Kisa-Rayne (Igo POV)

Pagi ini aku membuka mataku dan duduk di tempat tidur, mengernyit menahan pusing yang menderaku. Kenapa aku merasa ada yang kosong ya? Ah ya, aku baru ingat. Semalam Raya, teman baikku, meninggal dunia setelah koma selama lebih dari seminggu pasca kecelakaan. Semalaman pula aku menangisi kepergiannya. Raya sempat terbangun dari ‘tidur’nya untuk menyampaikan pesan dari ibuku yang katanya ditemuinya saat dia sedang koma. Bahkan sebelum akhirnya dia menghembuskan napas terakhirnya, dia berkata bahwa ibuku ada di sisiku dan memelukku.
Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka lemari bajuku. Aku sudah bercerita pada Ayah dan meminta izin untuk ikut ke kota asal Raya untuk menyaksikan pemakamannya sore ini bersama Ega, Rosalba, Flora, Vella, Dhilla, dan anak-anak yang semalam hadir. Aku memasukkan kemeja dan celana hitamku serta barang-barang yang akan kuperlukan selama di kota asal Raya ke dalam koper. Lalu aku bersiap-siap, mandi dan menunggu Ega menjemputku.
Aku duduk di ruang tamu, ingatanku melayang kembali ke detik-detik Raya menyampaikan pesan dan ‘pergi’. Haaahh… Raya, Raya, Raya. Kenapa kamu begitu cepat pergi, Ray? Aku belum sempat meminta maaf padamu, aku belum sempat bersikap baik kembali padanya, bahkan aku bertengkar dengan Ega di depan matanya. Aku pula yang menyebabkan dia berlari dari taman sampai akhirnya dia menyelamatkan dan menggantikanku dari kecelakaan itu. Seandainya saja tak ada Raya, aku pasti telah bergabung dengan Ibu dan meninggalkan Ayah sendiri di rumah. Aku membenamkan wajahku ke dalam kedua telapak tanganku, penyesalan bertubi-tubi menghantamku.
Tiba-tiba bahuku ditepuk, aku mengangkat wajah dan melihat Ayah berdiri di depanku. “Ayah? Sejak kapan di situ? Ngagetin Igo aja,” kataku berusaha terlihat biasa.
Ayahku tersenyum simpati dan berkata,”Kamu masih terpukul kehilangan Raya? Sabar Nak, ikhlasin aja sahabat kamu. Doain dia tenang di sana.”
“Raya sahabat Igo yang setia banget, Yah. Walaupun Igo sering nyuekin dia, sering bikin dia jengkel, dia selalu balik dan balik lagi ke sisi Igo, nemenin Igo. Ayah tau nggak? Sebelum kepergiannya, dia sempet bangun dari koma dan nyampein pesan dari Ibu. Katanya dia ketemu Ibu, trus Ibu minta dia nyeritain dongeng yang dulu nggak pernah selesai diceritain Ibu. Dia juga sempet pamit ke kami semua. Sebelum pergi, Raya bilang Ibu lagi meluk bahu Igo, Yah. Ibu dateng ngejemput Raya. Igo jadi kangen Ibu. Coba Igo bisa liat Ibu…”
“Hei, anak Ayah sedih? Ada foto Ibu gede di kamar Igo, lumayan kan puas-puasin cium kalo kangen Ibu,” kata Ayah sambil mengelus rambutku.
“Beda, Yah. Igo kangen Ibu, kangen pelukan Ibu, kangen saat-saat ditemenin tidur ama Ibu, kangen wangi tubuh Ibu,” ujarku menunduk lagi.
Ayah merangkul bahuku dan menyandarkan kepalaku ke bahunya. Kurasakan bahu yang tegap dan kokoh, bahu yang selama ini menanggung banyak kegetiran dan kepahitan hidup, yang kutahu sempat melemah saat harus kehilangan belahan hatinya.
