku mengenal Igo. Saat itu aku bermaksud menjauh dari Ega, teman kampusku yang lain agar kami tak terkena gosip dan direpotkan oleh gosip itu, dan menitipkannya kepada Igo yang akhir-akhir itu dekat dengan Ega. Aku menitipkan Ega agar Igo yang merawatnya dan terus ada di sampingnya karena Ega sedang sakit saat itu. Jahat ya aku? Hahahaha. Sejak SMS-ku pada Igo, kami semakin dekat dan sering sharing banyak hal. Igo yang terlihat pendiam ternyata sangat terbuka, suka bercerita banyak hal, dan sedikit berjiwa psikopat (dari omongannya yang kadang mengerikan) hanya untuk membuatku kesal, mulai sering terlihat di sampingku (walau lebih sering aku yang mendekat) dan sering tertera namanya di layar HP-ku karena SMS-SMS kami. Tapi aku tetap saja masih tidak bisa berbaur dengan gengnya, karena aku merasa tak mungkin bisa masuk ke dalam ikatan yang sudah terjalin kuat itu. Apalagi ada Ega, yang sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena sempat menyukainya (oke, aku akui itu. Bahkan Biyan pun sudah tau, jadi tak usah menganggapku macam-macam) tapi meninggalkannya (walau secara teknis dia yang meninggalkanku karena lebih sering bersama anak-anak yang sekarang menjadi gengnya). Aku ingat Igo yang saat itu menanyakan namaku, Aurez Raya Talitha, saat kami sedang duduk di kampus selesai kuliah pagi itu, ketika aku sedang merasa pusing karena materi yang rumit dan bersandar di bahunya.
“Ray, nama kamu artinya apaan sih? Kok susah banget kayaknya.”
“Aurez itu angin sepoi-sepoi, Raya ya Raya, Talitha itu anak kecil. Soalnya Raya kan paling kecil di rumah, jadi dianggep anak kecil yang terakhir gitu. Kalo arti nama kamu apaan Go?”
“Hah, angin sepoi? Kamu sih badai tau. Hehehehe… Igorius ya Igorius, Igo juga nggak tau artinya kok. Hehehe.. Vala itu terpilih, kalo Damarys itu lembut,” jawabnya sambil tersenyum-senyum.
“Berarti ibu Igo pengen anak laki-lakinya jadi laki-laki yang lembut sama perempuan ya. Makanya Igo dikasih nama itu,” kataku sambil tersenyum, yang kemudian memudar melihat wajahnya yang sedikit berubah. “Kenapa Go? Kok wajahnya Igo berubah? Penafsiran Raya salah ya?” tanyaku polos.
“Igo juga nggak tau bener apa salahnya kok. Igo cuma agak.. yaaah, terharu sama penafsiran Raya,” jawabnya sambil tersenyum, tapi matanya yang menyiratkan kesedihan tak luput dari pengamatanku.
“Igo kenapa sih? Coba aja Tanya deh sama Ibu, sama Ayah juga. Bener nggak penafsiran Raya. Kalo bener kan lumayan, ntar Raya mau buka klinik ramal. Hehehe..” kataku.
“Igo kan udah nggak bisa nanya ke Ibu lagi, Ray. Masa Igo harus ke Bukit Bintang dulu biar bisa ketemu Ibu?” kata-katanya mengejutkanku bagaikan tamparan.
“Emmm.. Maaf Go, maafin Raya. Raya nggak tau kalo…” kataku sambil menunduk tanpa berani melihat wajahnya. Igo menepuk pipiku pelan, lalu berjongkok di hadapanku sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa Raya. Igo tau kok Raya nggak sengaja. Kapan-kapan mau nggak nemenin Igo ke Bukit Bintang?”
“Iya, Raya pasti mau kok nemenin Igo. Igo jangan sedih lagi ya. Keliatan dari mata Igo tuh,” kataku sambil menatap matanya.
“Eh, keliatan ya? Hehehe, iya deh. Oh iya, Igo panggil kamu Tara aja ya, singkatan dari Taracand. Hohohoho…”
“Taracand apaan Go?” tanyaku bingung.
“Artinya pembuat hujan. Abis Raya kan kalo lagi sedih pasti turun ujan. Hahahaha…” tawanya puas. Aku tertawa sambil menonjoknya pelan.
“Kalo gitu Raya panggil kamu Igocataal.”
“Apaan tuh?”
“Artinya phoenix master. Igo kan suka baca Harry Potter, lagian kan ada namanya Igo. Hahahahaha…” aku tertawa senang karena bisa membalasnya.
“Hah??!! Nggak mau! Lainnya kek, yang bagusan dikit,” ujarnya bersungut-sungut.
“Kalo gitu aku panggil Rayne aja. Soalnya Igo kayak konselor, suka dengerin curhatan orang. Hehehehe..” kataku cepat sambil masih tertawa.
“Rayne? Bagus juga. Raya aku panggil Kisa yaa. Kan Raya suka kucing,” cengirnya polos.
“Kisa? Boleh deh Go,” aku mengiyakan setelah berpikir-pikir sejenak.
“Tapi jangan bilang ke anak-anak ya. Ini cuma buat kita Ray, eh, Kisa,” katanya sambil memandangku.
“Eh? Iya deh Igocataal. Hehehehe…” kataku sambil nyengir nakal untuk menutupi rasa maluku. Igo yang melihat cengiranku gemas mencubitku, dan teriakanku sukses membuat anak-anak lain di sekitarku kebingungan memandangiku dan Igo, yang kemudian tertawa melihatku meringis kesakitan. Kenangan yang indah, amat indah untukku yang tak pernah mendapat teman seperti Igo yang amat baik dan mau meluangkan waktunya untuk menenangkanku dan mengalihkan pikiranku dari hal-hal lain yang membuatku kesal.
“Maaf Igo, maaf. Raya sama sekali nggak punya maksud bikin Igo bingung. Raya cuma pengen nenangin hati Raya dulu, Raya nggak mau kamu liat Raya nangis karena ngerasa ditinggal. Emang Raya egois, cuma mau Igo ngomong sama Raya, nggak pergi pas Raya lagi ngomong. Tapi lebih baik Igo nggak tau. Raya nggak bakal bilang kok ke Igo,” isakku di dalam kamar, badai yang sempat mereda kembali terdengar mengganas di luar. Bagus, dengan begini teman-teman kosku tak akan ada yang bisa mendengarku. Aku terus terisak sampai aku kelelahan dan tertidur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah dalam Hati

Sayang, tahukah kamu?
aku merasa sepi, teramat sepi dalam hatiku
tahukah kamu bagaimana perasaanku?
tidak, kamu mungkin takkan pernah tahu
toh aku tak pernah berniat memberi tahumu

Tahukah kamu, aku terus belajar
belajar membuka mata tuk melihat dunia luar
belajar membuka telinga tuk mendengar
belajar mengendalikan diri tuk lebih bersabar
belajar memahami cinta yang di sekolah tak pernah diajar

Sakit hati ini, Sayang
saat membuka mata dan melihat orang acuh berlalu lalang
saat membuka telinga dan hanya menangkap keluh kabar orang
saat mengendalikan diri dan ditampar orang yang menusuk dari belakang
saat memahami cinta yang ternyata tak seindah yang terpandang

Tapi semua itu tak perlu kau tahu
aku pun tak ingin mengganggumu
yang sedang serius buktikan adamu
biar aku saja yang rasa dan tahu
biar tanganku yang goreskan luka dan pilu

Kamu, Sayangku, tak perlu peduli
hanya akan buatmu resah hati
tak perlu kau sesali semua yang terjadi

Kisah ini, Sayang, hanya untuk dibaca sepintas lalu
dan bukannya untuk diresapi dalam kalbu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS