Kisa-Rayne part 2

“Rayne, kamu pasti bisa! Ayo cepet, ulurin tangan kamu ke Kisa. Ayo Rayne, dikit lagi pasti nyampe!” Aku berteriak-teriak menyemangati Igo, sedikit gelagapan saat air sungai itu bergolak dan menghantam wajahku yang hanya beberapa sentimeter di atas permukaannya sambil menjulurkan tanganku panjang-panjang. Igo-ku jatuh ke sungai itu saat kami sedang berjalan bersama melewatinya. Itu salahku, Igo berusaha menarikku yang terpeleset di tepi sungai yang lebar dan cukup dalam itu. Tapi justru Igo yang ganti kehilangan keseimbangan setelah menarikku dan berputar menggantikan tubuhku tercebur ke sungai. Kini aku berusaha menyelamatkan Igo yang timbul-tenggelam berusaha melawan belitan air sungai yang mengganas akibat hujan badai yang kami tembus. Igo hampir berhasil, kulihat jari-jarinya tinggal sedikit lagi bisa kugapai. Aku mengukuhkan tumpuanku, tak kupedulikan jins dan jaket yang kugunakan mengikat kakiku ke pohon besar di tepi sungai penuh berlumur lumpur. Aku berusaha menjulurkan tubuhku lebih panjang lagi agar bisa meraih Igo.
“Ayo Rayne, dikit lagi! Tahan Rayne, aku mohon!” teriakku. Igo masih berusaha berenang melawan arus yang menggila mendekati tanganku. Yak, berhasil! Jari-jariku dan Igo berhasil bersentuhan, bahkan kemudian berhasil kugenggam. Tiba-tiba deru air terdengar semakin keras, dan tanpa kusangka puluhan butir batu, mulai dari kerikil hingga akhirnya batu-batu sebesar kepalan tangan yang berasal dari bendungan terbawa arus dan menghajar tanganku dan Igo. Aku dan Igo mencoba bertahan tidak melepaskan pegangan, tapi kemudian 3 buah batu yang besarnya melebihi kepalan tangan orang dewasa bersamaan menghantam bahu Igo yang masih di dalam air, tangan kami yang saling berpaut, dan wajahku yang dekat dengan air. Pertahanan kami goyah, ditambah batu-batu yang terus menghantam bagai peluru dan darah yang mengucur deras dari hidungku yang terhantam serta dahi dan pipiku yang sobek membuatku mulai nanar. Kulihat Igo yang masih berusaha bertahan memandangiku yang terluka dengan pandangan aneh. Seperti sedih? Bersalah, atau takut? Entahlah yang mana, yang jelas aku semakin merasa sulit mempertahankan tangan kami karena buramnya pandanganku akibat darah yang mengalir. Lalu kusadari keanehan itu. Aku merasakan jemari Igo yang dingin dengan lembut berusaha melepaskan tautan tangan kami. Aku tergagap, lalu berseru, “Rayne, kamu ngapain? Jangan Rayne,  jangan lepasin tangan Kisa. Tahan Rayne, tahan. Ayo, kamu pasti bisa! Dikit lagi Rayne pasti berhasil duduk di samping Kisa lagi. Ayo Rayne!!”
Wajah Igo yang babak belur akibat dihantam batu-batuan yang hanyut tersenyum timbul dan tenggelam di antara luapan air yang semakin gila, kulihat bibirnya bergerak menyebut namaku tanpa terdengar,”Raya…” Akhirnya aku tidak merasakan jemari Igo lagi berpaut di jari-jariku, wajah yang tersenyum itu terseret semakin jauh dariku yang menjerit histeris,”RAYNE!!!”
 