”Go, bukan cuma Igo yang kangen sama Ibu. Ayah juga sering banget kangen sama Ibu. Kamu udah dewasa, Go, pasti udah bisa ngebayangin gimana rasanya patah hati karena ditinggal orang yang kamu cintai. Ayah dulu juga kayak Igo gini, sampe sering ngelamun kalo lagi sendirian. Sakit banget rasanya ditinggalin orang tercinta, yang selalu lembut dan setia mendampingi Ayah. Tapi Ayah harus bisa tahan, Go. Ibumu dulu memberi amanat sama Ayah untuk menjaga kamu dan kakak kamu. Ayah harus tetap tegar, tetap sehat dan kuat untuk melaksanakan amanat itu. Ayah harus hidup dan bertahan, demi kalian.”
Hatiku perih saat mendengar kepahitan dalam suara Ayah, yang tak pernah kudengar sejak 10 tahun yang lalu. Ayah yang kukenal selalu bersuara lembut, penuh kasih, dan tegar. Tak pernah kudengar kesedihan atau kemarahan dari mulutnya.
“Kamu sekarang udah dewasa, Go. Ayah yakin, walaupun sekarang kamu ngerasain hal yang sama, kamu juga bisa tetap kuat seperti Ayah. Jangan pernah nunjukin kesedihan kamu berlebihan di depan orang lain. Cukup kamu dan Tuhan aja yang tahu kesedihanmu. Kamu boleh nangis, kamu boleh meluapkan emosi kamu, tapi nggak di depan orang, agar kamu tetap terlihat sebagai orang yang tegar. Simpan Raya dalam hati kamu, ingat selalu nama orang yang udah sayang dan peduli sama kamu. Ayah berutang budi sama Raya karena udah nyelametin kamu. Kalo sampe kamu yang ada di posisi dia, Ayah nggak bisa bayangin gimana hari-hari Ayah nantinya tanpa kamu, Nak.” Ayah merangkulku lagi.
Aku hanya dapat terdiam dan memeluk Ayah. Kemudian Ayah melepas rangkulannya dan menepuk bahuku sambil tersenyum memberiku semangat dan ketegaran. Tepat saat itu, Ega muncul di depan pagar rumah kami, lalu masuk ke dalam dan memberi salam pada Ayah. Kami segera menuju ke RS untuk berangkat bersama dengan yang lain menuju kota Raya.
Setibanya kami di RS, aku dan Ega melihat semua orang yang akan mengantar Raya ‘pulang’ berwajah suram, sesuram langit pagi ini. Mataku tertumbuk pada Biyan yang tertunduk didampingi adiknya. Tiba-tiba Biyan mengangkat wajahnya dan menatap persis ke mataku. Aku segera mengalihkan pandanganku seolah tadi hanya tak sengaja menatapnya. Aku teringat kejadian itu, kejadian yang hanya aku dan Biyan yang mengetahuinya.
Aku sedang bersantai di kamarku sore itu sambil mendengarkan lagu dari komputer, saat tiba-tiba HP-ku berbunyi nyaring tanda telepon masuk. Nomor yang tak kukenal muncul di layar. Siapa ini? Kukecilkan volume speaker sebelum menerima telepon.
“Halo?”
“Halo. Apa ini benar nomor Igo?” Suara laki-laki dewasa menyapa di seberang sana.
“Iya benar, ini siapa ya?” tanyaku.
“Aku Biyan, kamu tahu aku kan? Raya pasti udah cerita sama kamu.”
DEG! Biyan-nya Raya? Benarkah ini? Aku terdiam beberapa saat karena terkejut.
“Halo? Masih di sana?” Suara Biyan menyadarkanku.
“Eh, iya. Ada apa ya?”
“Nggak apa-apa. Aku cuma mau pesen sama kamu, boleh nggak?”
“Pesen apa? Kalo aku bisa ngelakuin ya boleh-boleh aja.”
“Aku mau nitipin Raya sama kamu. Tolong jaga Raya, awasin dia. Kasih perhatian sama dia juga, temenin dia biar nggak kesepian. Kamu bisa aku percaya kan, Go?”
“Kenapa aku? Kan kamu yang pacarnya. Walaupun jauh, aku rasa kamu masih bisa nemenin dia kan?” tanyaku heran.
“Asal kamu tahu, Go. Aku dan Raya udah putus. Dia yang mutusin aku, dia ngerasa nggak enak karena udah sayang sama orang lain, dan orang itu adalah kamu. Dia bilang dia nggak mau tersiksa terus-terusan karena ngerasa udah ngeduain aku. Aku nggak bisa bilang apa-apa sama dia, Go, karena aku juga ngerasa aku jarang ngasih perhatian lebih ke dia. Makanya aku mohon sama kamu, jagain dia di sana.” Suara Biyan terdengar dipaksakan tenang, tapi tak urung masih terdengar juga kesedihannya. Aku terkejut mendengar berita ini. Biyan dan Raya putus? Gara-gara aku?
“ Aku nelepon bukan mau marah-marah sama kamu, aku cuma mau minta tolong kamu gantiin aku jagain dia. Aku ngerti banget sifat dia, dan aku hormati keputusan dia karena rasa sayangku. Aku udah menduga kalo dia sayang sama kamu sejak dia sering cerita tentang kamu sambil nangis-nangis. Aku mohon banget sama kamu, jangan bikin dia nangis lagi. Jangan ngejauhin dia, dia paling nggak tahan kalo ada yang ngejauhin dia, apalagi dia orangnya peka banget. Mau kan, Go?”
“Emmm, apa kamu yakin aku bisa? Aku nggak yakin, Bi. Aku ngejauhin dia karena aku ngerasa nggak pantes dia sayangi, apalagi aku sebenernya masih sayang sama orang lain. Aku juga ngerasa berdosa karena aku sering cerita tentang perasaanku itu ke dia. Aku mana tahu kalo dia ternyata sayang sama aku. Maaf kalo kalian putus gara-gara aku ya.”
“Nggak apa-apa, Go. Makanya kan aku bilang, aku bukan mau marah-marah sama kamu. Tapi kalo sekali lagi kamu bikin dia nangis, aku nggak segan-segan dateng ke sana untuk ngehajar kamu. Nggak ada yang boleh bikin dia nangis lagi, paham?” Biyan mulai terdengar mengancamku, tapi aku tahu benar dia melakukannya karena sayangnya pada Raya.
“Oke, Bi. Aku akan segera mikirin cara terbaik untuk minta maaf sama Raya. Aku janji sama kamu,” kataku sungguh-sungguh.
“Makasih banyak, Go. Inget kata-kataku, aku nggak segan-segan dateng ke sana begitu tau Raya nangis karena kamu,” ujar Biyan sebelum menutup telepon.

“Hei, Go.” Tanpa kusadari Biyan sudah duduk di sampingku dan Ega. Aku kaget dan sedikit beringsut memberinya tempat duduk.
“Jangan gitu banget deh. Aku cuma mau nyapa kok. Aku nggak bisa marah sama kamu, Go. Raya pasti bakal sedih dan nggak tenang di sana kalo sampe aku ngehajar kamu di hari pemakamannya. Yang udah terjadi nggak bisa kita ulangin lagi. Aku emang pernah ngingetin kamu, tapi kali ini bukan salah kamu ataupun Raya. Ini emang udah takdir, seperti kata Raya,” kata Biyan datar.
“Maafin aku, Bi. Aku nggak bisa menuhin janjiku ke kamu. Aku bahkan belum sempat minta maaf ke Raya, belum sempat baikan sama Raya. Aku yang udah nyebabin Raya meninggal. Kalo aja Raya nggak mendorong aku ke pinggir, dia nggak bakal begini. Aku, aku…” Kata-kata penyesalan terus terhambur dari mulutku sampai akhirnya aku tergagap dan tak dapat meneruskan karena tercekik kesedihan. Biyan memandangiku sedih, pandangannya membuat aku serasa ditampar.
“Udahlah, Go. Nggak ada gunanya juga menyesali yang udah terjadi. Ini takdir kita, dan mungkin ini keputusan Tuhan yang teradil untuk kita semua. Emangnya dengan menyesali dan nangis terus-terusan, Raya bakal balik? Nggak kan? Udahlah, Go.”
