Jujur, aku tak sanggup
Aku tak bisa
Aku tak mampu dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati
Tak mungkin dapat kudustai
Meskipun harus tertatih (Kerispatih – Tertatih)
Aku termenung menatap kosong layar laptop di hadapanku sambil mendengarkan lagu dari playlist Winamp-ku. Aku teringat padanya, seseorang yang amat kucinta, tapi tak mampu kuraih. Ironis memang, di luar sana banyak pria yang mengejar-ngejar dan siap menemaniku tapi tak pernah kutanggapi karena hatiku hanya tertuju padanya. Tapi pria yang kunanti justru mencintai gadis lain, temannya di kota perantauannya. Kuakui aku kalah dalam berbagai hal dibanding gadis itu. Jarak yang amat dekat dan memungkinkan setiap pertemuan (apalagi mereka satu kelas dan satu organisasi), kecerdasan, kepintaran bergaul, kemampuan berorganisasi, kedewasaan (tentu saja, mereka berdua kan lebih tua dariku), dan entah apa lagi yang tak kupunya. Aku sendiri tak tahu kekuranganku dari gadis itu karena aku tak pernah mengenalnya secara pribadi, hanya dari cerita laki-laki ini. Aku telah merelakan hampir segalanya, berubah nyaris 180 derajat karena laki-laki yang menurut banyak orang tak patut mendapat cintaku. Tetapi yang kutahu, setelah hampir 9 bulan kedekatan kami, senyum, canda, dan pengertiannya telah sirna kini.
PLING! Suara pesan masuk dari Yahoo Messenger-ku membuyarkan lamunanku.
<esa> : OL pake cam ga?
Ah, pesan yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Kuketikkan jawabanku malas-malasan.
<rere> : Iya, kenapa?
Pertanyaan retoris, tentu saja dia hanya ingin ‘hal itu’, dasar pria brengsek.
PLING!
<esa> : Sepi ga? Bisa buka?
Aku tersenyum sinis. Masih berani kau minta padaku? Padaku yang telah kau manfaatkan dan kau sakiti seenaknya?
<rere> : Maaf, aku lagi ga mood
Besok2 ajalah :)
Cih, kenapa aku masih saja sabar padanya? Masih saja tak berani tegas dengannya, terlihat dari emoticon yang kuketikkan.
PLING!
<esa> : Ya udah kalo gitu, camnya nyalain dulu dong
Paling ga aku bisa liat kamu
Aku nyaris muntah karena pening membaca chat darinya. Aku menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Kulirik kaca di meja belajarku dan menghapus bekas-bekas air mata di wajahku serta merapikan diri sebelum mengaktifkan webcam. Aku tak mau terlihat seperti orang yang kalah di cam.
<rere> : Oke, udah nyala
Tak lama kemudian wajahnya muncul di layar laptop. Tetap sama seperti biasa, wajah yang tak tampan (aku pertama menyukainya karena suaranya yang bagus), tapi terlihat sedikit garis kekecewaan di matanya.
PLING!
<esa> : Bener2 ga bisa cam?
<rere> : Iya, lagi rame rumahku, ortuku bolak-balik main ke kamarku
<esa> : Masuk kamar aja dong, kunci pintunya
<rere> : Kunci pintuku lagi rusak, ga bisa dikunci
Aku membuat wajahku terlihat datar. Biar saja dia ‘belingsatan’ sendiri.
PLING!
Tetapi sejujurnya aku tak terlalu menyesal berbohong padanya. Bukan, aku SAMA SEKALI tidak menyesal berbohong padanya. Apa salahnya berbohong demi kebaikan? Dia terus mengajakku chatting dan webcam melalui YM, memaksaku menontonnya melakukan hal aneh dan menjijikkan itu. Toh aku tak pernah benar-benar menontonnya, aku me-minimize webcam window dan menonton film atau online facebook tanpa melihatnya. Hahaha, aku penipu ulung kan? Aku bersyukur mataku masih cukup bagus sampai saat ini, tak perlulah kurusak dengan menontonnya beronani. Dasar laki-laki brengsek bangsat mata keranjang.
3 komentar:
ceritanya mirip banget sama aku, cuma agak beda dikit..........
apa iya??
hehehe, maap yaa
bukan cerita kamu kok yg jelas :)
tokohnya disamarkan
hehehe
iya gapapa kok hehehe :)
Posting Komentar