Janji Sang Pendongeng


“HOY!” Aku tersentak dari novel yang sedang kubaca sedari tadi, teriakan yang tak begitu keras namun efektif karena tepat di telingaku membuatku terlempar dari dunia yang sedang kujelajahi. Si pengganggu tertawa melihat ekspresi campur aduk yang terlihat di wajahku, antara terkejut, bingung, dan kesal karena diganggu.

“Apaan sih, Go. Ganggu aja orang lagi asyik,” sungutku kesal, kali ini kekesalanku lebih kepada diriku sendiri yang tak bisa marah padanya. Siapa yang bisa marah melihat mata yang lebar-usil-tapi-jenaka-dan-polos?
“Lagian dari tadi serius banget, diem aja sambil melototin novel. Igo manggil dari tadi tau! Kayak lagi trance aja, badan di sini tapi pikiran nggak tau di mana,” katanya sambil tertawa.
Aku mendesah kesal.“Raya lagi jalan-jalan tau, ngikutin tokoh di novel ini. Lagi seru-serunya, malah Igo kagetin. Buyar deh konsentrasi Raya. Ada apa manggil-manggil?”
“Nggak apa-apa, cuma iseng aja manggilin Raya biar ga serius-serius banget. Eh, malah nggak dengerin,” ujarnya enteng.
“Cuma iseng? Astagaaa, berarti Raya ketipu ya sama Igo. Jahat…” Kataku bertambah sebal. Hilang sudah minatku membaca di ruang kelas di waktu istirahat pagi ini.
Igo tertawa lagi, lalu berkata,”Nggaklah, Ray. Mana mungkin Igo berani ganggu Raya kalo lagi serius baca. Igo cuma mau nawarin minum, mau nggak? Mumpung lagi baik nih.”
“Eh? Boleh boleh. Kenapa nggak bilang dari tadi?” Ekspresi kesalku seketika berganti dengan ekspresi senang sekaligus memohon dari seekor kucing yang ditawari ikan oleh majikannya. Igo menyodorkan segelas jus jambu dingin favoritku, sementara tangan kirinya memegang gelas plastik lain yang berisi jus tomat. Segera kusambut gelas yang diulurkannya sambil tersenyum (sok) manis dan mengucapkan terima kasih.
“Coba Igo nggak lagi bawa ini, pasti Raya bakal cemberut dan ngambek terus sampai pulang nanti deh. Dasar Raya,” kata Igo sambil memandangku yang sedang meminum jusku, setengah gemas, setengah geli karena melihat tingkahku yang seperti anak kecil diberi lolipop. Aku menutup buku yang tadi kubaca dan menaruhnya di tempat yang aman dari jangkauan air yang menetes dari gelas plastikku. Dari sudut mataku kulihat Igo masih memandangi gerak-gerikku. Aku menolehkan wajahku dengan tiba-tiba dan menatap langsung ke matanya untuk menyadarkan Igo. Anak yang satu ini memiliki kebiasaan aneh, dia sering iseng memandangi orang-orang di sekitarnya, tapi tanpa dia sadari pandangannya itu berubah menjadi lamunan. Bahkan dia tak menyadari orang yang dipandanginya juga balik memandangnya.
Benar saja, dia baru tersadar saat merasa dipandangi juga, dan menyadari mataku beradu pandang dengannya. Aku tertawa melihatnya gugup dan tersipu-sipu mengalihkan perhatiannya ke gelas jus tomat yang sudah bertambah encer. Hahaha, berhasil juga aku membalasnya, merusak lamunannya.
“Ngeliatin Raya kok sampai segitunya sih, Go? Awas tuh, ntar naksir. Hahahaha…”
“Siapa juga yang ngeliatin Raya, Igo kan ngeliatin bukunya. Pengen pinjem bentar, baca sinopsisnya.” Igo ‘ngeles’ dan mengulurkan tangannya meminta buku itu.
“Ngeliatin buku apanya, mata Igo itu ke Raya, walaupun terus ngelamun. Bukunya kan Raya taruh di meja samping ini. Weee…” Aku menjulurkan lidah dan tertawa lagi.
“Ih, Raya nih. Siniin bukunya, pinjem bentar,” pintanya sambil cemberut.
“Iya iya.” Kutaruh buku tersebut di tangannya. Buku setebal 379 halaman, ber-cover hitam dengan tulisan putih tercetak timbul “5cm” dan beberapa kata abu-abu yang juga timbul sebagai background-nya. Igo melihat-lihat cover depan, lalu membaca sinopsis yang tertera di cover belakang.