Masing-masing dari kami terdiam, memandangi kesibukan di sekeliling kami. Tampak Bu Caya, teman kos Raya, membawa kucing gendut berbulu coklat dan berekor tanggung ke keluarga Raya yang semuanya berwajah sembab dan berkata,”Ini kucing Raya di kos. Apa kalian mau membawanya? Kami nggak tahan mendengar suaranya memanggil-manggil Raya. Dia nggak tahu kalo Raya udah nggak ada.”
Kak Bagus yang menerima kucing itu berkata,”Ya udah Bu, biar saya yang bawa. Dia akan jadi pengingat kami pada adik perempuan saya satu-satunya itu.”
Kak Bagus dan Kak Priya duduk di salah satu tempat teduh sambil mengelus-elus kucing gendut itu, yang semula tampak berontak. Mereka seperti bicara pada kucing itu, seperti berusaha menerangkan bahwa pemiliknya sudah pergi dan mereka, kakak-kakak pemiliknya, akan menggantikan merawatnya. Kucing itu kemudian terdengar melolong sedih, seakan mengerti perkataan mereka. Lolongan kucing itu semakin menyadarkanku bahwa Raya sudah tak ada lagi di dunia ini.
Biyan berkata lagi,”Go, ngomong-ngomong dulu Raya kan punya blog. Aku pengen publish berita ini, tapi aku ga kuat. Bisa nggak kamu yang publish? Dulu Raya ngasih tau email dan passwordnya sama aku.”
Aku tertegun dan menjawab,”Tapi rasanya Igo juga nggak bakal tahan, Bi. Blog yang mana nih? Kalo nggak salah Raya punya beberapa deh.”
“Yang isinya puisi-puisinya Raya. Tau kan? Dia juga bilang dia nyoba bikin cerita, tapi belum sempet di-publish, baru dibuat draft. Bisa nggak kamu yang ngurus?”
“Iya deh, Bi.” Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Biyan kemudian memberikan email dan password blog Raya kepadaku. Lalu kami semua berjalan bersama ke dalam beberapa mobil yang kami sewa untuk iring-iringan mengantar Raya. Aku semobil dengan Ega, Biyan, Zufi, Rosalba, Dhilla, dan Fanya, sedangkan Flora, Vella, Awan, Iwan, Azar, Cahya, dan Ipul semobil. Teman-teman kos Raya menyewa mobil lain untuk membawa mereka. Dalam mobil semua hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana terus hening sampai kami tiba di rumah Raya, yang disambut keluarga besar Raya yang lebih dulu sampai dan tetangga-tetangga Raya. Keluarga besar Raya menangis terus-menerus, sedangkan umma Raya yang berkali-kali pingsan dipapah oleh appa-nya dan Kak Priya. Kami yang tidak mengenal siapapun di situ hanya berdiri bergerombol sambil tertunduk. Kemudian kami semua bersiap untuk mengikuti acara pemakaman.
Kini di sinilah kami, di pemakaman dekat rumah Raya. Proses pemakaman berjalan agak lambat, mengingat umma Raya terus menangis histeris dan berkali-kali pingsan. Beliau seperti tak rela puteri satu-satunya harus kembali ke tanah lebih dahulu darinya. Kami menyaksikan dari jarak agak jauh karena yang diperbolehkan dalam jarak dekat adalah pihak keluarga. Saat jenazah Raya dimasukkan ke tanah, teman-teman perempuan semua menangis. Aku, Ega, dan teman-teman laki-laki hanya terdiam dan tertunduk. Kurasakan Ega merapat ke tubuhku, tangannya merangkul pundakku. Kulirik wajahnya, tampak air mata mengalir deras tanpa suara di pipinya. Lalu kusadari bahwa aku juga menangis, entah sejak kapan ada air mata ini di wajahku.
Setelah para tetangga mereda, kami mendekat ke makam Raya. Kami berjongkok mengitari makam tersebut dan memanjatkan doa dalam hati masing-masing untuk Raya. Sampai akhirnya teman-teman yang lain berdiri, aku, Ega, Biyan, dan Zufi masih tetap berjongkok. Teman-teman mendahului kami menyusul keluarga Raya ke rumah.
Aku menelan ludah menahan tangis, lalu berkata,”Ray, Igo minta maaf. Maaf banget karena telat baikan sama Raya, maaf karena bikin kamu jadi gini. Makasih banget Ray, buat semua yang udah Raya kasih ke Igo, walau Igo nggak pernah bisa ngebales. Makasih banget karena udah nyampein pesan Ibu. Igo nggak tau harus gimana nantinya di kampus kalo nggak liat kamu, nggak liat senyum kamu, nggak ngobrol lagi sama kamu. HP Igo pasti bakal sepi banget, Ray. Igo harap Raya tenang di sana ditemenin Ibu.”
Ega berkata lembut,”Ega juga minta maaf, Ray. Coba Ega nggak bawa kamu ke taman, pasti kamu jam segini lagi kuliah bareng kita dan temen-temen kampus lainnya. Ega nyesel banget udah bikin Raya gini. Ega juga nyesel karena nggak bilang dari dulu kalo Ega sayang Raya. Kamu inget Ray, kamu pernah bilang kalo cinta itu diciptakan untuk diungkapkan, nggak peduli apa pun respon dari orang yang kita cinta, yang penting kita berani ngungkapin. Dan Ega sebagai cowo, udah nyia-nyiain kesempatan yang sebenarnya cukup lama itu. Maaf ya, Bi, Ega nggak maksud nyinggung kamu.”
Biyan tersenyum sedih, lalu berkata,”Nggak apa-apa, Ga. Raya sayang, untuk kamu tau, Biyan selalu sayang sama Raya. Walaupun kita udah putus, selamanya Raya nggak akan terganti posisinya di hati Biyan. Walaupun Raya sempet suka sama anak-anak tengil ini, Biyan maklum karena itu juga salah Biyan yang udah sering ninggalin Raya kesepian. Maafin Biyan, Ray, dan makasih untuk hari-hari kita.”
Kami berempat mulai berdiri dan perlahan berjalan meninggalkan tubuh Raya yang terkubur jauh di bawah tanah. Kami kembali ke rumah Raya dan duduk di dalam mobil agar tidak mengganggu keluarga Raya. Untuk mengisi waktu, aku iseng meraih laptop dan modemku untuk membuka blog Raya. Ega dan Biyan yang di sampingku ikut memandang layar laptop saat aku sign in ke blog Raya. Aku membuka daftar entri blog tersebut dan menemukan beberapa judul draft post yang mirip. Rupanya Raya membagi ceritanya dalam beberapa part. Tapi, astaga, ceritanya berjudul Kisa-Rayne? Itu kan panggilan sayang khusus untuk kami berdua. Ega dan Biyan yang tidak mengerti maksud dari judul post tersebut bertanya,”Kok judulnya Kisa-Rayne ya?”
Aku menjawab pelan,”Itu panggilan khusus kami berdua. Aku juga nggak tau kenapa dia pake judul ini.”
Biyan berkata,”Coba baca dulu isinya, Go.”
Kami membuka satu per satu draft post tersebut sesuai dengan urutannya. Selama membaca, aku, Ega, dan Biyan tak henti-hentinya ternganga. Sumpah, ini aneh sekali! Apa yang ditulis Raya adalah peristiwa yang terjadi sejak awal aku mengenal Raya. Raya menuliskan kejadian sangat persis dengan yang kami alami, mulai dari ketika dia hujan-hujanan, masuk RS, peristiwa RS dengan Ega dan aku, pertengkaran di Taman Kota, bahkan dia menuliskan detail kecelakaannya, mimpi saat koma, sampai detik-detik meninggalnya. Semua ditulis rinci dari sudut pandangnya sendiri, dia menuliskan tokoh utama sebagai ‘aku’. Detail-detail cerita itu tanpa terasa membuat bulu roma kami berdiri. Dari tanggal draft tersebut dibuat, kami mengetahui dia membuat cerita tersebut kira-kira pada hari-hari saat dia sedang opname di RS. Tapi bagaimana dia bisa menuliskan detail setelah dia keluar dari RS, bahkan ‘membunuh’ dirinya sendiri dalam cerita dengan kejadian yang persis sama dengan yang sebenarnya? Jelas bahwa dia tak mungkin menuliskan ceritanya saat dia dan Ega ke Taman Kota, dan jelas pula bahwa cerita itu tak ditulis setelah itu, karena dia mengalami koma. Cerita itu dia selesaikan saat masih ada di RS dan belum mengalami itu semua. Bagaimana Raya bisa?
Aku, Ega, dan Biyan saling berpandangan, pertanyaan-pertanyaan tersebut tercetak jelas di wajah kami.
“Gimana Raya bisa nulis itu semua? Kan dia belum mengalami kejadiannya?” celetuk Ega bingung.
Aku dan Biyan hanya menggeleng, kami sama tidak tahunya dengan Ega, yang notabene lebih dekat dengan Raya di hari-hari terakhirnya. Lalu aku berkata,”Bi, terus ini gimana? Tetep kita post?”
“Iyalah, kita harus publish cerita ini. Serius, Raya bener-bener amazing. Pantes dia nggak mau bilang ke aku sedikit pun tentang ceritanya. Abis kamu publish semua draft itu, publish lagi pemberitahuan kalo yang publish bukan Raya, tapi kita. Dan cerita itu bener-bener Raya yang bikin. Jelasin aja kalo kita nggak ngebuat-buat cerita itu, bahkan kita juga nggak tau kalo dia bikin. Kita yang mem-publish karena Raya udah nggak bisa lagi ngebuka blognya, tau sendiri kan maksudku?”
Aku mulai mem-publish setiap draft yang ada, lalu mengetikkan pemberitahuan seperti kata Biyan. Tiba-tiba mataku tertuju pada link yang tercantum di paling bawah part terakhir dari cerita Raya. Aku meng-klik link tersebut, dan ternyata link itu memutar lagu band Samsons.
Tak ada tempat seperti surga
Untuk kuhabiskan hidupku denganmu
Senandung alunan terindah akan kulakukan
Teruntuk dirimu cinta,  separuh darah hidupku
        (Samsons – Tak Ada Tempat Seperti Surga)
Hatiku perih, sedemikiankah perasaan Raya padaku, yang aku campakkan begitu saja? Aku menghentikan lagu itu dan kembali ke blog Raya. Saat melihat home blog Raya, terdengar lagu yang ada di blog tersebut.
Kan kuingat perjalanan ini
Bersamamu walau kau tak di sini
Hingga kuraih semua angan serta wujudkan mimpi-mimpiku
Jangan pernah kau tangisi aku
Aku pergi pasti akan kembali
Datang padamu, tepati janji
Merangkai hari yang t’lah kita nanti 
       (Igo – Terima Kasih)
Lagu di blognya ternyata telah dia ubah menjadi lagu favoritku, yang pernah kuceritakan padanya dulu. Pastilah dia mengubah lagunya saat bermaksud mem-publish ceritanya, agar sesuai dengan kami. Lagu itu membuatku semakin merindukan Raya dan mengalirkan air mataku kembali di pipiku. Aku tersadar bahwa saat aku menceritakan lagu-lagu favoritku, aku juga menceritakan tentang seseorang yang aku suka sejak dulu. Aku juga tersadar, pastilah saat aku bercerita, Raya diam-diam menahan perih di hatinya karena ceritaku dan tetap tersenyum serta menanggapiku. Raya, kali ini aku menyanyikan lagu ini dalam hati untukmu, walaupun apa yang dimaksudkan dalam lagu itu tak mungkin terlaksana lagi dan kamu tidak lagi di sisiku…
Dan kuucapkan terima kasih, Sayang
Atas semua cinta yang t’lah kau beri
Dan ku berharap s’moga kan abadi
Hingga terjaga sampai akhir nanti

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

ilcharama ilyas mengatakan...

ending yang menusuk,
diluar dugaan,
cara berceritamu udah lebih enak lagi kali ini,

:)

Mentari Senja Khatulistiwa mengatakan...

makasi makasi :)
emm, maksudnya menusuk di sini gimana ya??

Posting Komentar