Kisa-Rayne part 1

Aku Raya, seorang gadis biasa, tanpa teman yang selalu ada di sisi tanpa perlu kudekati, tanpa ada yang menghibur sedih hati. Bukan suatu hal baru bila kutemukan diriku berjalan seorang diri saat pulang dari kampus ke kosku. Melihat teman-temanku satu per satu lewat, berboncengan naik sepeda motor, mengobrol dengan riang, dan berpamitan padaku, “Raya, duluan yaa…”. Bukan masalah pula bagiku saat waktunya pulang aku mendekati teman-teman yang searah dan mengajak berjalan bersama, hanya untuk mendengarkan jawaban ”Aduh maaf, aku habis ini harus rapat” atau “Wah, aku mau makan dulu di warung sana, Ray. Kamu nggak ikut?” dan menjawab,”Oh, ya udah kalo gitu. Aku duluan deh” dan “Nggak ah, aku kan udah masak”. Lebih biasa lagi saat aku keluar dari gerbang kampus dan melihat beberapa temanku bergerombol pulang bersama dan mengobrol dengan serunya beberapa langkah di depanku.
 Memang semua itu bukan masalah yang perlu dikatakan, tapi bila boleh jujur, aku lebih suka semua itu tak perlu terjadi. Seakan aku tak pantas berjalan bersama mereka, seakan aku tak patut mendengarkan cerita-cerita mereka. Bila aku bergabung pun aku tak akan mengerti apa yang mereka bicarakan, karena itu cerita yang telah mereka bicarakan ketika aku tak ada. Kalian pikir aku tak pernah mencoba mendekat? Sering! Aku mencoba mendekati teman-teman kelasku, satu per satu, hingga aku merasa cocok dengan seseorang.
Igo namanya, tipe mahasiswa yang suka belajar dan rajin mencatat tapi tak terlalu senang membaca (aneh ya? Aku juga berpikir begitu). Aku mendekatinya, bertanya tentang materi kuliah, bercerita banyak hal favorit kami dan kejadian sehari-hari yang kami alami. Suatu hari, setelah selesai rapat angkatan, aku dan Igo masih tinggal di kampus bersama banyak anak lain yang sedang asyik mengobrol sendiri-sendiri. Saat kami asyik bercerita karena sudah ‘nyambung’, dia dipanggil teman-teman segengnya,”Igo, sini bentar deh.”
"Igo udah mau pulang?” tanyaku.
“Nggak, masih ada urusan sama mereka sebentar.”
“Oh… Ya udah, aku pulang aja ya.”
“Lho, mau ngapain pulang, Ray? Udah di sini aja, cuma bentar kok.”
“Nggak apa-apa, Go. Raya pulang dulu aja. Udah mendung, jam segini anak-anak kos belum pada pulang. Takutnya jemuran Raya nggak ada yang ngangkatin.”
Teman-teman Igo memanggil dengan tak sabar, “Igooo, cepetaaann! Penting nih, ayooo.”
“Tuh, Igo udah dipanggilin. Kok Igo masih di sini?”
“Raya-nya gimana dong kalo Igo sama mereka?”
“Ya Raya pulang, mau ngapain lagi di kampus? Rapat kan udah selesai dari tadi.”
Dari jendela kulihat titik-titik air mulai membasahi jalanan aspal depan kampus. Kubuka tasku untuk mengecek payung yang biasa aku bawa,. Ah sial, aku tidak membawa payung hari ini. Tapi masa aku harus di sini menunggu hujan reda tanpa teman mengobrol? Ah biarlah. Sekali-kali hujan-hujanan kan tak apa.
“Udah ujan Ray, Raya bawa payung nggak?” kata-kata Igo membuyarkan lamunanku.
“Nggak bawa Go, ketinggalan di kos. Hehehe. Nggak apa-apa deh ujan-ujanan sekali-kali. Udah lama juga nggak main ujan,” kataku sambil nyengir, cengiran yang (kuharap) terlihat cukup polos.
“Ih, nggak boleh Ray. Ntar sakit lho. Kan Raya udah bilang lagi nggak enak badan. Udah, sama Igo aja di sini. Igo juga agak lama nunggu Ayah, biar hujannya reda dulu,” Igo menahan tasku supaya aku tidak kabur.
“Yee, trus kalo Igo udah dijemput, Raya tetep aja pulang sendiri kan. Malah tambah gelap jalanannya. Ini aja udah jam 4,” kataku sambil tertawa, senang juga ada orang yang ingin aku menungguinya.
“Igoooo, kan Reni mau cerita sama Igo bentar. Igo udah dijemput belum?” Reni, teman segengnya mendekat, lalu menyambung,”Maaf ya Ray, Igo-nya Reni pinjem bentar. Hehehe. Penting nih.”
“Oh, silakan aja. Raya juga uda mau pulang kok. Bye Igo, bye Reni,” ucapku cepat sambil membungkuk berpamitan pada mereka, lalu segera membalikkan badan dan berjalan menuruni tangga. Aku menunduk menuruni tangga tanpa melihat ke belakang, aku merasa Igo masih memandangi punggungku walaupun Reni mulai bercerita dengan suaranya yang ramai. Mitha dan Amy juga menimbrung bercerita, ramai sekali sepertinya mereka. Sampai depan pintu gedung, aku menghela napas panjang saat melihat jalanan sudah tidak terlihat jelas karena derasnya hujan. Aku ragu-ragu, hampir kuputuskan untuk menunggu di bangku depan gedung ketika samar-samar kudengar suara orang memanggilku.
“Rayaaaaaa….!”
Tanpa perlu menoleh pun aku tahu itu suara Igo, maka tanpa ragu-ragu langsung kulangkahkan kakiku menembus hujan deras seolah tak mendengar panggilannya. Memang, saat aku memasuki hujan itu suaranya berkurang dan menjadi sangat perlahan nyaris tak terdengar. Hujan deras itu berubah menjadi badai, segera setelah aku berjalan menembusnya, seolah tak rela ada manusia yang nekat menembusnya. Tak apa, aku justru bersyukur karena badai itu menyembunyikan air mataku yang mulai mengalir semakin deras tanpa mampu kutahan lagi. Aku merasa sangat bersalah pada Igo, yang aku tahu pasti berlari turun dari lantai 2 kampus untuk mengejarku. Tapi bukankah masih ada Mitha, Amy, Ega, dan Azar yang biasa bersamanya?
Saat berjalan di halaman kosku, teman kos depan kamarku, Sarah, yang sedang keluar dari kamarnya terkejut melihatku yang seperti anak ayam kehujanan.
“Astaga Raya, kenapa ujan-ujanan? Payung kamu mana?”
“Ketinggalan di kamar, Sar. Hehehe. Udah lama nggak main ujan-ujanan juga, jadi kangen,” cengirku garing campur menggigil.
“Gila ya kamu, itu namanya main badai-badaian, bukan ujan-ujanan lagi. Ya ampuuun, kamu basah banget gitu. Cepetan gih mandi,” kata Sarah, dia langsung menyeretku, membuka dengan cepat kunci kamarku yang baru kumasukkan ke lubang dan masuk. Tak lama dia keluar dari kamar membawa baju bersih untukku.
“Ini baju kamu, cepetan mandi, keramas jangan lupa. Liat tuh, badan kamu udah menggigil gitu.”
“Iyaaa, bawel banget sih emak kos yang satu ini,” kataku geli sambil memeluknya.
“Kyaaaa, aku jadi basah tauuuu..!! Rayaaaaaaa….!!!” amuknya. Aku langsung masuk ke kamar mandi sebelah kamarku untuk menghindari amukannya. Sambil tertawa terbahak-bahak aku mendengar dia mencak-mencak di depan kamar mandi. Segera aku menyelesaikan mandiku, dan menemukan mug yang tak kukenal berisi teh panas di atas meja kamarku, dengan secarik pesan bertuliskan “Heh kamu tukang bikin basah, ntar balikinnya bersih ya. Awas kalo nggak!” Aku tertawa, lalu berteriak dari dalam kamar, “Saraaaah, makasih mug-nya yaaa…! Bagus loh, kamu tau aja aku suka mug lucu kaya gini.”
“Rayaaaaaa, itu bukan buat kamuuuu…!!! Awas yaa, kamu nambah-nambahin cucianku. Padahal baju ini baru aja aku pake. Aaaaaaaaaaa…!!!” jeritnya mengalahkan deru hujan badai yang masih menyiram kota perantauan kami. Aku tertawa terbahak-bahak dari kamarku, lucu sekali gadis ini. Tangan kananku meraih mug dan merasakan hangatnya di antara kedua tanganku. Aku baru mengangkat mug ke bibirku ketika mataku melihat saku tasku menyala. Astaga, HP-ku masih di dalam tas! Pasti Umma yang mengirim SMS, menanyakan aku sudah di kos atau belum. Kusambar tasku dan membuka resleting sambil meminum teh hangat  yang sedari tadi belum aku minum. Hah, 5 pesan, 7 panggilan tak terjawab? Siapa ini? Ah, paling pacarku, Umma, dan Appa yang mengirim SMS dan menelepon karena tak segera kubalas.
Kubuka dulu panggilan tak terjawab. ‘Igorius  (7)’ tertera di layar. Aku ternganga, tak sadar kuletakkan mug yang kupegang. Igo? Tumben sekali anak ini telepon (atau missed call, aku tak tahu dia bermaksud yang mana). Saat kubuka SMS, 3 dari Igo, 1 dari Biyan (pacarku) dan 1 dari Umma (seperti biasa). SMS dari Igo bernada sama, seperti bingung dan bersalah.
‘Raya, kamu udah pulang?
Tunggu Igo bentar ya’
‘Ray, kok kamu nembus ujan gitu?
Ntar sakit loh, balik cepetan Ray’
‘Ray, uda nyampe kos kan?
Jawab dong Ray, biar Igo tau Raya baik2 aja’
Aku bersandar pada dipanku, perasaan bersalah menerpaku begitu kuat, tapi juga bercampur dengan kepedihanku karena sempat ditinggalkan. Hampir kuketikkan penyesalanku, ketika logika dan gengsiku datang. Kuketikkan balasan untuk Igo dengan cepat di antara air mata yang membuatku nyaris tak bisa membaca apa yang kuketik.
‘Igo, maaf yaa
Raya baru mandi, ini uda di kos kok
Igo uda dijemput Ayah apa masih di kampus?’
Ingatanku melayang kembali ke saat pertama aku mengenal Igo. Saat itu aku bermaksud menjauh dari Ega, teman kampusku yang lain agar kami tak terkena gosip dan direpotkan oleh gosip itu, dan menitipkannya kepada Igo yang akhir-akhir itu dekat dengan Ega. Aku menitipkan Ega agar Igo yang merawatnya dan terus ada di sampingnya karena Ega sedang sakit saat itu. Jahat ya aku? Hahahaha. Sejak SMS-ku pada Igo, kami semakin dekat dan sering sharing banyak hal. Igo yang terlihat pendiam ternyata sangat terbuka, suka bercerita banyak hal, dan sedikit berjiwa psikopat (dari omongannya yang kadang mengerikan) hanya untuk membuatku kesal, mulai sering terlihat di sampingku (walau lebih sering aku yang mendekat) dan sering tertera namanya di layar HP-ku karena SMS-SMS kami. Tapi aku tetap saja masih tidak bisa berbaur dengan gengnya, karena aku merasa tak mungkin bisa masuk ke dalam ikatan yang sudah terjalin kuat itu. Apalagi ada Ega, yang sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena sempat menyukainya (oke, aku akui itu. Bahkan Biyan pun sudah tau, jadi tak usah menganggapku macam-macam) tapi meninggalkannya (walau secara teknis dia yang meninggalkanku karena lebih sering bersama anak-anak yang sekarang menjadi gengnya). Aku ingat Igo yang saat itu menanyakan namaku, Aurez Raya Talitha, saat kami sedang duduk di kampus selesai kuliah pagi itu, ketika aku sedang merasa pusing karena materi yang rumit dan bersandar di bahunya.
“Ray, nama kamu artinya apaan sih? Kok susah banget kayaknya.”
“Aurez itu angin sepoi-sepoi, Raya ya Raya, Talitha itu anak kecil. Soalnya Raya kan paling kecil di rumah, jadi dianggep anak kecil yang terakhir gitu. Kalo arti nama kamu apaan Go?”
“Hah, angin sepoi? Kamu sih badai tau. Hehehehe… Igorius ya Igorius, Igo juga nggak tau artinya kok. Hehehe.. Vala itu terpilih, kalo Damarys itu lembut,” jawabnya sambil tersenyum-senyum.
“Berarti ibu Igo pengen anak laki-lakinya jadi laki-laki yang lembut sama perempuan ya. Makanya Igo dikasih nama itu,” kataku sambil tersenyum, yang kemudian memudar melihat wajahnya yang sedikit berubah. “Kenapa Go? Kok wajahnya Igo berubah? Penafsiran Raya salah ya?” tanyaku polos.
“Igo juga nggak tau bener apa salahnya kok. Igo cuma agak.. yaaah, terharu sama penafsiran Raya,” jawabnya sambil tersenyum, tapi matanya yang menyiratkan kesedihan tak luput dari pengamatanku.
“Igo kenapa sih? Coba aja Tanya deh sama Ibu, sama Ayah juga. Bener nggak penafsiran Raya. Kalo bener kan lumayan, ntar Raya mau buka klinik ramal. Hehehe..” kataku.
“Igo kan udah nggak bisa nanya ke Ibu lagi, Ray. Masa Igo harus ke Bukit Bintang dulu biar bisa ketemu Ibu?” kata-katanya mengejutkanku bagaikan tamparan.
“Emmm.. Maaf Go, maafin Raya. Raya nggak tau kalo…” kataku sambil menunduk tanpa berani melihat wajahnya. Igo menepuk pipiku pelan, lalu berjongkok di hadapanku sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa Raya. Igo tau kok Raya nggak sengaja. Kapan-kapan mau nggak nemenin Igo ke Bukit Bintang?”
“Iya, Raya pasti mau kok nemenin Igo. Igo jangan sedih lagi ya. Keliatan dari mata Igo tuh,” kataku sambil menatap matanya.
“Eh, keliatan ya? Hehehe, iya deh. Oh iya, Igo panggil kamu Tara aja ya, singkatan dari Taracand. Hohohoho…”
“Taracand apaan Go?” tanyaku bingung.
“Artinya pembuat hujan. Abis Raya kan kalo lagi sedih pasti turun ujan. Hahahaha…” tawanya puas. Aku tertawa sambil menonjoknya pelan.
“Kalo gitu Raya panggil kamu Igocataal.”
“Apaan tuh?”
“Artinya phoenix master. Igo kan suka baca Harry Potter, lagian kan ada namanya Igo. Hahahahaha…” aku tertawa senang karena bisa membalasnya.
“Hah??!! Nggak mau! Lainnya kek, yang bagusan dikit,” ujarnya bersungut-sungut.
“Kalo gitu aku panggil Rayne aja. Soalnya Igo kayak konselor, suka dengerin curhatan orang. Hehehehe..” kataku cepat sambil masih tertawa.
“Rayne? Bagus juga. Raya aku panggil Kisa yaa. Kan Raya suka kucing,” cengirnya polos.
“Kisa? Boleh deh Go,” aku mengiyakan setelah berpikir-pikir sejenak.
“Tapi jangan bilang ke anak-anak ya. Ini cuma buat kita Ray, eh, Kisa,” katanya sambil memandangku.
“Eh? Iya deh Igocataal. Hehehehe…” kataku sambil nyengir nakal untuk menutupi rasa maluku. Igo yang melihat cengiranku gemas mencubitku, dan teriakanku sukses membuat anak-anak lain di sekitarku kebingungan memandangiku dan Igo, yang kemudian tertawa melihatku meringis kesakitan. Kenangan yang indah, amat indah untukku yang tak pernah mendapat teman seperti Igo yang amat baik dan mau meluangkan waktunya untuk menenangkanku dan mengalihkan pikiranku dari hal-hal lain yang membuatku kesal.
“Maaf Igo, maaf. Raya sama sekali nggak punya maksud bikin Igo bingung. Raya cuma pengen nenangin hati Raya dulu, Raya nggak mau kamu liat Raya nangis karena ngerasa ditinggal. Emang Raya egois, cuma mau Igo ngomong sama Raya, nggak pergi pas Raya lagi ngomong. Tapi lebih baik Igo nggak tau. Raya nggak bakal bilang kok ke Igo,” isakku di dalam kamar, badai yang sempat mereda kembali terdengar mengganas di luar. Bagus, dengan begini teman-teman kosku tak akan ada yang bisa mendengarku. Aku terus terisak sampai aku kelelahan dan tertidur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

6 komentar:

Putu Tessa mengatakan...

saya kira saya mengenal tokoh-tokoh di cerbung ini.... hemmmm ^^
smgt ya' bgus critanya.. wlopun blum kliatan jelas konfliknya, tapi rsanya kya udh bca dari dlu.. lgsg nyatu aj gtu sma critanya.. klo udh ad smbungannya ksii tanda ya... dtunggu... ^^

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

hahahaha, emang sengaja karakter tokoh-tokohnya aku ambil dari temen2 kita sendiri tess
cuma ceritanya aja aku tambah2in
hahahaha
insya Allah kalo ada lanjutannya aku kabarin deh :)

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

sekedar pemberitahuan bagi para pembaca
nama2 yang ada artinya dalam cerita ini saya ambil dari sini--->
http://www.alfflove.com/alff-fairy-and-elf-names.html

Unknown mengatakan...

kelihatan banget ceritanya disadur dari cerita nyata dan pengalaman pribadi (kalau g salah prediksiku)...
cuma ini masih terlihat dalam bahasa curhat,,, tapi KEREENNNN,,,,,,,

jangan lupa juga kunjungi www.thedd-goglaq.blogspot.com,,, walaupun gak ada yang seru tapi cukuplah unutk mempererat silaturrahmi...

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

hohoho
emang sih, namanya juga baru belajar pasti nyari cerita yang bener2 gampang dan bisa bikin orang ngerti rasanya din
iyaa,insya Allah gantian aku mampir :)

oiaa,buat sekedar pemberitahuan untuk seluruh pembaca (lagi)
karakter tokoh di sini memang ngambil karakter temen2 saya
jadi kalo ada yang nebak2 siapa igo,raya,ega,reni,dll saya ga bisa bilang itu bener apa ga karena ini bukan curcol, cuma pinjem karakter :D
terima kasih perhatiannya :)

deleted mengatakan...

two thumbs up. bagus. meskipun keliatan curcolnya. ahha

Posting Komentar