DUK DUK DUK! “Raya, kamu kenapa? Kamu ngigau ya? Bangun Ray, udah jam setengah 7 nih. Lampu kamar kamu kenapa dimatiin? Kamu masih tidur ya? Nggak mau makan malem apa?”
Aku tersentak, kuedarkan pandangan ke sekitarku untuk melihat di mana aku, tapi yang kujumpai hanyalah kegelapan. Kudengar suara Sarah mengulangi panggilannya, lalu baru aku menyadari bahwa aku masih di kamar, ini masih hari aku tertidur kelelahan setelah menangis sepuasnya tadi sore. Kunyalakan lampu kamar dan membuka pintu dengan muka kusut.
“Kamu kenapa, Ray? Kok teriak-teriak dari tadi? Aku sama Intan dari tadi manggil lho! Kamu ngigau?” rentetan pertanyaan keluar bagai peluru senapan dari mulut Sarah. Aku hanya tersenyum lemah dan duduk di atas lantai kamarku karena berkunang-kunang.
“Iya, sori banget Sar. Aku tadi ketiduran terus mimpi buruk. Untung kamu bangunin,” jawabku sambil berusaha tersenyum. Tiba-tiba aku merasa badanku menggigil, saat berusaha kusamarkan dengan sedikit memeluk lutut rasa dingin itu datang lebih hebat dan tubuhku gemetar hebat. Sarah dan Intan yang terkejut langsung menyerbu ke dalam kamarku dan membungkus tubuhku dengan selimut tebal, kemudian Sarah berteriak memanggil Ibu Caya, teman kos kami yang S2, dan Dyah yang berbadan cukup besar untuk menolong membopongku ke atas tempat tidur. Bu Caya yang melihat kondisiku sekilas langsung tanggap, disuruhnya Intan mengisi botol minumku dengan air panas lalu memasukkannya ke dalam selimut untuk lebih menghangatkanku. Sementara itu, Bu Caya menelepon taksi dan berlari ke rumah penjaga kos kami agar membantunya mengangkat tubuhku yang lemah. Aku sudah setengah sadar waktu taksi datang dan Pak Wiro serta Bu Caya membopongku ke taksi dan membawaku ke rumah sakit. Lalu lampu-lampu jalanan terlihat memburam...
Aku tersadar kedua kalinya hari ini karena terangnya cahaya lampu ruangan. Aku melihat wajah Bu Caya, Dyah, dan Sarah di sekelilingku, ruangan ini serba putih. Otakku perlahan bekerja kembali mengumpulkan ingatanku. Ah, pastilah aku sedang di rumah sakit. Bu Caya menanyaiku perlahan.
”Apa yang kamu rasain sekarang, Ray?”
“Pusing Bu, rasanya dadaku juga kayak ditusuk, perih. Rasanya juga dingin banget,” ujarku pelan sambil mengernyit menahan tusukan yang menyerang di dadaku saat aku bicara dan gigilan yang hampir membuatku sulit bicara.
“Santai ya, orang tua kamu udah ditelepon Sarah tadi. Katanya insya Allah akan segera datang ke sini,” ujar Bu Caya sambil tersenyum.
“Orang tua saya? Astaga, pasti Umma dan Appa kuatir. Tapi kan…” kata-kataku terhenti, tusukan itu semakin tajam dan membuatku terbatuk hebat. Bu Caya segera menyuruhku menenangkan diri dan memanggil dokter untuk memeriksaku. Aku masih sempat bertanya pada dokter itu.
“Dok, saya besok sudah bisa pulang ke kos kan? Kan saya hanya batuk dan demam saja. Saya kira kalau saya boleh pulang mungkin bisa istirahat.”
“Maaf Mbak, Mbak harus menginap di sini. Dugaan sementara radang paru-paru, tapi masih belum bisa saya pastikan,” jawab dokter sambil memandangku.
“Sudah, Mbak tenang aja di sini ya. Nyante aja dulu, manfaatkan untuk istirahat. Besok akan saya antarkan hasil laboratoriumnya,” ujarnya lagi.
Aku hanya bisa terhenyak. Lalu bagaimana dengan kuliahku besok? Dyah yang memandangiku sambil diam tiba-tiba berkata,”Buat kuliah besok, aku anterin surat izinnya ke temen kamu. Yang mana yang kosnya paling deket dan bisa dipercaya?”
Aku memandangnya, tersenyum lemah, lalu menjawab,”Iwan, kosnya jarak 3 rumah dari kos kita. Tau kan, yang warna rumahnya kuning?”
“Oh itu, iya aku tau. Nanti aku mintain surat izin dari RS-nya ya,” kata Dyah.
“Oke, makasih banyak ya,” jawabku menahan tusukan yang semakin tajam itu.
Bu Caya berkata,”Malem ini kamu harus istirahat total. Aku yang nemenin kamu dulu, besok pagi Sarah yang berangkat siang, trus Dyah, Angger, sama Nurul yang pulang siang. Gimana, setuju?”
“Oke Bu, besok kami ke sini,”jawab teman-temanku.
Bu Caya membenarkan bantal dan menyelimutiku, lalu keluar ruangan bersama Dyah dan Sarah untuk membeli bekal malam itu. Aku yang sendirian dalam ruangan mulai melamun, membayangkan apa reaksi teman-teman sekelasku besok saat suratku sampai. Ah, paling-paling hanya Flora, Vella, Rosalba, dan Faya yang menjenguk. Ega? Entahlah, aku tak tahu apa aku masih ada dalam jangkauan pertemanannya. Aku menghela napas panjang untuk menenangkan hatiku, lalu membenamkan diri (dengan hati-hati agar tidak semakin menusuk paru-paruku) ke dalam selimut.
Keesokan paginya aku terbangun dan refleks mencari HP yang biasa kuletakkan dekat bantal. Sambil terbatuk-batuk, aku membuka HP dan mengecek SMS. Umma dan Appa-ku agak panik, mereka memberi kabar bahwa baru bisa menjenguk 2 hari lagi karena masih harus menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku menenangkan mereka, berkata bahwa aku masih bisa bertahan dengan teman-temanku. Aku menghabiskan waktuku dengan menonton TV yang ada di kamar RS dan online lewat HP. Saat aku melirik ke jam dinding, aku membayangkan teman-temanku sedang mengikuti mata kuliah Bahasa Indonesia yang membosankan. Tak lama Sarah datang untuk menemaniku sambil membawakan perlengkapan yang kubutuhkan selama menginap di RS. Aku bertanya,”Dyah udah ngasihin surat izin?”
“Udah kok, aku juga ikutan tadi. Kamu tuh ya, kemarin pake main badai-badaian segala. Ngomong-ngomong orang tua kamu mau dateng kapan Ray?”
“Katanya sih 2 hari lagi. Masih nggak bisa ninggalin rumah sih, kan masih harus nyelesaiin pekerjaannya. Aku sih nyante aja, kasihan orang tuaku juga. Pasti mereka nggak konsen sama kerjaan di sana,” jawabku sambil tetap memandang TV agar Sarah tak melihat kesedihan dalam mataku.
“Oh iya, aku ntar masuk jam setengah 10 Ray. Ntar anak-anak dateng kok gantiin aku. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal?”
“Nggak, aku sih malah bersyukur. Hohohohoho. Pergi aja sana yang jauh,” kataku sambil menjulurkan lidahku dan tertawa, yang berakhir dengan batuk-batuk parah. Sarah memandangku kesal, lalu menjawab,”Sayang kamu lagi sakit. Kalo nggak sakit aja udah aku jitak.”
“Sedikit banyak sakit itu menguntungkan ya ternyata. Aku jadi bebas jitakanmu,” cengirku. Sarah membantuku berjalan ke kamar mandi, lalu asyik sendiri mengerjakan tugasnya. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menggeleng-gelengkan kepala takjub karena kerajinannya. Kubiarkan dia mengerjakan tugas sementara aku menonton video Korea dari laptopku yang juga dibawakannya. Jam setengah 9 Sarah berpamitan padaku untuk bersiap-siap berangkat kuliah, lalu 45 menit kemudian Dyah, Angger, dan Nurul datang. Kami bersama-sama menonton video Korea sambil mengobrol. Tiba-tiba ada ketukan di pintu, yang langsung dibukakan oleh Nurul. Ternyata Ega yang datang untuk menjenguk. Aku tertegun memandanginya masuk, kemudian berubah salah tingkah ketika teman-temanku keluar dari kamar dan meninggalkan kami berdua di dalam. Ega memperhatikanku, terlihat sedikit kaget karena aku tampak pucat sekali. Aku tersenyum sedikit gugup, lalu berkata,”Ega? Kamu tumben sendirian? Nggak sama yang lain?”
“Nggak, Ray, yang cowo-cowo kan mau shalat Jumat. Mereka mau ke sini sama anak-anak cewe, nyusul katanya. Kamu sakit apa sih Ray? Kok bisa sampe gini?”
“Katanya sih radang paru-paru, Ga. Kemaren pulang dari kampus ujan-ujanan sih. Hehehe…” aku nyengir, lalu terbatuk.
“Ih, serem banget batuk kamu. Iya, aku diceritain Igo kamu nembus badai waktu pulang dari kampus. Dasar ya kamu, bandel banget sih.” Tangannya seperti biasa usil, kali ini mengacak-acak rambutku. Mendengar nama Igo disebut, wajahku sedikit berubah, yang langsung kutundukkan agar Ega tidak melihat. Sialnya Ega sempat melihat, lalu langsung bertanya,”Kamu kenapa? Ada omonganku yang salah?”
“Nggak, nggak apa-apa. Emang aku kenapa?” tanyaku balik.
“Kok kayak sedih banget? Oh iya, aku mau tanya tapi lupa terus. Kamu kenapa jadi pendiem banget akhir-akhir ini? Cuma kalo lagi sama Igo kamu keliatan seneng banget, mata kamu bersinar. Kamu juga jadi jauh dari aku. Kamu sebenernya kenapa?” tanyanya bertubi-tubi sambil memandangiku lekat-lekat.
“Aku nggak apa-apa, Ga. Emang kenapa kalo aku sama Igo? Cemburu?” aku meliriknya nakal.
“Apaan sih kamu. Ditanyain nggak jawab. Kamu itu kenapa sampe ngejauhin aku?”
Aku masih saja menggodanya, tersenyum nakal sambil berkata,”Kamu kalo cemburu itu bilang, Ga. Ditahan itu nyesek lho.”
“Kalo kamu emang pengen tau, aku emang cemburu! Dulu kita deket banget, sampe akhirnya kamu ngejauhin aku. Sekarang kamu deket sama Igo, mata kamu pas ngeliat dia sama kayak waktu lagi sama aku. Aku iri sama Igo, yang bisa dapet kesempatan sering ngobrol sama kamu, bisa sering ngeliat sinar mata kamu. Apa yang salah sama aku sampe kamu gini, Ray?!” kata-kata Ega yang meluncur deras dari mulutnya membuatku terhenyak tanpa bisa bicara. Ega yang terlihat kaget sendiri saat menyadari kata-katanya langsung berubah merah padam, lalu spontan memelukku yang dalam posisi duduk bersandar di tempat tidur.
“Maafin Ega, Ray. Ega salah, udah ngomong gitu ke Raya. Maaf banget…” dia memelukku erat sambil terus meratap minta maaf. Mataku berkaca-kaca, lalu aku berkata,”Apa itu bener, Ga? Kamu iri sama Igo? Sebenernya aku ngejauh dari kamu justru karena kamu ngejauh dari aku duluan, Ga. Kamu nggak pernah liat ke aku sekalipun, kamu lebih sering kumpul sama temen-temen kamu. Waktu ada anak-anak lain di sekitar kita, kamu nggak pernah ngajak aku ngobrol. Kamu baru ngobrol sama aku pas kita cuma berdua, abis acara seni dulu. Waktu itu aku ngerasa Ega yang dulu udah balik, Ega yang dulu mau cerita lagi sama aku. Tapi kenapa besoknya kamu nggak ngajak aku ngobrol lagi, Ga? Kamu keliatan sibuk banget ngobrol sama yang lain, ngerangkul temen-temen sana-sini, tapi nggak sekali pun ngeliat ke arahku. Harusnya aku yang tanya, Ga. Aku salah apa?” Batukku menyusul hebat, sampai-sampai aku terbungkuk dan memegangi dadaku yang sakit. Ega yang kuatir segera melonggarkan pelukannya, lalu menatapku cemas.
“Batuk kamu parah banget, Ray. Kamu mau aku panggilin dokter?”
“Nggak usah, aku baik-baik aja. Sekarang kamu udah tau masalah kita dari sudut pandangku kan? Tolong jelasin sama aku, Ga, kamu kenapa sampe gitu?” aku memandangnya tajam setelah berhasil mengendalikan batukku. Ega tampak salah tingkah, duduk di pinggir tempat tidurku dan menunduk dalam, lalu menjawab lirih.
“Aku sayang kamu, Ray. Aku takut kamu bisa ngeliat rasa sayang itu, makanya aku ngejauhin kamu. Tapi aku nggak hampir bisa nahan diri aku lagi waktu liat kamu sama Igo. Apa kamu tau sakitnya harus ngeliat mata orang yang kita sayang bisa bersinar cuma kalo lagi deket sama sahabat kita sendiri?”
“Kalo kamu mau tau Ga, aku juga sayang kamu. Tapi waktu kamu ngejauhin aku, aku berusaha sadar diri. Emang aku nggak bakal mungkin sama kamu, yang seakan jadi pusat perhatian temen-temen. Setelah kamu ngejauh, aku berusaha nyari orang yang mau ngertiin aku, mau jadi sahabatku, mau jadi pengganti kamu. Dan itu aku rasain pas sama Igo.” Aku mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipiku. Ega memelukku lagi, berusaha menenangkanku. Dia kemudian berkata,”Jadi sekarang kamu udah nggak sayang aku?”
“Bukan gitu, Ga. Aku masih sayang kamu, tapi sekarang aku berusaha ngebatesin sayang itu. Kamu baik banget, Ga, tapi sekarang.. Rasanya aku sayang sama orang lain,” kataku sambil menunduk.
“Igo kan, Ray? Kamu sekarang sayang sama Igo?” tanyanya lembut. Aku hanya bisa semakin menunduk, tak berani memandang wajah Ega yang menatapku.
“Aku nggak berani bilang sama Igo, Ga. Aku nggak mau ngerusak persahabatan kami. Aku emang bodoh, udah punya Biyan tapi masih sayang sama kamu, sama Igo. Tapi mau gimana? Jujur, aku ngerasa kesepian karena Biyan sibuk banget beberapa bulan ini. Aku juga nggak mau egois, Ga, aku nggak mau ganggu Biyan pas lagi kerja. Cuma tetep aja aku juga nggak bisa mungkir kalo aku kesepian. Tapi juga nggak berarti aku sayang sama kalian buat pelampiasan. Emang aku mulai terbiasa sama kalian, dan cuma sama kalian aku bebas ngobrol apa aja selain sama Biyan, yang lagi sibuk-sibuknya.”
“Jadi kamu beneran sayang sama Igo?” tanya Ega sambil mengangkat wajahku menghadapnya.
“Kayaknya… iya, Ga,” jawabku perlahan. Tiba-tiba dari sudut mataku aku melihat gerakan di pintu, seperti ada yang menutup pintu perlahan dari luar. Aku sempat melihat wajahnya sekilas. Itu Igo! Berarti dia mendengar apa yang aku bicarakan sejak tadi dengan Ega, dan melihat jarak yang amat dekat pula antara aku dan Ega selama berbicara. Aku langsung mencengkeram lengan Ega sambil berkata,”Ga, ada Igo! Tadi dia ada di depan pintu, dan sekarang dia nggak jadi masuk ke dalam kamar ini. Kayaknya dia denger apa yang kita omongin. Ayo kejar dia, Ga!” aku berusaha turun dari tempat tidur, yang langsung ditahan oleh Ega dan sakit yang kembali menyerang paru-paruku.
“Aku yang akan ngejar Igo, kamu di sini aja. Ntar aku SMS hasilnya kalo udah ngejelasin semua sama dia,”kata Ega cepat, lalu berdiri dari tempat tidurku. Sebelum keluar, dia menyempatkan diri mengelus rambutku dan berkata,”Semua pasti baik-baik aja, Ray. Aku punya perasaan kuat Igo juga sayang kamu, tapi dia tahan karena tau kamu masih sama Biyan. Tenang ya Raya sayang. Kali ini aku akan bener-bener berdiri sebagai sahabat kamu, orang yang sayang sama kamu dan mau ngelakuin apa aja demi sahabatnya tersayang.”
“Makasih banget, Ga. Aku mohon kamu bisa jelasin semuanya ke Igo dan ngasih kabar ke aku secepatnya,” aku memandang Ega dengan mata penuh air.
“Oke, aku pasti ngabarin kamu. Kalo aku bisa, besok aku bakal ke sini lagi jagain kamu, kalo bisa bawa Igo. Cepet sembuh ya, Ray…” Ega memelukku lagi, lalu tersenyum dan segera berlari keluar menyusul Igo. Aku tertunduk dan mulai menangis, melampiaskan sakit yang kini tak hanya di paru-paruku, tapi juga di hatiku.
Teman-teman kosku masuk dan melihatku yang sedang menangis sambil meringkuk, lalu mereka mendekati dan memelukku bersama-sama.
“Kami denger semuanya, Ray. Salah kami, pintu tadi nggak kami tutup karena kami pikir nggak akan ada yang masuk gitu aja karena ada Ega di dalem. Tapi pas kami balik dari kafetaria, kami ngeliat cowo tadi berdiri depan pintu sambil nunduk, trus ngasih isyarat biar kami diem dan dengerin juga. Waktu dia lari, kami pikir dia itu Igo. Bener nggak, Ray?” kata Nurul sambil memeluk dan mengelus punggungku.
“Iya, aku sempet liat wajahnya sekilas. Dia emang Igo. Dan dia denger aku ngomong tentang perasaanku sama dia ke Ega. Sekarang apa yang harus aku lakuin? Dia pasti bakal ngejauh dari aku. Aku harus gimana?” aku terus menangis di pelukan teman-temanku, sesekali terbatuk-batuk kembali.
“Ray, sabar. Tunggu berita dari Ega. Sementara itu jangan terlalu dipikir, kamu juga harus rileks buat nyembuhin sakitmu. Kalo kamu banyak pikiran gini, kamu nggak bakal sembuh-sembuh. Tenang aja, Ray, kami masih di sini nemenin kamu.” Dyah, Angger, dan Nurul terus menghiburku. Ketika tangisku memudar, aku merasakan ruangan di sekitarku seakan berputar dan membuyar, dan kemudian segalanya gelap total.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

5 komentar:

ilcharama ilyas mengatakan...

to be continued

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

apa sih -____-
pokoknya ending tetep yang aku rencanain dari awal kok :D

Putu Tessa mengatakan...

komen dkit bole' ya... tkoh raya dsni kan pke jilbab ya.. tpii kok ksannya gmpg bgt dpluk sma ega? hehee :P

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

oiaa,aku lupa tess -___-
pasti aku edit lg
ngomong2 itu aku menyesuaikan sama karakter ega nya
#uhukganyindir :p
makasi kritiknya :)

Unknown mengatakan...

ditunggu part 3 nya :)

Posting Komentar