“Novel apaan sih ini? Kok kayaknya nggak menarik banget covernya? Ini beneran tebelnya 5 senti?” tanyanya beruntun.
“5cm, itu novel yang Raya beli sebagai kado buat diri sendiri pas ultah kemarin. Dulu Raya juga mikir kayak Igo, buku yang covernya nggak menarik, bikin males baca. Tapi Raya inget, ‘Don’t judge a book by the cover’. Awal tau itu dipinjemin sama kakak angkat Raya, tapi nggak dibaca. Pas lagi iseng nggak ada kerjaan terus Raya baca deh. Dan ternyata keren banget, Go. Read it and you’ll know what I mean. Ini langsung masuk ke daftar buku-wajib-baca Raya. Karena wajib baca, tentu aja Raya lebih suka punya sendiri daripada pinjem. Bisa dibaca kapan aja Raya mau.”
“Berarti ini udah sering Raya baca dong?”
“Iya, tapi nggak bosen-bosen bacanya. Terutama kalo Raya lagi down dan butuh suntikan semangat, buku ini super mujarab. Igo mau pinjem?”
“Kayaknya nggak deh. Ketebelan, Ray, Igo lagi males baca novel. Hehehehe…” Cengirannya mampu membuatku melayangkan cold-stare ku yang terkenal.
”Coba aja baca dulu, Go. Nggak nyesel deh. Donny Dirgantara ini jadi pengarang favorit Raya lho,” kataku mencoba berpromosi.
“Maleeeesss… Ceritain aja dong, gimana ceritanya?” Sial, anak ini melancarkan jurus puppy-eyes miliknya yang tak pernah bisa kuacuhkan. Aku menghela napas panjang.
“Iya deh, Raya ceritain. Kapan nih mau diceritain?”
“Sekarang aja, mumpung Igo belum dijemput. Sekalian nemenin Igo. Hehehe…”
“Jadi ceritanya ada lima orang, 4 cowo 1 cewe yang sahabatan. Mereka itu bla bla bla…” Aku mulai me-review novel tersebut. Igo mendengarkanku dengan penuh perhatian, sekali-sekali dia bertanya atau nyeletuk hal yang tak penting. Demikian terus berlanjut hingga akhirnya ayahnya datang menjemputnya, dan aku berjalan kaki pulang ke kos.
10 menit setelah aku sampai di kamarku, HP-ku bergetar tanda pesan masuk. Nama Igo tertera di layar. Kubuka pesannya sambil menyelonjorkan kakiku yang pegal di atas tempat tidurku.
From: Igorius
Raya, makasi yaa udah didongengin tadi
Uda nyampe kos kan?
Aku tersenyum membaca pesan itu, lalu mengetikkan balasannya.
To: Igorius
Iyaa, sama2 :)
Udah nyampe kok dari tadi
Semenit kemudian HP-ku kembali bergetar.
From: Igorius
Igo ada novel, pinjem temen dulu
Immortal series gitu
Mataku seketika bersinar, seperti biasanya saat aku mendengar ada buku bagus.
To: Igorius
Mauuuu,
pinjem dong Go
Aku meninggalkan HP-ku di tempat tidur beberapa menit untuk mandi. Saat aku selesai dan masuk ke kamar lagi, kuraih HP. Pesan dari Igo segera kubuka.
From: Igorius
Iya, ntar Igo pinjemin
Tapi janji ya ntar Raya ceritain lagi isinya kayak tadi
Seketika senyum senang terlukis di wajahku. Dengan riang aku mengetikkan balasan.
To: Igorius
Iyaa, janji ^^
Keesokan paginya, aku memasuki ruang kelas dengan sedikit tergesa-gesa karena jam di pergelangan tanganku menunjukkan bahwa aku sudah terlambat 5 menit. Ternyata dosenku belum masuk, teman-temanku pun sedang asyik mengobrol, ramai sekali suasana pagi itu. Aku bergegas duduk, mengatur napasku yang sedikit terengah-engah, lalu mengambil HP dari dalam saku tasku. Betapa herannya aku saat di layar tertera nama Igo.
From: Igorius
Buru2 amat jalannya
Awas, ntar kesandung!
Hehehehehe
Ini bukunya udah aku bawa
Kuedarkan mataku mencari sosok tinggi kurus berkacamata di dalam kelas. Itu dia, sedang asyik mengobrol dengan Adri. Aku mendekati mereka dan menadahkan tanganku sambil tersenyum polos.
“Mana, Go?”
Igo membalas senyumku dan meraih tasnya. Sementara Adri memandangku dengan sedikit tatapan heran (atau jijik?) karena melihat ke(sok)polosanku.
“Nih, Ray. Ntar kalo udahan cerita ya. Hehehe…”
“Eh, buku apaan tuh?” Adri dengan cekatan merebut buku yang sudah berada di tanganku dan melihat sinopsisnya. Aku yang merasa hartaku direbut langsung berubah ekspresi, dari senyum sumringah menjadi pelototan sadis dan bibir merengut.
“Adri, siniin bukunya! Kan aku yang pinjem duluan,” kataku sambil menyambar buku tersebut dengan cepat. Adri gagal mempertahankan buku di tangannya, dan kini buku tersebut kembali ke tanganku. Aku berkelit dari sambaran Adri, lalu berlari kabur sambil meneriakkan ucapan terima kasih pada Igo. Adri segera mengejarku, tapi sebelum dia mencapai tempat dudukku, dosenku memasuki ruangan. Seketika Adri berbalik dan bergegas menuju kursinya. Kembali kuatur napasku dan mengelap keringat di dahiku akibat hawa panas serta pelarianku dari Adri.
Beruntunglah aku karena dosen mata kuliah berikutnya tidak dapat hadir. Aku melarikan diri pulang ke kos, tanpa pamit pada Igo karena kulihat dia sedang berjalan bersama teman gengnya. Aku ingin segera sampai di kamar kosku dan berlindung dari sinar matahari yang menyengat bumi siang ini. Tentu saja sambil membaca novel pinjaman dari Igo yang tersimpan aman di ranselku, tak ada salahnya juga kalau mampir ke warung jus dekat kos nih, pikirku.
Sesampainya di kamar, aku segera mempersiapkan segala ‘perlengkapan’ untuk membaca dengan nyaman dan tenang. Teman-teman kos belum pulang, jadi aku bisa membaca sambil membuka pintu kamar lebar-lebar tanpa terganggu. Jus jambu dingin dan cemilan yang baru kubeli kutaruh di lantai dekat tempat tidur, agar dapat kuraih dengan mudah dari atas tempat tidur tempatku membaca sambil meringkuk nyaman. Ini baru namanya surga!
Aku tenggelam dalam keasyikanku membaca, tak lagi kulihat dinding-dinding hijau kamar. Sebagai gantinya aku berpetualang bersama seorang gadis dan pacarnya yang tampan dan immortal alias tak bisa mati. Sesekali petualanganku buyar karena Sarah, Intan, dan beberapa teman kosku yang lain pulang dan melewati kamarku dalam perjalanan mereka menuju kamar mandi. Tapi inilah kehebatanku, walau banyak interupsi yang mengganggu, hanya dalam waktu 3 jam novel itu selesai juga. Aku menutup novel dengan perasaan penasaran dengan seri keduanya. Kuraih HP di kaki tempat tidur, lalu mengirimkan SMS untuk Igo.
To: Igorius
Udah kelaaarr!
Hahaha, leganyaaa :D
Keren Go, besok bawain lagi seri 2 nya yaaa
Aku beristirahat sejenak, menghabiskan jusku sambil menyalakan rice cooker untuk memanaskan nasiku tadi pagi. Saat aku sedang memasang gas pada kompor gas portabelku, HP-ku terdengar berbunyi lagi.
From: Igorius
Astaga, cepet amat sih bacanya
Iyaa, besok aku bawa
Jangan lupa cerita lho!
Aku dan Igo masih saling mengirim SMS untuk beberapa lama, lalu dia tak membalas lagi. Kuasumsikan teman-teman gengnya sudah datang ke tempat mereka biasa berkumpul dan sedang mulai belajar. Agak sedih memang ditinggal sendiri lagi, tapi biarlah. Kubaca ulang novel tersebut agar aku semakin lancar bercerita pada Igo besok pagi.
Pagi tiba, seperti biasa aku berjalan santai menuju kampus karena jam tanganku menunjukkan aku masih punya 20 menit sebelum masuk. Saat memasuki ruang kelas, mataku mencari-cari Igo. Kulihat dia duduk di barisan terdepan, lalu kudekati dia.
“Nih, Go, makasih ya. Ceritanya lumayan kok. Mau diceritain sekarang apa ntar nih?”
“Ntar aja, Ray, biar lebih nyante dengernya. Oh ya, ini seri keduanya.” Dia menyodorkan novel lagi padaku. Aku tersenyum senang, lalu bergegas kembali ke kursiku untuk mulai membaca, yang terhenti 10 menit kemudian karena dosenku datang. Setelah 90 menit yang menyebalkan (mata dan tanganku belajar, pikiranku terus melayang ke novel di tasku), akhirnya dosen tersebut keluar juga. Aku segera keluar dan duduk di bangku di luar kelas sambil menunggu Igo. Tak lama Igo keluar dari kelas sambil mengobrol dengan Adri. Kembar yang satu ini tumben sekali akur akhir-akhir ini. Mata Igo terhenti padaku, lalu meninggalkan Adri dan mendekatiku.
“Yuk jalan keluar, Igo tadi minta dijemput setengah jam lagi. Cukup kan buat cerita?”
“Cukup, cukup. Yuk.” Aku berdiri dan berjalan bersamanya ke gerbang kampus tempat Igo biasa menunggu jemputan di bawah pohon. Aku menceritakan semua yang telah aku baca kemarin, sementara dia mendengarkan dengan serius. Sesekali dia menengok ke jalan untuk mengecek kedatangan ayahnya. Setelah ayahnya sampai, dia melambaikan tangannya padaku dan aku berjalan pulang ke kos. Kegiatan kemarin terulang lagi, hanya dalam waktu 2,5 jam aku selesai membaca.
Kegiatan pagi berikutnya pun sama. Selesai kuliah, aku menceritakan bacaanku pada Igo. Igo terlihat begitu serius, tenang saat mendengarkan. Tak jarang Igo menanyakan bagian-bagian cerita yang bolong karena lupa kuceritakan. Setelah novel immortal series  yang dipinjamkannya selesai kuceritakan seluruhnya, dia mulai sering mengobrol mengenai banyak buku lain denganku. Aku yang senang membaca novel tentu saja bersemangat untuk bercerita. Igo semakin sering memintaku menceritakan novel-novel yang pernah kubaca. Aku tak pernah keberatan, bahkan aku dengan senang hati menceritakan novel-novel yang kumiliki setiap aku sedang bersamanya di kelas atau di bawah pohon sambil menemaninya menunggu jemputan.
Suatu hari, saat dosen salah satu mata kuliah berhalangan hadir dan kami masih bertahan di kelas untuk menghindarkan diri dari panas, aku dan Igo mengobrol tentang sedikit kehidupan Igo.
“Igo kenapa nggak baca sendiri sih? Kayaknya sekarang sejak tau Raya suka baca, Igo jadi lebih suka diceritain,” kataku setengah meledeknya.
“Hehehe, enakan diceritain Ray. Nggak usah repot-repot baca, tinggal dengerin aja. Raya udah bosen ngedongengin Igo ya?” tanyanya.
“Nggak kok. Malah sekarang Raya kecanduan cerita. Sekarang di kos Raya juga diminta ngedongengin Nurul. Wajar kok, emang enak didongengin itu. Sejak Raya kecil, Umma sama Nenek suka bacain cerita sebelum tidur. Sayang sekarang Umma sibuk, jadi udah jarang cerita sama Raya lagi,” kataku.
“Tapi umma Raya masih cerita kan, walau Raya udah gede?” tanya Igo.
“Iya. Kalo sekarang sih lebih ke cerita kegiatan sehari-hari, curhat gitu deh. Itu juga kalo Umma nggak ketiduran duluan. Setelah Raya kuliah, kalo lagi pulang Raya cerita ke Umma kegiatan Raya di sini.”
“Enak ya masih ada yang nyeritain,” gumam Igo perlahan. Sekilas kutangkap nada iri dan sinar sedih dalam matanya.
“Eh, kok gitu? Emang kenapa, Go?” tanyaku.
“Igo suka iri sama temen-temen yang bisa cerita-cerita ke ortunya. Igo mana bisa? Kan Ayah sibuk terus.”
“Lho, ibu Igo?”
Igo tersenyum sedih. “Coba Raya buka blog Igo deh. Baca blogpost yang Dongeng.”
Aku menurutinya, kuakses blognya melalui HP-ku. Sejenak percakapan kami terhenti, aku serius membaca blogpost-nya, sementara dia mengobrol dengan teman lain. Aku membaca ‘jiwa’ Igo, cerita mengenai pendongeng terhebat baginya, ibunya. Tanpa sadar air mataku mulai menetes, aku terhanyut dalam ceritanya yang kutahu pasti memang terjadi.
“Ray, kok nangis? Kenapa Ray?” Suara panik Igo menyadarkanku, aku menunduk dan berusaha menghapus air mata di pipiku dengan tangan. Igo memegang kedua pipiku dan menghadapkan wajahku ke arahnya, kemudian menghapus air mata yang masih membanjir.
“Nggak apa-apa, Go. Raya baru selesai baca blogpost-nya,” kataku sedikit tersendat, berusaha tersenyum sambil mengeringkan pipiku. Aku baru sadar kalau Ega dan Adri yang tadi mengobrol dengan Igo sudah menghilang.
“Maaf ya Go, Raya nggak tau tentang ini. Maaf banget udah nyinggung Igo.”
“Nggak tersinggung kok. Kan Raya emang nggak tau. Udah, jangan nangis lagi,” kata Igo sambil menepuk bahuku.
“Emmm… Igo lagi kangen Ibu?” tanyaku hati-hati.
“Kangen sih setiap hari, Ray. Sampai udah terbiasa. Hehehe… Tenang aja, Igo kan kuat,” jawabnya sambil cengengesan. Kulihat ada sinar lain di matanya, sepercik kesedihan yang dibalut ketabahan. Aku merasa semakin bersalah karena menanyakan hal yang menurutku tak berhak kutanyakan.
“Igo masih suka didongengin kan sampai sekarang?”
“Tentu aja, kan Igo punya Raya yang mau ngedongengin,” jawabnya tersenyum.
“Kalo Igo ngizinin, Raya pengen jadi pendongeng buat Igo. Raya tau, Raya pasti nggak bisa sama dengan pendongeng terhebat Igo. Raya tau, bukan cuma Raya yang pernah ngedongeng buat Igo, dan Raya bukan pendongeng terbaik. Tapi setidaknya Raya pengen jadi pendongeng yang cukup baik. Raya pengen jadi pembawa cerita-cerita yang indah itu untuk Igo.”
Kata-kata yang meluncur dari mulutku membuat Igo terdiam sejenak sambil menatapku tajam seakan hendak menembusku. Aku tertunduk, menyadari ucapanku sedikit ambigu. Tapi aku juga menyadari sepenuhnya, kata-kata itu meluncur keluar dari dalam hatiku, dan aku yakin dengan kata-kataku. Igo memecah kesunyian di antara kami.
“Raya… yakin?”
“Ya.” Jawabanku singkat namun menegaskan keyakinanku, aku menatap Igo tepat ke kedua bola matanya. Tampak Igo yang semula ragu-ragu kemudian tersenyum. Matanya bersinar terang, memancarkan kegembiraannya.
“Igo, inget ya. Kalo Igo ngerasa sedih, kesepian, butuh temen, Raya pasti ada di sini untuk Igo. Raya nggak pernah ke mana-mana kok, Go. Igo boleh ngelampiasin kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan Igo sama Raya. Raya pasti akan tetep dengerin Igo. Untuk Igo tau, Igo juga termasuk orang yang udah menggoreskan cerita-cerita indah tentang persahabatan, yang udah lama Raya coba jauhi. Raya pernah kehilangan sahabat Raya, dan Raya nggak mau kehilangan lagi untuk ke sekian kalinya.”
Aku menunduk lagi setelah mengucapkan janjiku. Igo menggandeng lenganku hangat.
“Makasih, Ray. Makasih banyak untuk persahabatan ini. Igo pasti akan selalu nyimpen nama Raya, sahabat pendongeng Igo.”
Sebuah cerita yang indah tentang persahabatan kini kembali tergores di catatan benakku, yang kusimpan rapi dalam satu ruang khusus bertuliskan nama sahabatku, Igorius Vala Damyris, dengan judul Janji Sang Pendongeng. Dan setelah hari terucapnya janji itu, aku menjadi pendongeng tetap bagi Igo pada waktu-waktu tertentu, saat kami bisa meluangkan waktu di antara tumpukan tugas untuk berbagi cerita dari berbagai buku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3 komentar:

ilcharama ilyas mengatakan...

flashback ke igo- raya
cara bercerita yang semakin baik,
bahasa yang kamu pake jadi tambah enak buat dicerna,
ada beberapa plot dari cerita ini yang bisa di eksplor buat jadi sub cerita sendiri kelak.

^_^

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

rencananya sih emang mau buat nerusin kisa-rayne
ini salah satu part-nya,
yang menceritakan kenangan persahabatan igo-raya

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar